[caption caption="Perjuangan nelayan Banten mencari ikan di laut ditengah derasnya hujan (sumber: J.Haryadi)"][/caption]Oleh: J. Haryadi
Pagi hari, 23 Desember 2015, saya masih berada di Kampung Ketapang Cangkudu, Desa Citeureup, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Sekira pukul 05.30 WIB, saya naik ke sebuah Perahu Jukung milik Pak Eko - salah seorang nelayan yang akan segera melaut. Sehari sebelumnya saya sudah meminta izin untuk ikut meliput kegiatannya mencari ikan di laut.
Perahu bermesin dua yang dikemudikan Pak Eko mulai bergerak ke tengah laut. Samar-samar terlihat sebuah pulau kecil nun jauh di hadapan kami. Cuaca yang cukup cerah di pagi itu membuat perjalanan kami terasa mengasikkan.
[caption caption="Penulis berpose di atas Perahu Jukung dengan latar belakang Pak Eko yang sedang mengemudikannya (sumber: J.Haryadi)"]
[caption caption="Pak Eko duduk di buritan perahu sambil mengemudikan Perahu Jukung miliknya (Sumber: J. Haryadi)"]
[caption caption="Penulis ikut berpose di atas perahu dalam perjalanan ke tengah laut (sumber: J. Haryadi)"]
Beberapa ekor burung camar terlihat terbang di atas perahu yang kami tumpangi. Burung tersebut sesekali mengitari perahu, lalu beberapa saat terbang di tempat, kemudian meluncur ke bawah dengan cepat untuk menangkap ikan. Kadang-kadang burung tersebut gagal meraih tangkapannya, lalu kembali terbang mencari mangsa lainnya. Pemandangan menarik ini tentu sangat disayangkan untuk dilewatkan begitu saja dan segera saya abadikan melalui kamera handphone.
[caption caption="Burung camar yang terbang di atas perahu kami untuk ikut mencari ikan (sumber: J. Haryadi)"]
[caption caption="Beberapa bagan terlihat tidak jauh dari perahu yang saya tumpangi (sumber: J. Haryadi)"]
[caption caption="Sebuah Perahu Jukung milik nelayan tengah melintas tidak jauh dari lokasi kami menjaring ikan (sumber: J. Haryadi)"]
[caption caption="Sebuah bendera kecil terlihat mengapung-ngapung di laut sebagai pertanda ada jaring dibawahnya (sumber: J. Haryadi)"]
Benar saja, terlihat kepiting “rajungan” yang berhasil menyangkut dijaringnya. Seorang anak kecil bernama Rendi – murid kelas 5 SD yang ikut membantunya, segera memisahkan ikan hasil tangkapan mereka dari jaring yang menjeratnya. Hasil tangkapan ikan tidak begitu banyak. Hanya terdapat beberapa ekor kepiting “rajungan”, beberapa ekor ikan kecil, udang kipas dan udang lobster.
[caption caption="Pak Eko memperlihatkan seekor kepiting “rajungan” hasil tangkapannya (sumber: J.Haryadi)"]
[caption caption="Rendi - bocah kelas 3 SD sedang membntu melepaskan kepiting dari jaring yang menjeratnya (sumber: J. Haryadi)"]
[caption caption="Hasil tangkapan jaring Pak Eko hari ini berupa kepiting, ikan dan udang (Sumber: J. Haryadi)"]
[caption caption="Dalam kondisi hujan deras, Pak Eko dan Rendi tetap bekerja menarik jaring dari dalam laut (sumber: J.Haryadi)"]
[caption caption="Rasa dingin, letih dan lapar tidak membuat semangat Pak Eko dan Rendi luntur dalam bekerja mencari nafkah di lautan (sumber: J.Haryadi)"]
RENDI TIDAK MEMILIKI CITA-CITA
Saya sangat kaget sekaligus prihatin ketika mewawancarai Rendi – anak buah perahu, yang biasa membantu Pak Eko melaut ketika sedang tidak bersekolah. Anak berusia sekira 10 tahun yang masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar (SD) ini ternyata tidak mempunyai cita-cita untuk masa depannya. Dia begitu pesimis menghadapi kehidupannya. Betapa tidak, saat ini rendy di asuh oleh neneknya, sedangkan kedua orangtuanya merantau ke Pulau Bangka untuk bekerja menari nafkah menjadi buruh pencari timah di pertambangan ilegal.
Raut wajah Rendi sama sekali tidak memperlihatkan wajah anak-anak yang seharusnya riang gembira. Tatapannya kosong melihat laut lepas yang terhampar dihadapannya. Dia tidak begitu yakin nasibnya akan berubah, karena pada kenyatannya hidupnya penuh dengan derita. Bayangkan saja, upahnya ke laut dihitung berdasakan hasil tangkapan nelayan yang menjadi majikannya. Dirinya hanya diberi upah sebesar Rp5.000 per kg hasil tangkapan. Jika sedang bernasib mujur, hasilnya cukup lumayan untuk mebantu neneknay belanja, tetapi kalau sedang apes, dia harus ikhlas hanya memperoleh uang lelah ala kadarnya.
[caption caption="Rendi – sosok bocah nelayan, yang tidak memiliki cita-cita dalam hidupnya akibat getirnya kehidupan (sumber: J. Haryadi)"]
[caption caption="Rendi, sosok bocah yang sudah terbiasa bermain dengan perahu, jaring dan air laut (sumber: J. Haryadi)"]
MENGANGKUT JARING KEDUA
Hasil tangkapan ikan jaring pertama ternyata tidak banyak, hanya sekira seperempat ember plastik kecil. Perahu yang kami tumpangi kemudian memutar arah menuju titik lainnya di tengah lautan. Saya sendiri tidak tahu secara pasti bagaimana Pak Eko bisa mengingat lokasi pemasangan jaringnya, padahal lautan itu sedemikian luas. Anehnya, dia bisa mengarahkan posisi perahu persis dilokasi pemasangan jaringnya yang ditandai dengan keberadaan bendera kecil yang mengapung-apung.
Sama prosesnya seperti jaring pertama, pak Eko mulai mengangkat bendara dan mulai menggulung jaring kembali. Sementara itu Rendi mengulangi aktivitasnya melepaskan ikan, udang atau kepiting yang tersangkut di dalam jaring. Beberapa ikan tampak hanya tinggal kepalanya saja karena tubuhnya sudah habis dimakan kepiting.
Jika terdapat hewan laut yang tidak diinginkan menempel di jaring, Pak Eko tidak segan-segan menghantamkan palu ke tubuh hewan tersebut sehingga hancur berantakan dan membuangnya ke laut. Ketika saya tanyakan mengapa harus dihancurkan, tidak dilepaskan saja. Dia menjawab demi menghemat waktu, sebab membuka hewan yang terjerat jaring ternyata cukup menguras waktu dan tenaga.
Saat sedang asik-asiknya menarik jaring, kembali hujan deras datang. Pekerjaan lalu dihentikan sejenak untuk kemudian memasang jas hujan dan pelindung perahu yang terbuat dari terpal plastik yang dikaitkan dengan tali dan bambu. Pemasangan hanya membutuhkan waktu sekira beberapa detik saja.
Perjuangan mengangkat jaring pasti semakin berat karena guyuran hujan dan posisi air laut yang ombaknya cukup kencang. Beberapa kali terlihat mereka agak goyah karena hempasan ombak yang cukup kencang menerpa perahu kami, sementara saya hanya duduk sambil memerang erat ke dinding perahu.
Hasil tangkapan ikan jaring kedua memang sedikit lebih banyak dibandingkan jaring pertama, tetapi tetap tidak bisa membuat ember kecil itu penuh. Kalau diperkirakan isinya sekira 3-4 kg saja yang diperoleh mereka hari ini, berarti upah yang harus diterima Rendi sekira antara Rp15.000-Rp.20.000, tidak lebih dari itu. Sementara pedapatan Pak Eko sekira Rp75.000-Rp100.000 (anggap saja harga per kg ikan @ Rp25.000). Belum dipotong upah Rensi dan bensin sekira 3 liter.
PERAHU MOTOR MACET DITENGAH LAUT
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB, perut saya sudah mulai terasa lapar. Sayangnya, kami tadi sama sekali tidak membawa perbekalan apa-apa, sehingga tidak ada yang bisa dimakan atau diminum. Tadinya saya berpikir pekerjaan nelayan ini tidak memakan waktu lama, ternyata saya salah. Rupanya cara bekerja Pak Eko berbeda dengan nelayan lainnya yang mengambil ikan dan merapikan jaring ketika tiba di pantai, sehingga menghemat waktu di laut. Sementara Pak Eko melakukan hal itu langsung di laut. Satu sisi memang praktis, tapi di sisi lain cukup menguras waktu.
Usai membereskan jaring, mesin perahu pun siap dinyalakan. Beberapa kali di stater, mesin tak kunjung menyala. Pak Eko tampak mulai kepayahan, tetapi semangatnya yang tinggi membuat dia terus mencoba menarik tali stater motor perahu tersebut. Akhirnya dia menyerah dan segera membongkar mesin tersebut untuk diperbaikinya. Tak lama kemudian motor bisa menyala kembali.
Sebenarnya perahu motor Pak Eko memiliki dua mesin. Kalau hanya menggunakan satu mesin, pergerakannya lambat, apalagi jika gelombang laut cukup besar. Keberadaan dua mesin sangat membantu daya dorong perahu melaju. Jika dalam keadaan darurat, bisa menjalankan perahu hanya dengan satu mesin, meskipun kecepatannya tentu saja rendah.
Akhirnya kami sampai di darat sekira pukul 10.30 WIB. Perjalanan yang cukup menegangkan sekaligus tak terlupakan. Semoga setiap kali kita makan ikan, kita akan selalu teringat dengan perjuangan peluh para nelayan yang menangkapnya di lautan sana. Kita doakan semoga suatu saat kelak kesejahteraan para nelayan semakin meningkat.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H