Mohon tunggu...
Jumari Haryadi Kohar
Jumari Haryadi Kohar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, trainer, dan motivator

Jumari Haryadi alias J.Haryadi adalah seorang penulis, trainer kepenulisan, dan juga seorang motivator. Pria berdarah Kediri (Jawa Timur) dan Baturaja (Sumatera Selatan) ini memiliki hobi membaca, menulis, fotografi, dan traveling. Suami dari R.Yanty Heryanty ini memilih profesi sebagai penulis karena menulis adalah passion-nya. Bagi J.Haryadi, menulis sudah menyatu dalam jiwanya. Sehari saja tidak menulis akan membuat ia merasa ada sesuatu yang hilang. Oleh sebab itu pria berpostur tinggi 178 Cm ini akan selalu berusaha menulis setiap hari untuk memenuhi nutrisi jiwanya yang haus terhadap ilmu. Dunia menulis sudah dirintis J.Haryadi secara profesional sejak 2007. Ia sudah menulis puluhan judul buku dan ratusan artikel di berbagai media massa nasional. Selain itu, ayah empat anak ini pun sering membantu kliennya menulis buku, baik sebagai editor, co-writer, maupun sebagai ghostwriter. Jika Anda butuh jasa profesionalnya dihidang kepenulisan, bisa menghubunginya melalui HP/WA: 0852-1726-0169 No GoPay: +6285217260169

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Perjuangan Nelayan Tradisional Banten Mencari Ikan

28 Desember 2015   15:49 Diperbarui: 28 Desember 2015   16:48 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Perjuangan nelayan Banten mencari ikan di laut ditengah derasnya hujan (sumber: J.Haryadi)"][/caption]Oleh: J. Haryadi

Pagi hari, 23 Desember 2015, saya masih berada di Kampung Ketapang Cangkudu, Desa Citeureup, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Sekira pukul 05.30 WIB, saya naik ke sebuah Perahu Jukung milik Pak Eko - salah seorang nelayan yang akan segera melaut.  Sehari sebelumnya saya sudah meminta izin untuk ikut meliput kegiatannya mencari ikan di laut.

Perahu bermesin dua yang dikemudikan Pak Eko mulai bergerak ke tengah laut. Samar-samar terlihat sebuah pulau kecil nun jauh di hadapan kami. Cuaca yang cukup cerah di pagi itu membuat perjalanan kami terasa mengasikkan.

[caption caption="Penulis berpose di atas Perahu Jukung dengan latar belakang Pak Eko yang sedang mengemudikannya (sumber: J.Haryadi)"]

[/caption]

[caption caption="Pak Eko duduk di buritan perahu sambil mengemudikan Perahu Jukung miliknya (Sumber: J. Haryadi)"]

[/caption]

[caption caption="Penulis ikut berpose di atas perahu dalam perjalanan ke tengah laut (sumber: J. Haryadi)"]

[/caption]Selama perjalanan saya memandang hamparan laut yang begitu luas, sembari berpikir tentang beragam isinya yang seharusnya bisa membuat sejahtera para nelayan. Sayangnya hanya sebagian kecil saja nelayan yang kehidupan ekonominya membaik. Selebihnya nasibnya kurang beruntung dan masih terombang-ambing tak menentu bagaikan gelombang air laut.

Beberapa ekor burung camar terlihat terbang di atas perahu yang kami tumpangi. Burung tersebut sesekali mengitari perahu, lalu beberapa saat terbang di tempat, kemudian meluncur ke bawah dengan cepat untuk menangkap ikan. Kadang-kadang burung tersebut gagal meraih tangkapannya, lalu kembali terbang mencari mangsa lainnya. Pemandangan menarik ini tentu sangat disayangkan untuk dilewatkan begitu saja dan segera saya abadikan melalui kamera handphone.

[caption caption="Burung camar yang terbang di atas perahu kami untuk ikut mencari ikan (sumber: J. Haryadi)"]

[/caption]Perahu kami juga melintasi bagan – sebuah bangunan di tengah laut yang terbuat dari tiang-tiang bambu, tempat nelayan menangkap ikan. Kadang-kadang nelayan menginap di tempat ini sambil menunggu waktu yang tepat untuk mengangkat  jaring yang dipasangnya. Kami juga berpapasan dengan beberapa perahu motor milik nelayan lainnya yang tengah melintas. Pak Eko pun melambaikan tangan sambil menyapa sahabatnya yang lewat tersebut.

[caption caption="Beberapa bagan terlihat tidak jauh dari perahu yang saya tumpangi (sumber: J. Haryadi)"]

[/caption]

[caption caption="Sebuah Perahu Jukung milik nelayan tengah melintas tidak jauh dari lokasi kami menjaring ikan (sumber: J. Haryadi)"]

[/caption]Kecepatan perahu saya tumpangi tidak begitu kencang. Sesekali terlihat pak Eko mengatur arah perahu dengan menggerak-gerakkan kemudinya yang terletak pada bagian belakang (buritan) perahu. Selang 30 menit kemudian perahu berhenti di dekat sebuah tanda berupa bendera kecil yang mengapung-ngapung di atas air. Itu pertanda batas jaring yang sudah dipasangnya kemarin sore. Mesin perahu pun segera dimatikannya.

[caption caption="Sebuah bendera kecil terlihat mengapung-ngapung di laut sebagai pertanda ada jaring dibawahnya (sumber: J. Haryadi)"]

[/caption]Pak Eko mulai mengangkat bendera tersebut, yang juga menempel pada jaring yang sudah dipasangnya. Jaring yang diambil kali ini lebarnya sekira 120 cm dan panjangnya lebih dari 1 km. Perlahan dia mulai melipat jaring tersebut sambil mengamati apakah ada hewan laut yang terperangkap di sana.

Benar saja, terlihat kepiting “rajungan” yang berhasil menyangkut dijaringnya. Seorang anak kecil bernama Rendi – murid kelas 5 SD yang ikut membantunya, segera memisahkan ikan hasil tangkapan mereka dari jaring yang menjeratnya. Hasil tangkapan ikan tidak begitu banyak. Hanya terdapat beberapa ekor kepiting “rajungan”, beberapa ekor ikan kecil, udang kipas dan udang lobster.

[caption caption="Pak Eko memperlihatkan seekor kepiting “rajungan” hasil tangkapannya (sumber: J.Haryadi)"]

[/caption]

[caption caption="Rendi - bocah kelas 3 SD sedang membntu melepaskan kepiting dari jaring yang menjeratnya (sumber: J. Haryadi)"]

[/caption]

[caption caption="Hasil tangkapan jaring Pak Eko hari ini berupa kepiting, ikan dan udang (Sumber: J. Haryadi)"]

[/caption]Saat mereka sedang bekerja menarik jaring, tiba-tiba cuaca berubah gelap dan hujan pun datang. Kondisi seperti ini merupakan pemandangan yang biasa bagi mereka. Saya pun segera memakai jas hujan yang terbuat dari pelastik untuk melindungi diri dari hujan, sementara Pak Eko dan Rendi masih terus bekerja  menarik jaring dan mengambil ikan yang tertangkap di jaring mereka.

[caption caption="Dalam kondisi hujan deras, Pak Eko dan Rendi tetap bekerja menarik jaring dari dalam laut (sumber: J.Haryadi)"]

[/caption]

[caption caption="Rasa dingin, letih dan lapar tidak membuat semangat Pak Eko dan Rendi luntur dalam bekerja mencari nafkah di lautan (sumber: J.Haryadi)"]

[/caption]Sekira 30 menit hujan pun mulai reda. Hasil tangkapan kali ini ternyata tidak banyak. Menurut pak Eko, jika gelombang laut sedang kecil, hasilnya pasti kurang bagus. Tangkapan justru bagus kalau gelombang laut cukup besar, sebab kepiting yang ada dalam lubang di dasar laut pada keluar dan ikan-ikan juga banyak yang tergiring ke jaring. Namun di sisi lain, jika gelombang laut besar, resiko mereka cukup tinggi dan pekerjaan menarik jaring cukup berat, sebab posisi perahu bergerak ke kanan dan ke kiri cukup kencang terhempas gelombang laut.

RENDI TIDAK MEMILIKI CITA-CITA

Saya sangat kaget sekaligus prihatin ketika mewawancarai Rendi – anak buah perahu, yang biasa membantu Pak Eko melaut ketika sedang tidak bersekolah. Anak berusia sekira 10 tahun yang masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar (SD) ini ternyata tidak mempunyai cita-cita untuk masa depannya. Dia begitu pesimis menghadapi kehidupannya. Betapa tidak, saat ini rendy di asuh oleh neneknya, sedangkan kedua orangtuanya merantau ke Pulau Bangka untuk bekerja menari nafkah menjadi buruh pencari timah di pertambangan ilegal.

Raut wajah Rendi sama sekali tidak memperlihatkan wajah anak-anak yang seharusnya riang gembira. Tatapannya kosong melihat laut lepas yang terhampar dihadapannya. Dia tidak begitu yakin nasibnya akan berubah, karena pada kenyatannya hidupnya penuh dengan derita. Bayangkan saja, upahnya ke laut dihitung berdasakan hasil tangkapan nelayan yang menjadi majikannya. Dirinya hanya diberi upah sebesar Rp5.000 per kg hasil tangkapan. Jika sedang bernasib mujur, hasilnya cukup lumayan untuk mebantu neneknay belanja, tetapi kalau sedang apes, dia harus ikhlas hanya memperoleh uang lelah ala kadarnya.

[caption caption="Rendi – sosok bocah nelayan, yang tidak memiliki cita-cita dalam hidupnya akibat getirnya kehidupan (sumber: J. Haryadi)"]

[/caption]

[caption caption="Rendi, sosok bocah yang sudah terbiasa bermain dengan perahu, jaring dan air laut (sumber: J. Haryadi)"]

[/caption]Saya lantas memberi nasihat dan motivasi kepada Rendi agar tetap tegar dalam mengarungi kerasnya kehidupan. Dia saya ajak berpikir tentang masa depan yang bisa diraihnya, seperti menjadi seorang prajurit marinir, menjadi bandar ikan atau menjadi nelayan sukses yang memiliki banyak perahu. Bocah polos itu hanya menganggukkan kepalanya. Semoga saja perbincangan singkat saya dengannya ada yang membekas dalam benaknya.

MENGANGKUT JARING KEDUA

Hasil tangkapan ikan jaring pertama ternyata tidak banyak, hanya sekira seperempat ember plastik kecil. Perahu yang kami tumpangi kemudian memutar arah menuju titik lainnya di tengah lautan. Saya sendiri tidak tahu secara pasti bagaimana Pak Eko bisa mengingat lokasi pemasangan jaringnya, padahal lautan itu sedemikian luas. Anehnya, dia bisa mengarahkan posisi perahu persis dilokasi pemasangan jaringnya yang ditandai dengan keberadaan bendera kecil yang mengapung-apung.

Sama prosesnya seperti jaring pertama, pak Eko mulai mengangkat bendara dan mulai menggulung jaring kembali. Sementara itu Rendi mengulangi aktivitasnya melepaskan ikan, udang atau kepiting yang tersangkut di dalam jaring. Beberapa ikan tampak hanya tinggal kepalanya saja karena tubuhnya sudah habis dimakan kepiting.

Jika terdapat hewan laut yang tidak diinginkan menempel di jaring, Pak Eko tidak segan-segan menghantamkan palu ke tubuh hewan tersebut sehingga hancur berantakan dan membuangnya ke laut. Ketika saya tanyakan mengapa harus dihancurkan, tidak dilepaskan saja. Dia menjawab demi menghemat waktu, sebab membuka hewan yang terjerat jaring ternyata cukup menguras waktu dan tenaga.

Saat sedang asik-asiknya menarik jaring, kembali hujan deras datang. Pekerjaan lalu dihentikan sejenak untuk kemudian memasang jas hujan dan pelindung perahu yang terbuat dari terpal plastik yang dikaitkan dengan tali dan bambu. Pemasangan hanya membutuhkan waktu sekira beberapa detik saja.

Perjuangan mengangkat jaring pasti semakin berat karena guyuran hujan dan posisi air laut yang ombaknya cukup kencang. Beberapa kali terlihat mereka agak goyah karena hempasan ombak yang cukup kencang menerpa perahu kami, sementara saya hanya duduk sambil memerang erat ke dinding perahu.

Hasil tangkapan ikan jaring kedua memang sedikit lebih banyak dibandingkan jaring pertama, tetapi tetap tidak bisa membuat ember kecil itu penuh. Kalau diperkirakan isinya sekira 3-4 kg saja yang diperoleh mereka hari ini, berarti upah yang harus diterima Rendi sekira antara Rp15.000-Rp.20.000, tidak lebih dari itu. Sementara pedapatan Pak Eko sekira Rp75.000-Rp100.000 (anggap saja harga per kg ikan @ Rp25.000). Belum dipotong upah Rensi dan bensin sekira 3 liter.

PERAHU MOTOR MACET DITENGAH LAUT

Waktu sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB, perut saya sudah mulai terasa lapar. Sayangnya, kami tadi sama sekali tidak membawa perbekalan apa-apa, sehingga tidak ada yang bisa dimakan atau diminum. Tadinya saya berpikir pekerjaan nelayan ini tidak memakan waktu lama, ternyata saya salah. Rupanya cara bekerja Pak Eko berbeda dengan nelayan lainnya yang mengambil ikan dan merapikan jaring ketika tiba di pantai,  sehingga menghemat waktu di laut. Sementara Pak Eko melakukan hal itu langsung di laut. Satu sisi memang praktis, tapi di sisi lain cukup menguras waktu.

Usai membereskan jaring, mesin perahu pun siap dinyalakan. Beberapa kali di stater, mesin tak kunjung menyala. Pak Eko tampak mulai kepayahan, tetapi semangatnya yang tinggi membuat dia terus mencoba menarik tali stater motor perahu tersebut. Akhirnya dia menyerah dan segera membongkar mesin tersebut untuk diperbaikinya. Tak lama kemudian motor bisa menyala kembali.

Sebenarnya perahu motor Pak Eko memiliki dua mesin. Kalau hanya menggunakan satu mesin, pergerakannya lambat, apalagi jika gelombang laut cukup besar. Keberadaan dua mesin sangat membantu daya dorong perahu melaju. Jika dalam keadaan darurat, bisa menjalankan perahu hanya dengan satu mesin, meskipun kecepatannya tentu saja rendah.

Akhirnya kami sampai di darat sekira pukul 10.30 WIB. Perjalanan yang cukup menegangkan sekaligus tak terlupakan. Semoga setiap kali kita makan ikan, kita akan selalu teringat dengan perjuangan peluh para nelayan yang menangkapnya di lautan sana. Kita doakan semoga suatu saat kelak kesejahteraan para nelayan semakin meningkat.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun