Dengan alasan negara sedang dalam keadaan perang melawan Timor Timur, para korban unimog ini dimakamkan dengan pidato-pidato yang membangkitkan nasionalisme oleh para perwira tentara.
Selain kisah pertikaian dengan Timor Timur, buku ini juga sempat menyinggung orang-orang Tionghoa di Oetimu yang kelabakan mencari tempat persembunyian. Mereka ketakutan karena mendengar berita bahwa para Tionghoa di Jakarta dikejar untuk dibunuh.
"Kalian orang bodoh, selalu terpengaruh dengan masalah orang-orang Jakarta. Orang Jakarta yang kencing dan berak, kalian yang menutup hidung dan menyiram toilet."
Meski di halaman depan Orang-Orang Oetimu terdapat daftar istilah dan singkatan, membaca buku ini tidak membuat saya harus mengintip daftar tersebut. Felix menulis novel tanpa berusaha menjual lokalitas. Dia bertutur apa adanya selayaknya orang-orang tua yang mendongeng di lapo kala hujan.
Indonesia merdeka 74 tahun lalu, tapi rasa-rasanya selalu ada yang tidak beres dan perlu dibereskan sebelum angka tersebut bertambah. Begitulah yang saya pikirkan setelah menghabiskan halaman terakhir buku ini, meski Orang-Orang Oetimu adalah fiksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H