Mohon tunggu...
Julyta Puspa
Julyta Puspa Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Keterangan Profil? Gelapin lah

dont be totally worry about everything going around us. its Allah's job

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Solusi P2TL Golongan P IV

17 Desember 2020   13:03 Diperbarui: 17 Desember 2020   13:11 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Setelah sekian purnama akhirnya ada dorongan kuat buat nulis lagi karena yang sharing informasi soal P2TL golongan P IV ini masih tergolong minim. Semua yang baca ini saya asumsikan sudah paham apa itu P2TL dan golongan-golongannya karena pasti yang membaca punya permasalahan yang sama seperti saya. Kebanyakan kasus P2TL  perihal kebocoran arus listrik PLN yang tidak diketahui empunya dan dengan se-enaknya teknisi meminta tanda tangan berita acara lalu diundang ke kantor PLN.

Ada beberapa hal yang menurut saya harus jadi pertimbangan utama kita sebagai konsumen. Pertama, suka tidak suka saat kita beli rumah dari orang lain listrik di rumah tersebut menjadi tanggung jawab kita jadi kalau ada kejanggalan lebih baik lapor (walaupun akan tetap dikenakan tagihan susulan dan denda) kalau kita memiliki kontrakan dan kecurangan/kebocoran arus disebabkan oleh orang yang mengontrak maka yang akan disalahkan tetap saja kita padahal kita tidak tahu menahu apalagi yang sehari-harinya cuma paham kabel charger doang, boro-boro tengok meteran listrik.

Kedua, jika ada pemeriksaan P2TL maka sebaiknya rekam dengan CCTV atau kamera selama proses pengerjaan. Hanya bermaksud menghindari kecurangan yang dibuat-buat. Jadi nantinya tidak ada keributan antara konsumen dan teknisi yang saling menyalahkan kalau tiba-tiba ditemukan kebocoran arus. Ketiga, hal yang menurut saya paling penting jangan sembarangan menandatangani berita acara. Kalau yang punya rumah tidak ada di rumah sebaiknya jangan ada yang wakilkan karena P2TL ini suka asal ngoprek walau yang punya rumah sedang tidak ada, jadi usahakan titip pesan ke tetangga jangan tanda tangani berita acara kalau saya tidak ada di rumah,ok.

Oke kita mulai cerita tentang kasus PIV ini. Kasus P2TL P IV merupakan kerusakan meteran yang disebabkan bukan oleh pelanggan. Terus disebabkan karena apa dong? saya sempat tanya ke teknisi (by phone) saat rumah saya diperiksa dan katanya " Ya ga tau juga bu namanya alat apa lagi sistem begitu kan ada aja kerusakannya". 20 November 2020 siang, saat dirumah cuma ada anak dan adik saya, petugas P2TL datang dan minta izin periksa meteran. Adik saya sudah sampaikan supaya datang besok karena yang punya sedang tidak ada di rumah.

Awalnya sudah oke tapi saat adik saya naik ternyata teknisi memulai pemeriksaan saat itu juga. "lho mas, kok ga jadi besok" dan kata mereka "iya jadinya sekarang aja" mungkin karena saat itu ada adik ipar saya (seberang rumah) yang mendampingi. Dan hasil pemeriksaan menyimpulkan meteran listrik saya rusak (spt yang teknisi bilang tidak bisa diketahui pasti penyebabnya) dan saya langsung terima berita acara copy biru yang berisikan notes hari senin utk datang ke kantor PLN. Lalu teknisi tersebut memberikan nomor telepon yang dia sebut "ibu bisa hubungi bos saya via whatsapp".

Saya coba hubungi Mr. J ini melalui whatsapp dan katanya betul akan dikenakan tagihan susulan. "Karena selama ini yang ibu bayar bulanan itu bukan tagihan yang semestinya, meterannya kan rusak jadi nanti saya minta data ke helpdesk dulu baru saya bisa kabari ibu berapa tagihannya." Memang tagihan yang dibayarkan menurun cukup signifikan dan kami sempat telepon call center 123 dan katanya memang tagihannya segitu, lalu sebagaimana konsumen yang cuma ngerti kabel charger dan kabel rice cooker ya saya menjalani kehidupan seperti orang-orang pada umumnya yang kalau ada tagihan ya bayar. Dari informasi yang saya terima, tim P2TL ini outsourch PLN tapi memang wewenang tagihan ada di Mr. J ini.

Selang beberapa hari tepatnya 7 Desember 2020 ybs memberikan foto melalui whatsapp yang intinya tagihan susulan saya sebesar Rp. 13.819.589 hasil dari rata-rata pemakaian (menggunakan meteran baru) dan rerata sebelum meterannya rusak. Siapa yang ga kaget si dengan tagihan sebesar ini. Orang-orang lagi pandemi pada dikasih listrik gratis lha ini malah nambah.

Lalu saya mulai cari-cari literatur soal ini, tapi untuk kasus PIV ini nyaris tidak ketemu endingnya. Salah satu relasi mengalami hal sama namun listrik yang digunakan bukan pasca bayar, ketika dipanggil ke kantor PLN relasi saya itu marah-marahin petugasnya "kalian yang kerja ga bener kenapa nagih ke saya? buat apa bayar orang tiap bulan muter keliling ngecekin meteran tapi ko masih aja salah" dan akhirnya berujung pada dibebaskannya dia dari segala tuntutan. Tapi beda orang pasti beda perlakuan.

Saya memilih untuk coba berlindung ke BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) tapi saran dari suami dan kakak saya "yaudah kalau 5 juta dibayar aja" dan ending saya beneran kena di angka 5 juta (nanti diceritain). Cerita tentang BPSK ini saya dapatkan saat baca jurnal "Perlindungan Konsumen Terhadap Pembayaran Tagihan Susulan oleh PT PLN dikarenakan meteran listrik yang bermasalah" (Murtadewi: 2016) dan memang masih berharap banyak BPSK bisa selesaikan permasalahan saya ini.

Saya coba telepon ke BPSK Jakpus dan disarankan untuk menyiapkan bukti-bukti misalnya bukti pembayaran, KTP, dan juga mediasi terlebih dahulu dengan pihak PLN. Kalau bisa PLN menyertakan surat tertulis kalau tidak menyetujui permohonan saya. Dalam hati saya merasa masih gambling, bisa atau tidaknya, keputusan majelis nanti berpihak ke siapa, dan banyak pertanyaan lain juga tentang waktu, tenaga, pikiran dsb untuk penyelesaian ke BPSK ini.

Tgl 8 Desember ini Mr. J menghubungi saya lagi dan menanyakan kapan bisa hadir ke kantor, saya juga jelaskan tidakk ada uang sebanyak itu, untuk ukuran orang yang bertugas menagih menurut saya Mr.J cukup komunikatif mungkin juga mempertimbangkan bahwa kasus saya ini bukan karena kesalahan saya (walau tidak mengatakan ini kesalahan PLN). Mr.J menyarankan saya untuk membuat SKTM dan mengajukan keringanan (Padahal keringanan ini pun Mr.J yang memutuskan fyi). Kabar baiknya sekarang ada Jakevo untuk buat SKTM menjadi sangat amat sederhana. 

Tanggal 11 Desember saya dikirimkan simulasi keringanan  sehingga angka yang tertagih menjadi Rp. 8.686.166 namun tetap saja menurut saya hal itu masih sangat berat. Tanggal 15 Desember saya ajukan keringanan dengan kemampuan membayar Rp. 2.000.000 dan hanya di read. Tanggal 16 Desember 2020 saya di telepon dan berbeda dengan mediasi-mediasi sebelumnya Mr.J bicara dengan nada tinggi ala rentenir nagih utang dan meminta saya hadir di tgl yang sama untuk penyelesaiannya.

Dalam hati saya bertekad jangan kasih kendor, jangan bayar kalo angkanya diatas 2 juta. tapi terngiang-ngiang juga kata-kata suami dan kakak yang bilang kalau 5 juta bayar aja. Kebayang juga ngadu ke BPSK karena penasaran bagaimana proses penyelesaian yang non pengadilan ini, prosesnya, caranya, endingnya. Lalu kepikiran juga waktu, tenaga, pikiran yang harus terkuras kalau ke BPSK. 

Sesampainya di PLN Menteng, pembicaraan saya rekam mungkin karena sudah terbiasa merekam obrolan penting untuk bukti nantinya kalau terjadi hal yang tidak diinginkan. Mr.J yang kalau menurut suami saya gayanya cukup perlente dengan barang-barang branded menjelaskan simulasi yang angkanya tiba-tiba berubah lagi jadi 7 jutaan.

Saya protes karena tujuan saya ke sana untuk meminta keringanan dengan surat permohonan dan SKTM yang saya bawa. Mr.j  ya sudah ini keputusan ibu ya, tapi jangan salahkan saya kalau nanti yang keluar dari atasan saya malah angka yang Rp. 13 untuk taggihan finalnya. "Lho kok aneh sih pak, mana ada orang minta keringanan tapi malah yang ditagih lebih gede" dengan segala negosiasi akhirnya angka yang disimulasikan Mr. j sebesar Rp. 4.961.100 dan angka tersebut harus disisipkan ke pembayaran selama 1 tahun berikut. untuk ukuran rumah yang cuma segede apartmen 2BR  kira-kira dalam satu bulan harus dianggarkan 800 ribu lah untuk listrik dan cicilan tagihan susulan ini. 

Saat surat pengakuan utang terbit saya diminta KTP dan tanda tangan, sebenarnya agak ragu untuk memberikan tapi akhirnya kami putuskan untuk menyetujui saja. walau saya masih sangat penasaran tentang apa yang bisa BPSK lakukan untuk kasus seperti saya, karena keputusan BPSK bersifat mutlak final. Penjual hanya bisa menggugat ke Mahkamah Agung maksimaum 14 hari jika tidak menyetujui putusan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun