Mengapa ini dilakukannya? Karena suaranya biasa-biasa saja. Coba kalaa dia berlatih secara bersungguh-sungguh dan bernyanyi dengan penuh penjiwaan, maka dia tidak perlu pamer paha dan dada.Â
Kalau suaranya bagus, orang pasti tertarik mendengarnya bernyanyi. Bahkan, penonton bisa mengeluarkan air mata dibuatnya ketika sedang menyanyikan lagu bernada sedih.Â
Menjadi seorang pelukis tidak harus mengidolakan pelukis terkenal secara berlebihan. Sehebat apapun karya lukisannya jika mirip dengan gaya melukis sang idolanya, maka pelukis tersebut tidak akan menjadi seniman besar. Dia tidak mungkin mampu mengalahkan nama besar sang idolanya dan selalu menjadi orang nomor dua.
"Kerugian pertama jika pelukis terobsesi dengan karya idolanya, maka lukisannya pun akan dipengaruhi gaya melukis idolanya. Kerugian kedua, dia tidak mungkin mampu menyamai idolanya, meskipun sudah berguru langsung dengan sang idola.Â
Ibarat dalam film kungfu Shaolin, selalu ada ilmu atau trik-trik rahasia yang disembunyikan. Tak mungkin semuanya diturunkan oleh gurunya," ujar Pak Prie serius.
Banyak keluarga seniman yang nasibnya kurang beruntung. Bukan saja sang seniman keulitan dalam mencari nafkah, tetapi juga rumah tangganya terancam bubar.Â
Istri tidak bangga terhadap profesi suaminya sebagai pelukis. Mengapa hal ini terjadi? Karena pelukis tidak mampu menghidupi keluarga dari hasilnya berkarya.Â
"Umumnya perempuan tidak mau tahu suaminya kerja apa atau usaha apa. Dia tahunya suami pulang bawa duit. Titik. Begitu kita memperlihatkan suatu profesi yang tidak menghasilkan uang, maka otomatis istri pun pasti tidak akan mendukung. Dia beranggapan kalau profesi itu tidak menguntungkan," papar Pak Prie lebih lanjut.
Melukis itu penuh dengan filosofi-filosofi yang perlu dibahas. Menurut Pak Prie, tidak bisa melukis hanya mengandalkan dongengnya saja. Melukis bukan sekadar lahirnya saja, tetapi perlu juga diperkuat dengan penjiwaan atau secara batin.
"Misalnya saya akan melukis kuda. Anatominya harus dikuasai. Tahapan melukis pun banyak. Pertama pembagian bidang, kedua persfektifnya, ketiga komposisi warnanya, keempat goresannya, dan kelima dimensinya. Banyak pelukis yang keteteran dibuatnya.Â
Belum lagi masalah karakter dan penjiwaannya. Kalau tidak bias menguasai semua itu, maka itu namanya tukang gambar, bukan pelukis," ujar Pak Prie penuh semangat.
Pak Prie pernah dikritik oleh Duta Besar (Dubes) Belgia untuk Indonesia waktu dirinya dulu pameran di Hotel Hilton, Jakarta.
"Mister Priyadi! Anda melukis jangan asal-asalan. Melukis bentuk itu gampang. Anak kecil juga bisa, tapi tidak ada nilainya. There is nothing! There is only drawing," ujar duta besar Belgia untuk Indonesia saat itu.