Tidak Semua Pekerjaan Bisa WFH
Saya juga paham betul hal ini. Tidak mungkin abang-abang ojek online WFH, mustahil pula para kondektur bus, nelayan, atau petani bekerja dari rumah.
Pertanyaannya, seberapa besar presentase pekerja kerah biru dan pekerja kerah putih di Indonesia? Sebisa mungkin para pekerja putih atau mereka yang bekerja di perkantoran mengerjakan tugas-tugasnya secara online saja.
Toh, sekarang apa-apa sudah online. Sudah saatnya kita memaksimalkan yang online-online ini demi efektivitas pekerjaan.
Seorang kawan saya di Makassar sempat curhat bahwa para first jobber di kantornya perlu tatap mungkin demi memastikan pekerjaannya benar. Soalnya, bekerja dari rumah butuh komitmen dan profesionalitas dan mereka yang sekantor masih kurang di sisi ini.
Ya, namanya juga zaman yang terus bergerak. Masa' iya kita tidak bisa berkomitmen dan saling percaya antara satu sama lain? Memang butuh waktu dan konsistensi. Toh, sekarang adalah waktu yang tepat sebab kita tentu tidak ingin menunggu hingga kita semua bekerja dengan menggunakan tabung oksigen karena okaigen gratis di udara sudah habis.
Apa Kabar Kesehatan Mental?
Yang ini jangan ditanya. Bekerja di rumah memang rentan membuat kita stres. Saya bahkan harus menderita kebotakan sejak dini selama 2 tahun lebih WFH.
Bagaimana tidak? Ketika sedang meeting 1 on 1 dengan atasan saya, anak pertama saya merengek mau menonton Cocomelon di laptop kantor. Belum lagi jika tiba-tiba orang tua kita meneriaki kita menyuruh mengangkat jemuran. Padahal posisinya kita sedang pitching ke calon klien.
Namun, hal ini mungkin tidak akan ada apa-apanya jika kita harus menempuh perjalanan berjam-jam, menembus kemacetan kota, dan saling klakson di jalan atau saling sikut di halte bus.
Doa Kami di Akhir Pekan