Mohon tunggu...
Jumari Haryadi Kohar
Jumari Haryadi Kohar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, trainer, dan motivator

Jumari Haryadi alias J.Haryadi adalah seorang penulis, trainer kepenulisan, dan juga seorang motivator. Pria berdarah Kediri (Jawa Timur) dan Baturaja (Sumatera Selatan) ini memiliki hobi membaca, menulis, fotografi, dan traveling. Suami dari R.Yanty Heryanty ini memilih profesi sebagai penulis karena menulis adalah passion-nya. Bagi J.Haryadi, menulis sudah menyatu dalam jiwanya. Sehari saja tidak menulis akan membuat ia merasa ada sesuatu yang hilang. Oleh sebab itu pria berpostur tinggi 178 Cm ini akan selalu berusaha menulis setiap hari untuk memenuhi nutrisi jiwanya yang haus terhadap ilmu. Dunia menulis sudah dirintis J.Haryadi secara profesional sejak 2007. Ia sudah menulis puluhan judul buku dan ratusan artikel di berbagai media massa nasional. Selain itu, ayah empat anak ini pun sering membantu kliennya menulis buku, baik sebagai editor, co-writer, maupun sebagai ghostwriter. Jika Anda butuh jasa profesionalnya dihidang kepenulisan, bisa menghubunginya melalui HP/WA: 0852-1726-0169 No GoPay: +6285217260169

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pemudik di Era Wabah Corona Bagai Makan Buah Simalakama

1 April 2020   02:50 Diperbarui: 1 April 2020   04:00 4109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: mathlaulanwar.or.id

Mengadu nasib di kota besar bukanlah pekerjaan mudah. Selain butuh modal finansial yang tidak sedikit, juga butuh semangat, keberanian, dan bermental baja. Memang tidak mudah untuk bisa bertahan hidup dan menggapai sukses. Apalagi jauh dari keluarga, famili, dan handai tolan. 

Perjuangan hidup untuk mengubah nasib dengan bekerja atau berusaha di kota besar memerlukan waktu dan pengorbanan. Tidak sedikit orang yang sukses dan berhasil mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Namun, tidak sedikit juga orang yang gagal dan terpuruk hidupnya. Dalam kondisi seperti ini, masih bisa makan dan bertahan hidup saja sudah bagus.

Virus Corona Menjadi Mimpi Buruk
Kini, bencana yang tidak diharapkan oleh siapapun di muka bumi ini pun terjadi. Dunia heboh dengan berjangkitnya sebuah penyakit menular yang berbahaya yaitu berjangkitnya pandemi virus corona atau Covid-19. Penyakit yang mulai mewabah dari Kota Wuhan, Tiongkok ini dalam waktu singkat menjalar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. 

Ribuan orang terpapar Covid-19. Berdasarkan data yang dilansir dari Worldometers yang dikutip dari laman Kompas.com (31-03-2020) di seluruh dunia terdapat 781.485 kasus, 164.762 orang dinyatakan sembuh, dan 37.578 orang meninggal dunia. 

Kondisi ini tentu membuat semua negara menjadi kalang kabut, termasuk Indonesia. Sejumlah negara kemudian mengambil kebijakan dalam meminimalisir berkembangnya wabah Covid-19 di negaranya dengan memperlakukan lockdown, yaitu mengunci rapat-rapat suatu wilayah negara. 

Beberapa negara yang memberlakukan lockdown di antaranya adalah Tiongkok, Italia, Denmark, Prancis, Spanyol, Inggris, India, Filipina, dan Malaysia. 

Presiden Indonesia Joko Widodo justru memilih opsi lain yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB dan Darurat Kesehatan yang disampaikannya pada 31 Maret 2020 melalui kanal YuoTube Sekretariat Presiden.

Penularan Covid-19 yang begitu cepat membuat semua orang terkesima. Virus ini dapat menyebar melalui sentuhan langsung antar manusia atau sentuhan tak langsung melalui benda yang pernah tersentuh oleh penderita Covid-19. 

Oleh sebab itu kebijakan untuk menjaga jarak (social distance) minimal satu meter itu sudah tepat karena percikan batuk seorang penderita Covid-19 yang terkena kepada orang yang berada di dekatnya bisa menyebabkan orang lain tersebut ikut tertular.

Salah satu cara memutus mata rantai penularan Covid-19 adalah mengurangi interaksi sosial secara fisik. Oleh sebab itu pemerintah menghimbau masyarakat unttuk tetap berada di rumah jika tidak ada kepentingan yang bersifat mendesak. Himbauan tersebut juga diiringi dengan kebijakan bekerja dari rumah atau Work from Home (WFH) dan belajar dari rumah atau Study from Home (SFH). 

Sumber Ilustrasi: mathlaulanwar.or.id
Sumber Ilustrasi: mathlaulanwar.or.id
Dampak Kebijakan Bekerja dari Rumah
Tidak semua orang bisa bekerja dari rumah. Profesi pegawai negeri atau pegawai swasta yang biasa bekerja kantoran dan memiliki gaji tetap tentu saja tak masalah jika mereka harus bekerja dari rumah. 

Sepanjang itu demi kebaikan bersama dan gaji bulanannya tetap dibayar justru menjadi anugerah tersediri. Selain tidak perlu capek-capek bermacet ria dijalan, juga bisa berkumpul dengan keluarga. Hal ini tentu jarang dilakukan dalam kondisi normal.

Lalu bagaimana dengan para pekerja yang bekerja di sektor informal seperti tukang ojek, tukang parkir, buruh harian lepas, pedagang asongan dan lain-lain? 

Sehari tidak keluar rumah, berarti mereka tidak bisa makan karena mereka tidak bisa mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Untung saja pemerintah segera tanggap dan mengeluarkan kebijakan jaring pengaman sosial untuk lapisan paling bawah agar masyarakat tetap mampu memenuhi kebutuhan pokok dan menjaga daya beli.

Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat itu tentu perlu dukungan semua pihak, baik pemerintah daerah maupun masyarakat umum. Namun, implementasi kebijakan ini tidaklah semudah membuka telapak tangan. Apalagi bagi kaum urban yang berada di perantauan. Mereka tidak semuanya bisa terlindungi oleh kebijakan pemerintah tersebut. 

Tidak heran kalau banyak kaum urban yang tidak bisa bertahan lama berada di kota besar karena sudah tidak memiliki penghasilan lagi. Uang pegangan yang selama ini dikumpulkannya selama mengais rezeki di kota besar sudah tidak mampu lagi buat bertahan hidup. 

Ribuan kaum urban yang ada di kota-kota besar pasti merindukan kampung halamannya. Mereka ingin mudik dan bisa berkumpul kembali dengan sanak keluarganya. Setidaknya lebih mudah hidup di kampung karena bibsa makan seadanya. Semua serba murah. Kalau tidak ada lauk bisa mengambil sayuran di kebun. 

Berbeda dengan di kota yang semuanya serba uang. Bukan hanya soal makan yang jadi pertimbangan mereka mudik, juga soal biaya tempat tinggal yang sebagian besar masih numpang (menyewa) dan harus dibayar.

Pemudik Bagai Makan Buah Simalakama
Pilihan mudik bagi kaum urban menjadi sesuatu yang sulit. Satu sisi mereka ingin mencari aman dengan kembali ke kampung halamannya. Namun, di sisi lain kepulangan mereka dikhawatirkan menjadi masalah baru bagi kampungnya karena patut diduga menjadi pembawa Covid-19. Siapa yang bisa menjamin kalau mereka tidak tertular? 

Apalagi tidak semua penderita memiliki gejala yang sama. Bagi orang yang memiliki imunitas tinggi, mungkin tidak begitu merasakan dampaknya. Bahkan, bisa saja dia menganggap dirinya sehat. Kalau dia ternyata sehat, apakah ada jaminan sepanjang perjalanan pulang ke kampungnya tidak tertular oleh Covid-19? 

Seorang pemudik kini dicurigai sebagai pembawa Covid-19. Pemudik bagaikan seorang teroris yang sewaktu-waktu bisa "meledakkan" dirinya sehingga semua orang takut padanya. Rasanya semua ini tidak adil. Apa sih salahnya pulang kampung? Namun, dalam situasi sulit seperti ini, semua pihak harus menyadari bahwa kepentingan umum jauh lebih diutamakan dari kepentingan pribadi atau perseorangan. 

Bagaiman kalau pemudik tidak pulang dan mengikuti anjuran pemerintah? Bagi pemudik yang sukses mungkin tidak begitu masalah. Namun. bagi pemudik yang belum sukses dan memiliki dana pas-pasan tentu hal ini akan menjadi persoalan tersendiri baginya. Hidup dikota besar tidak murah. Semua serba uang. Kalau tidak punya uang bagaiman bisa makan?

Mengutip berita yang dilansir dari katadata.co.id, pemerintah pusat melalui Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijoyo mengatakan bahwa pemerintah akan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi para pekerja di sektor informal, seperti pemilik warung, pengemudi ojeg online, hingga pegawai harian di pusat perbelanjaan. Pemberian BLT tersebut dilakukan melalui kartu pekerja.

Menurut Susiwijoyo, pekerja informal dan UMKM akan memperoleh Rp 1 juta ditambah insentif Rp 1 juta perbulan selama empat bulan sehingga total Rp 5 juta. 

Pertanyaannya, apakah uang segitu cukup buat hidup di kota besar seperti Jakarta? Kalau tidak ada uang lagi selain dana bantuan tersebut, apakah para kaum urban bisa bertahan hidup? Hal inilah yang harus menjadi pemikiran kita semua. Kita tahu kalau anggaran pemerintah tentu terbatas. Lalu solusinya bagaimana?

Nah, di sinilah pentingnya semangat gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia perlu kita hidupkan kembali. Bagi siapa saja yang kini merasa kehidupannya sudah sukses dan berlebih harta sudah waktunya untuk saling membantu siapa saja yang sedang kesusahan. Ingat, hidup ini hanya sementara. Harta yang kita punya tak akan dibawa mati dan akan lebih berguna jika kita bagi kepada sesama manusia yang sedang membutuhkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun