Serta semangat Cak Rusdi dalam menulis hanya maut yang bisa memadamkan semangat menulisnya, namun di akhir hayatnya lagi-lagi cak Rusdi terus menulis. Menulis kenangan di hati dan ingatan para sahabat dan penerusnya.
Seperti Roda Berputar memuat 11 judul catatan Cak Rusdi saat di rumah sakit, yaitu  dan di pungkasi dengan epilog dari Kepala Suku, Puthut Ea.
Untuk merampungkannya saya membutuhkan waktu 1,5 jam. Awal-awal membaca saya menahan tawa karena kelucuan cak Rusdi dalam menggarap cerita sakit ambeiennya.Â
Tapi sedetik kemudian saya teringat cak Rusdi yang sudah meninggal, saya berpikir apakah boleh saya menertawakan orang yang sudah meninggal, sehingga pada akhirnya, jika saya menemukan kelucuan dalam tulisan cak Rusdi saya cukup tersenyum, dan tertawa dalam hati. (Meskipun pada akhirnya saya cengengesan juga)
Seperti Roda Berputar; Catatan di Rumah Sakit pada akhirnya membuat mata saya berkaca-kaca. Entah ada perasaan apa setelah selesai membaca tulisan cak Rusdi
Dari pembacaan dan pemaknaan buku ini tentu saja setiap orang berbeda-beda dalam mengambil saripati hikmahnya, tapi dari saya pribadi disitu tersimpan pelajaran berharga, upaya penyadaran diri dan pemaknaan setiap kejadian ; bagaimana untuk kuat ketika sakit, menerima segala keadaan diri dan kemudian berdamai dengannya, dan yang paling penting sebagai manusia adalah daya dukung sosial apa yang kita miliki sebelum kita benar-benar pulang ke pangkuan ilahi. Jejak apa yang sudah kita tinggalkan?
Menutup tulisan ini saya ingin mengutip epilog yang ditulis puthut ea
"Ada satu titian di hidup kita, yang hanya dengan satu kedipan, kita tiba-tiba berubah menjadi "beban". Sakit, kena gempa, kecelakaan kendaraan, bahkan terpeleset kulit pisang pun dalam kondisi tertentu bisa langsung membuat kita lumpuh dan Tak berdaya.
Cak Rusdi saya kira beruntung. Dia sempat berbulan-bulan dirawat di rumah sakit. Berbulan-bulan dirawat di rumah. Dan saya menyaksikan sendiri uluran tangan banyak pihak kepadanya. Termasuk yang luar biasa adalah mereka yang mendampingi proses itu. Untuk memudahkan, saya akan menyebutnya daya dukung sosial.
Pertanyaannya sederhana, dengan tidak bermaksud mensyukuri sakitnya, kenapa cak Rusdi bisa cukup beruntung seperti itu? Apa yang dia lakukan dalam hidup sehingga daya dukung sosialnya sangat lentur dan liat? Setahun lebih dia sakit. Itu bukan waktu yang pendek.
Dan yang terakhir, apakah jika kita mengalami seperti cak Rusdi (dengan segala variannya), kita cukup beruntung seperti almarhum? Kalau tidak, apa yang perlu kita persiapkan? Apakah bisa dipersiapkan?"