Agus Hadi Sudjiwo atau lebih dikenal dengan sebutan Sujiwo Tejo, lahir di Jember, Jawa Timur, 31 Agustus 1962. Pria berpenampilan nyentrik dengan rambut gondrongnya itu dikenal sebagai seorang budayawan Indonesia. Beliau sempat kuliah di ITB pada 1981, kemudian mundur untuk meneruskan karier di dunia seni yang lebih disenanginya.
Pria yang memiliki segudang atribut yaitu sebagai penyanyi, aktor, penulis, pemusik, dalang, dan sutradara ini dikenal sebagai pribadi yang hangat, tetapi selalu blak-blakan kalau berbicara. Pengetahuannya luas, terutama kalau berbicara tentang manusia dan kehidupan sosialnya. Tidak heran kalau beliau dijuluki pula sebagai seorang budayawan.
Karir di Bidang Seni
Sebelum dikenal sebagai seniman dan budayawan, Sujiwo Tejo sempat bekerja sebagai seorang jurnalis selama 8 tahun di harian Kompas. Kecintaan beliau terhadap dunia seni membuat pria nyentrik ini akhirnya meninggalkan dunia jurnalis, lalu mulai aktif menekuni bidang seni menjadi seorang penulis, pelukis, pemusik dan dalang wayang.
Jiwa berkesenian Sujiwo benar-benar liar, sehingga beliau selalu ingin mencoba apa saja yang berhubungan dengan seni. Beliau pun mencoba menjadi seorang aktor dengan bermain di sejumlah film, seperti dalam film “Janji Joni” (2005) dan “Detik Terakhir” (2005).
Beberapa film lainnya yang pernah melibatkannya sebagai aktor adalah “Telegram” (2001); “Kafir” (2002); “Kanibal – Sumanto” (2004); “Kala” (2007); “Hantu Aborsi” (2008); “Barbi3” (2008); “Kawin Laris” (2009); “Capres (Calo Presiden)” (2009); “Sang Pencerah” (2010); “Tendangan dari Langit” (2011); “Semesta Mendukung” (2011); “Sampai Ujung Dunia” (2012); “Soekarno” (2013); dan “Guru Bangsa: Tjokroaminoto” (2015).
Sujiwo Tejo juga pernah mencoba menjadi sutradara film dan bermain drama teatrikal, seperti dalam drama teatrikal “KabaretJo” yang berarti "Ketawa Bareng Tejo". Kemudian beliau juga pernah menjadi sutradara dalam film “Bahwa Cinta Itu Ada” (2010); dan sutradara sinetron berjudul “Dari Sujud Kesujud” (2011).
Tidak puas sampai di sana, Sujiwo pun belajar bermain sebagai dalang wayang. Beliau membuat inovasi dengan menampilkan sosok wayang yang beda dan tidak seperti biasanya. Beliau berani melanggar pakem, seperti misalnya mengubah karakter Rahwana yang biasanya dikenal jahat menjadi baik, karakter Pandawa dibuatnya tidak selalu benar dan sebagainya.
Sejak Kuliah Aktif Berkesenian
Setelah menyelesaikan SMA-nya, Sujiwo melanjutkan pendidikannya di Jurusan Matematika dan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung. Sejak kuliah, beliau mulai tertarik mengembangkan bakat seni yang sudah tumbuh dalam dirinya sejak kecil.
Selama kuliah, Sujiwo Tejo pernah menjadi penyiar radio kampus. Kemudian belajar bermain teater, dan mendirikan Ludruk ITB bersama budayawan Nirwan Dewanto. Pada saat itu beliau menjabat Kepala Bidang Pedalangan pada Persatuan Seni Tari dan Karawitan Jawa di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1981-1983. Beliau juga pernah membuat hymne jurusan Teknik Sipil ITB pada Orientasi Studi tahun 1983.
Terus Mengembangkan Dunia Seni
Hidup di lingkungan seni yang kuat membuat jiwa Sujiwo Tejo pun terpengaruh. Bahkan sejak masih kanak-kanak beliau sudah belajar mendalang wayang kulit di kampungnya. Kemudian beliau juga mulai mencipta sendiri lakon-lakon wayang kulit sebagai awal profesinya di dunia wayang dengan judul Semar Mesem (1994).
Pada 1996, Sujiwo Tejo mendapat kesempatan menampilkan karya seninya yaitu sebanyak 13 episode pertunjukan Wayang Kulit Ramayana di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Kemudian disusul dengan penampilan Wayang Acappella berjudul “Shinta Obong” dan lakon “Bisma Gugur”.
Sejak bergabung dengan Komunitas Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI), aktifitas berkesian Sujiwo Tejo kian dalam dan melekat. Selain mengajar di EKI sejak 1997, hari-harinya selalu penuh dengan aktifitas berkesenian, seakan tiada hari tanpa seni dalam hidupnya. Hal ini memberinya kesempatan untuk lebih fokus dan total dalam mengembangkan dunia seni.
Pada periode 1998-199, Sujiwo Tejo mulai melakukan road show, memberikan workshopteater ke berbagai daerah di Indonesia. Beliau juga memelopori berdirinya Jaringan Dalang yang bertujuan untuk memberi napas baru bagi tumbuhnya nilai-nilai wayang dalam kehidupan masyarakat masa kini. Puncaknya pada 2004, beliau beserta rombongannya berhasil melakukan misi kesenian berkeliling Yunani sambil mendalang.
Bernyanyi dan Bermain Teater
Selain menekuni profesi sebagai dalang, pada 1998 Sujiwo Tejo mulai bernyanyi. Beliau membuat album berjudul “Pada Suatu Ketika”. Bahkan video klip album "Pada Suatu Ketika" berhasil meraih penghargaan sebagai Video Klip terbaik dalam ajang Grand Final Video Musik Indonesia 1999. Pada tahun berikutnya, video klip lainnya juga masuk nominator sebagai Video Klip Terbaik untuk Grand Final Video Musik Indonesia tahun 2000. Album lagu berikutnya yang lahir dari hasil kraeasinya adalah album berjudul “Pada Sebuah Ranjang” (1999), “Syair Dunia Maya” (2005), “Yaiyo” (2007), dan “Mirah Ingsun” (2012).
Aktifitas lain yang dilakukan Sujiwo Tejo secara paralel adalah turut serta dalam pertunjukan teater. Beberapa kegiatan tater yang melibatkannya di antaranya: pertunjukan “Laki-laki” yang berkolaborasi dengan koreografer Rusdy Rukmarata dan Teater Utan Kayu di Gedung Kesenian Jakarta pada 1999. Sujiwo Tejo juga menjadi Sang Dalang dalam pementasan EKI Dancer Company yang bertajuk Lovers and Liars di Balai Sarbini, pada Sabtu dan Minggu, 27-28 Februari 2004.
Alumni ITB Angkatan’81 yang nyasar jadi seniman dan budayawan ini juga pernah terlibat dalam kegiatan sosoal berupa penggarapan pertunjukan musikal berjudul “Battle of Love-when love turns sour”, yang digelar pada 31 Mei - 2 Juni 2005 di Gedung Kesenian Jakarta. Pagelaran tersebut merupakan hasil karya kolaborasi antara dirinya yang bertindak sebagai komposer musik dengan Rusdy Rukmarata yang berperan sebagai sutradara & koreografer. Hasil kegiatan tersebut mereka pergunakan untuk membiayai program pendidikan dan pelatihan bagi anak-anak putus sekolah yang dikelola oleh Yayasan Titian Penerus Bangsa.
Sujiwo Tejo juga menyutradarai drama musikal yang berjudul “Pangeran Katak dan Puteri Impian” yang digelar di Jakarta Convention Center tanggal 1 dan 2 Juli 2006.
Menulis Buku
Disela-sela aktifitasnya berkesenian yang cukup padat, ternyata Sujiwo Tejo masih sempat menulis buku. Beberapa buah buku karya pria multi talenta ini berhasil diterbitkan, di antaranya adalah buku berjudul Kelakar Madura buat Gus Dur (Yogyakarta, Lotus, 2001); Dalang Edan (Aksara Karunia, 2002); The Sax (Eksotika Karmawibhangga Indonesia, 2003); Ngawur Karena Benar (Penerbit Imania, Februari, 2012); dan Jiwo Jancuk (GagasMedia, Juni 2012).
Buku lainnya adalah Lupa Endonesa (Bentang, September 2012); Republik Jancukers (Kompas, Desember 2012); Dalang Galau Ngetwit (Imania, Februari 2013); Kang Mbok: Sketsa Kehidupan Sri Teddy Rusdy (Komunitas Bambu, Desember 2013); Lupa Endonesa Deui (Bentang Pustaka, Januari 2014); dan Rahvayana 'Aku Lala Padamu' (Bentang Pustaka, Mei 2014).
***
Oleh: J. Haryadi
Sumber tulisan: dari berbagai sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H