"Seperti apakah rupa tentara Indonesia itu? Apakah putih seperti Belanda atau kuning seperti Nippon? Apakah mereka suka mengadu orang atau ketagihan memerkosa kuda?
Tentu saja tidak, tapi sekarang kita kita mempunyai bahasa yang baru, Bahasa Indonesia namanya.
Saya bertemu dengan Am Siki di Orang-Orang Oetimu milik Felix K. Nesi. Felix; penulis asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ini berhasil membuat saya menakar-nakar banyak hal tentang Indonesia melalui bukunya ini.
Jauh sebelum Indonesia merdeka; NTT merupakan daerah Timor Barat, sedangkan Timor Timur adalah Timor Leste. Keduanya berada di satu daratan tapi diperebutkan oleh dua bangsa asing yang jauh-jauh datang dari daratan Eropa.
Belanda di Timor Barat dan Portugis di Timor Timur. Keduanya terlibat pertikaian cukup panjang hingga akhirnya diputuskan untuk membagi kedua daerah tersebut.
Apa sebab mereka ingin menguasai daerah ini? Kayu cendana.
Seperti Am Siki yang sesak dadanya saat mendengar orang-orang Timor dipaksa untuk mempelajari Bahasa Indonesia, seperti itulah yang saya rasakan saat tiba di halaman 39 buku yang memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018 ini.
"Dahulu, ini adalah kerajaan Timu Un, sekarang sudah menjadi Kecamatan Makmur Sentosa."
Am Siki baru saja bebas dari tahanan Jepang ketika Indonesia telah merdeka. Dia membunuh sepuluh orang tentara Nippon, membakar habis satu kamp kerja paksa, dan masih hidup setelahnya. Kejadian inilah yang membuatnya tersohor se-antero Timor Barat.
Oleh pejabat pemerintahan dia dianggap pahlawan dan diundang untuk menghadiri perayaan HUT Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus.
"Sudah saya bilang, saya bukan pahlawan. Saya tidak menyelamatkan bangsa, dan apa itu medali?" tegas Am Siki.
Sesudah Indonesia merdeka hidupnya banyak berubah. Dia menghabiskan waktu dengan menyuling sopi, menghasilkan tuak manis, dan membuat gula dari pohon lontar. Daun-daun lontar juga  disulapnya menjadi kertas tembakau, tikar, bakul, hingga mainan untuk anak-anak.