Mohon tunggu...
juli triantoro
juli triantoro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ironi di Negeri Sendiri

8 Oktober 2015   09:51 Diperbarui: 8 Oktober 2015   10:01 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Petani di Desa Serang"][/caption]

Sudah menjadi hal yang lumrah banyak orang yang menyebut kalau indoneaia adalah negara agraris. Negara agraris adalah negara yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Mata pencaharian utama masyarakat Indonesia pada umumnya adalah petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Swasembada pangan terus digalakkan sejak lama. katakan saja pada saat soeharto menjabat sebagai presiden, revolusi hijau menjadi program yang sangat gencar dilakukan saat itu. bahkan hingga kini efek dari program itu masih terasa sampai sekarang. Walaupun sempat berhasil menjadikan indonesia betswasembada beras sekitar tahun 1980-an, tapi hal itu sudah tidak dirasakan lagi saat ini. Bahkan permasalahan pertanian menjadi makin komplek, entah itu permasalahan dari para petani, konsumen, perusahaan di bidang pertanian, ataupun dari birokrasi pemerintahan yang masih belum mendukung dan melindungi pertanian secara penuh.

Di negara agraris ini apakah tidak ada yang memikirkan para petani? pastinya ada, lalu kenapa negara ini tetap seperti ini? Apakah kita akan menyalahkan petani yang kurang maju secara pola pikir, atau pemerintah yang kurang tanggap, atau bahkan kita sendiri yang hanya menjadi penonton tanpa melakukan sesuatu. Mungkin melalui KKN yang penulis lalui di desa serang sedikit dapat menjawab pertanyaan itu atau paling tidak dapat menggambarkan apa yang dialami oleh para petani.

“KKN”, sebuah kewajiban bagi setiap mahasiswa S1 di UGM untuk syarat kelulusan setudinya. Target mulianya adalah pemberdayaan masyarakat. Dengan jumlah 20 hingga 30 mahasiswa dari segala jurusan, mereka dijadikan satu tim untuk dikirimkan ke daerah yang sudah ditetapkan khususnya daerah yang dirasa masih tertinggal. Dari beberapa tempat itu, tim kami dengaan jumlah 29 orang diterjunkan di Desa Serang dengan kode unit JTG-42 dan dibagi menjadi 5 sub-unit.

Desa serang, sebuah desa yang secara administratif berada di Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Desa ini adalah rintisan desa agrowisata. sudah beberapa kali orang asing berkunjung ke sana, misalnya dari Jepang. Pada mulanya ada orang jepang yang bekerjasama mengembangkan pertanian strawberry dan hingga kini berkembang menjadi wisata strawberry sebagai wisata unggulan di desa ini. Namun akhir-akhir ini, pengunjung mulai menurun yang salah satunya disebabkan oleh kualitas strwaberry yang tidak sebagus dulu lagi.

Sebenarnya potensi yang ada di desa searang bukan hanya wisata strawberrynya tetapi juga letakknya yang berada di lereng gunung slamet menjadikan tanah dan iklimnya sangat mendukung untuk budidaya berbagai komoditas pertanian khususnya sayur-sayuran. Dari 5 dusun yang ada di desa ini, hampir seluruh penduduknya adalah petani. Akantetapi, hanya dusun 3 sampai 5 saja yang menjadi pusat budidaya sayuran dan strawberry. Sedangkan di dusun 1 dan 2 tidak banyak ladang-ladang yang dapat ditanam sayuran dan strawberry karena secara geografis letaknya lebih rendah daripada dusun yang lain sehingga petani di dusun 1 dan 2 lebih banyak menanam singkong dan jagung.

Namun, potensi yang menggiurkan itu tidaklah menjadi sumber penghasilan yang dapat diandalkan untuk mensejahterakan seluruh petani di sana. Mungkin hanya beberapa petani yang beruntung dalam menjalankan bisnis pertaniannya. Biasanya mereka adalah orang-orang penting yang berpengaruh seperti pejabat pemerintahan dan ketua organisasi atau kelompok yang mempunyai berhektar-hektar lahan. Sedang yang lainnya hanya petani kecil dengan modal terbatas atau hanya sebatas mengelola lahan majikannya.

Kami pun mencoba merencanakan beberapa program berdasarkan informasi yang kami dapatkan ketika survey di lapangan untuk memecahkan masalah di atas. Kami pikir program yang dirancang sejak awal pembentukan tim sudah dapat mengatasi persoalan-persoalan itu. Akantetapi tidak sedikit program kami yang ternyata sama sekali belum dapat mengurangi permasalahan tersebut. Pesimis? Ya, mungkin kami pesimis. Dengan ilmu yang baru sejengkal kami peroleh di UGM sangat jauh dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh petani. Bagaimana tidak, mereka sudah bertahun-tahun bergelut di bidang ini. Kami mungkin menang secara teori tapi secara praktek kami kalah. Selain itu, tak jarang mereka sudah tahu ilmunya tetapi susah untuk mengaplikasikannya. Tapi kami harus menyelesaikan KKN kami.

Salah satu yang ingin kami ubah adalah mengenai cara pertanian yang masih belum lepas dari penggunaan bahan kimia menjadi pertanian yang organik. Awalnya kami berpikir kalau mereka tidak tahu bahaya pestisida kimia. Tetapi ternyata mereka sangat tahu kalau mereka terus menerus memakai bahan kimia pasti akan menurunkan kualitas lahan yang mereka garap. Mereka juga sudah tahu tentang bahaya mengomsumsi produk yang tercemar bahan kimia. Hampir seluruh produk yang sudah tercemar pestisida kimia tidak pernah mereka makan sendiri. Mereka hanya memakan produk yang jarang terkena hama karena pasti tidak menggunakan pestisida dalam budidayanya.

Sedang yang sudah tercemar bahan kimia akan mereka jual tanpa memikirkan bahayanya bagi konsumen. Petani hanya memikirkan bagaimana caranya konsumen membeli produk mereka karena ini adalah bisnis. Hal ini wajar saja karena sebagian besar konsumen di Indonesia pasti memilih produk pertanian yang mulus tanpa cacat. Konsumen akan segan untuk membeli sayuran atau buah yang sudah terlihat ada ulat atau serangga yang menggerogotinya. Padahal itulah yang aman untuk dimakan.

Memang belum ada tempat yang khusus untuk pertanian organik di Indonesia. Berkali-kali dicanangkan pertanian organik oleh pemerintah tetapi itu hanya menyudutkan petani saja. Bagaimana tidak? Selain lebih merepotkan juga pasar belum siap memerima produk pertanian organik. Harga yang sama dengan produk non organik menyebabkan para petani malas untuk bertani secara organik. Dengan tidak ada yang mau menghargai kerja mereka beralih menjadi petani organik, mereka lebih memilih kembali menggunakan bahan kimia yang lebih praktis dan murah.

Permasalahan harga jual memang menjadi permasalahan yang sangat krusial bagi petani. Harga jual dapat sewaktu-waktu melonjak tinggi dan sebaliknya juga dapat turun drastis. Disaat harga tinggi, panen mereka sedang tidak banyak dan disaat panen mereka banyak, harga sangat rendah bahkan tidak cukup sekedar balik modal untuk biaya panen sehingga lebih baik membiarkannya membusuk di ladang daripada harus tekor. Hal ini mungkin disebabkan karena petani hanya bisa menerima berapapun harga yang ditentukan oleh para tengkulak. Petani tidak bisa mematok harga jual produk mereka karena kalah dalam penawaran. Penanganan pasca panen yang kurang maksimal menyebabkan produk mudah sekali rusak atau bahkan sudah rusak yang menyebabkan para tengkulak menghargai rendah produk mereka karena tidak mau rugi ketika dijual kembali.

Jika petani mau mengolah menjadi makanan siap saji mungkin harga jualnya menjadi lebih tinggi. Kami pun menjadi berpikir untuk mengadakan pelatihan pengolahan hasil pertanian. Akantetapi, ternyata sebagian besar dari mereka sudah berkali-kali mendapat pelatihan dari dinas maupun instansi lainnya tapi tidak berjalan. Lalu kenapa tidak berjalan? Kata mereka “Repot, tidak ada yang mengurusi”. Bayangkan saja dari pagi hingga sore suami-istri berladang bersama bahkan sering pula membawa anak mereka yang masih kecil. Dan ketika pulang tentulah mereka lelah dan malas untuk mengaplikasikan apa yang mereka peroleh dari pelatihan itu. Kalaupun mereka bisa mengolah hasil pertaniannya, belum ada pasar yang dapat menampung dan membeli produk olahan mereka. Hanya jika ada pesanan saja mereka akan membuatnya, sedang warga sekitar tidak mungkin menjadi target konsumen mereka karena harganya yang relatif mahal dan hampir semuanya adalah petani.

Permasalahan yang dihadapi oleh petani sepertinya tidak dapat diselesaikan secara individual oleh masing-masing petani saja. Diperlukan wadah untuk petani lebih mempunyai kekuatan sehingga diperlukan kelembagaan petani yang jelas. Dari hasil survey yang kami lakukan, didapat bahwa di setiap dusun sudah ada kelompok tani bahkan lebih dari satu kelompok tani pada satu dusun. Di tingkat desa ada gabungan kelompok tani yang sekretariatnya ada di balai desa. Kelompok-kelompok tani itu diharapkan dapat menjadi wadah bagi petani untuk berbagi ilmu dan bersama-sama memecahkan masalah yang dihadapi oleh setiap anggotanya.

Idealnya ada pertemuan rutin yang diagendakan oleh masing-masing kelompok tani agar fungsi dan peran kelompok tani ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Akantetapi, di lapangan ternyata hal ini sulit ditemukan dimasing-masing kelompok. Beberapa dari mereka hanya menggunakan kelompok tani sekedar untuk mengajukan bantuan pupuk dari pemerintah. Selebihnya hanya sebuah perkumpulan para petani tanpa ada esensi yang jelas. Secara kelembagaan juga tidak jelas yang dapat dilihat bahwa tidak ada pergantian kepengurusan. Hal ini menjadi masalah karena tidak ada regenerasi sehingga teknologi baru susah untuk masuk dikalangan petani. Pertanian mereka hanya mengandalkan instinct petani yang mereka dapat dari pengalaman berpuluh-puluh tahun di lapangan.

Memang susah mengubah sistem pertanian kita tanpa adanya dukungan dari setiap elemen. Kamipun mencoba menggait pemerintah untuk bersama-sama mengatasi permasalahan ini mengingat massa KKN kami yang hanya dua bulan dirasa sangat singkat untuk mengubah sistem yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di kalangan petani. Mulai dari tingkat RT hingga desa sudah kami ajak berdiskusi bersama satu meja dengan petani. Kami berharap ini menjadi suatu keuntungan bagi petani desa serang agar lebih diperhatikan oleh pemerintah setempat.

Tidak kalah penting, juga peran negara sebagai pembuat kebijakan tertinggi. Sebagai negara agraris seharusnya perhatian pemerintah ditujukan kepada petani secara massif. Tapi apakah benar seperti itu? Kita tengok dari peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Bisa dikatakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belum berpihak pada pertanian, termasuk dibukanya kran impor produk pertanian dan rendahnya posisi tawar petani terhadap bank. Beberapa kebijakan seperti kebijakan harga, perdagangan, subsidi, structural, pengaturan, fasilitas, dan intervensi perlu dikaji ulang. Apakah sudah sesuai dengan kepentingan petani atau belum. Y

ang tidak kalah penting, juga peran penyuluh dalam pendampingan petani. Diharapkan paling tidak mereka mampu menghubungkan petani dengan pemerintah dengan menyampaikan aspirasi mereka. Tanpa adanya dukungan dari pemerintah, petani akan terus terpinggirkan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang semakin hari menguasai sector pertanian dari hulu hingga hilir.

Sudah selayaknya petani menjadi tuan rumah di negara yang katanya negara agraris. Dengan berbagai masalah pertanian yang ada dibutuhkan kesadaran dari semua komponen masyarakat bahwa ini bukan cuma permasalahan bagi petani saja tetapi adalah permasalahan kita semua sebagai satu bangsa di negara kita tercinta. Permasalahan yang paling mendasar adalah mindset masyarakat yang masih perlu diubah. Mindset tetang pertanian yang masih dikatakan sebagai pekerjaan orang rendahan. Padahal tanpa ada petani maka takkan ada makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Apakah kita akan selalu menutup mata seolah-olah itu bukan rusan kita? Mari kita dengarkan rintihan mereka.

Miris memang, katanya aih negara agraris tapi petaninya selalu merasa menjadi yang terpinggirkan. Mereka tidak mempunyai kekuatan untuk membela dirinya. hanya sesekali angan-angan penghidupan yang lebih baik menjadi penghibur dikala lelah bergelut "perang" diladang. perang dengan hama, penyakit, cuaca, bahkan sengketa lahan menjadi permasalah yang terus terjadi. mereka hanya pasrah pada nasib, ikhlas menerima apa yang diberikan sang pencipta.

Mereka bilang, “Semua ini sudah menjadi takdir yang di atas. Kami hanya bisa bersabar menunggu kehidupan yang hlebih baik dimasa yang akan datang. Allah itu adil menciptakan manusia dengan berbagai kondisi, ada yang di atas ada yang di bawah. mungkin kami sekarang ada di bawah tapi sesuatu saat kami akan ada di atas. saat itulah kami akan membawa negeri ini menjadi negara agraris sesungguhnya. Negara yang menhargai kerja keras kami.”

Siapapun kita, pasti ada hal yang bisa kita lakukan untuk mereka. Jika Anda adalah seorang petani maka tetaplah semangatlah selalu untuk terus berinovasi dengan teknologi yang lebih baik dan yakin bahwa pekerjaan Anda adalah pekerjaan yang mulia. Jika Anda adalah pejabat pemerintah maka buatlah kebijakan yang mengedepankan kepentingan petani dan buanglah jauh-jauh kepentingan golongan apalagi pribadi. Jika Anda bekerja di industri pertanian maka jadikanlah petani sebagai mitra perusahaan bukan menjadi alat untuk membesarkan perusahaan semata.

Jika Anda adalah seorang akademisi maka jadikanlah ilmumu menjadi bermanfaat untuk petani bukan malah menjerumuskan petani dengan tenknologi atau pernyataan yang kalian buat demi kepentingan segelintir orang. Jika Anda adalah seseorang yang termasuk pengguna produk pertanian maka hargailah dengan harga yang sebanding dengan kerja keras mereka. Dan jika Anda tidak bisa melakukan itu maka berdoalah agar negara ini diberikan bangsa yang lebih peka terhadap permasalah disekitarnya. Jadi, apakah kita akan diam begitu saja?

Source : juli-triantoro.blog.ugm.ac.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun