Mohon tunggu...
Juli Prasetya
Juli Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Pemuda desa tampan dan sederhana yang mencintai dunia literasi, sastra, sejarah, komunikasi, sosial dan budaya.

Pemuda desa tampan dan sederhana yang mencintai dunia literasi, sastra, sejarah, komunikasi, sosial dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Akhir Catatan Cak Rusdi dalam "Seperti Roda Berputar"

25 Oktober 2018   05:53 Diperbarui: 26 Oktober 2018   08:52 1620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dok. Rusdi Mathari via facebook

Awal Agustus sore yang mendung itu, pak pos mengirimkan bungkusan hitam berlabel Mojok di sisi atasnya dengan kata-kata mutiara dari cak Rusdi "saya harus mengetik, harus bertahan dan hidup. Menulis adalah pekerjaan saya. Karena itu saya mencoba menulis menggunakan gajet, meskipun hanya dengan satu jari. Tangan kiri memegang gajet, jempol tangan kanan mengetik" itulah kata-kata Rusdi Mathari yang belum lama ini wafat karena Tumor Kanker yang bersarang di tubuhnya.

Paket tersebut saya terima dengan tangan gemetaran. 1 paket buku Cak Rusdi Mathari, berisi tiga buah buku.

1 Jurnalisme bukan monopoli wartawan
2. Menghitung Langkah Ayam
3. Seperti Roda berputar; Catatan di Rumah Sakit

Dan ketiga buku tersebut saya hadiahkan kepada diri saya pribadi, yang baru saja berulang tahun, selamat ulang tahun diri saya.

Sambil membuka buku yang ditumpuk dan dilapisi dengan plastik cetar-cetor, dan diikat dengan pita putih soswit , saya terlebih dahulu menyobek bungkus plastik buku Seperti Roda Berputar (FYI Seperti Roda Berputar tidak diperjualbelikan, namun dihadiahkan kepada pembeli yang membeli item buku tertentu).

Entah mengapa melihat ketiga judul buku tersebut saya memilih ingin membaca catatan harian cak Rusdi saat di rumah sakit, sebelum ia meninggal. Saya mengenal cak Rusdi saat tulisannya nampang di situs Mojok.co.

Hal pertama yang saya lakukan setelah menyobek plastik pembungkus buku adalah melakukan kebiasaan para pecandu buku yang sok romantis; ya menciumi halaman demi halaman buku baru. Kemudian saya tuliskan tanggal pembukaannya dan saya bubuhi tanda tangan dan nama terang.

Di halaman Romawi v, saya membaca ucapan terimakasih dari Voja Alfatih, (anak cak Rusdi). Kepada orang-orang yang turut membantu ayahandanya dikala sakit.

dok. pribadi
dok. pribadi

Judul : Seperti Roda Berputar; Catatan di Rumah Sakit
Penulis : Rusdi Mathari
Tebal : x+78 hlm.
Penerbit : Buku Mojok
Tahun terbit : 2018
Cetakan 1 : Juli, 2018
ISBN : tidak diperjualbelikan, hanya dihadiahkan kepada pembelian buku-buku tertentu

Kemudian membaca kata pengantar dari penerbit, yang sedikit menceritakan tentang keinginan cak Rusdi yang ingin menerbitkan novel. dan potongan-potongan novelnya diterbitkan di Mojok.co. 

Serta semangat Cak Rusdi dalam menulis hanya maut yang bisa memadamkan semangat menulisnya, namun di akhir hayatnya lagi-lagi cak Rusdi terus menulis. Menulis kenangan di hati dan ingatan para sahabat dan penerusnya.

Seperti Roda Berputar memuat 11 judul catatan Cak Rusdi saat di rumah sakit, yaitu  dan di pungkasi dengan epilog dari Kepala Suku, Puthut Ea.

Untuk merampungkannya saya membutuhkan waktu 1,5 jam. Awal-awal membaca saya menahan tawa karena kelucuan cak Rusdi dalam menggarap cerita sakit ambeiennya. 

Tapi sedetik kemudian saya teringat cak Rusdi yang sudah meninggal, saya berpikir apakah boleh saya menertawakan orang yang sudah meninggal, sehingga pada akhirnya, jika saya menemukan kelucuan dalam tulisan cak Rusdi saya cukup tersenyum, dan tertawa dalam hati. (Meskipun pada akhirnya saya cengengesan juga)

Seperti Roda Berputar; Catatan di Rumah Sakit pada akhirnya membuat mata saya berkaca-kaca. Entah ada perasaan apa setelah selesai membaca tulisan cak Rusdi

Dari pembacaan dan pemaknaan buku ini tentu saja setiap orang berbeda-beda dalam mengambil saripati hikmahnya, tapi dari saya pribadi disitu tersimpan pelajaran berharga, upaya penyadaran diri dan pemaknaan setiap kejadian ; bagaimana untuk kuat ketika sakit, menerima segala keadaan diri dan kemudian berdamai dengannya, dan yang paling penting sebagai manusia adalah daya dukung sosial apa yang kita miliki sebelum kita benar-benar pulang ke pangkuan ilahi. Jejak apa yang sudah kita tinggalkan?

Menutup tulisan ini saya ingin mengutip epilog yang ditulis puthut ea

"Ada satu titian di hidup kita, yang hanya dengan satu kedipan, kita tiba-tiba berubah menjadi "beban". Sakit, kena gempa, kecelakaan kendaraan, bahkan terpeleset kulit pisang pun dalam kondisi tertentu bisa langsung membuat kita lumpuh dan Tak berdaya.

Cak Rusdi saya kira beruntung. Dia sempat berbulan-bulan dirawat di rumah sakit. Berbulan-bulan dirawat di rumah. Dan saya menyaksikan sendiri uluran tangan banyak pihak kepadanya. Termasuk yang luar biasa adalah mereka yang mendampingi proses itu. Untuk memudahkan, saya akan menyebutnya daya dukung sosial.

Pertanyaannya sederhana, dengan tidak bermaksud mensyukuri sakitnya, kenapa cak Rusdi bisa cukup beruntung seperti itu? Apa yang dia lakukan dalam hidup sehingga daya dukung sosialnya sangat lentur dan liat? Setahun lebih dia sakit. Itu bukan waktu yang pendek.

Dan yang terakhir, apakah jika kita mengalami seperti cak Rusdi (dengan segala variannya), kita cukup beruntung seperti almarhum? Kalau tidak, apa yang perlu kita persiapkan? Apakah bisa dipersiapkan?"

Selamat jalan, Cak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun