[caption caption="Petani di Desa Serang"][/caption]
Sudah menjadi hal yang lumrah banyak orang yang menyebut kalau indoneaia adalah negara agraris. Negara agraris adalah negara yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Mata pencaharian utama masyarakat Indonesia pada umumnya adalah petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Swasembada pangan terus digalakkan sejak lama. katakan saja pada saat soeharto menjabat sebagai presiden, revolusi hijau menjadi program yang sangat gencar dilakukan saat itu. bahkan hingga kini efek dari program itu masih terasa sampai sekarang. Walaupun sempat berhasil menjadikan indonesia betswasembada beras sekitar tahun 1980-an, tapi hal itu sudah tidak dirasakan lagi saat ini. Bahkan permasalahan pertanian menjadi makin komplek, entah itu permasalahan dari para petani, konsumen, perusahaan di bidang pertanian, ataupun dari birokrasi pemerintahan yang masih belum mendukung dan melindungi pertanian secara penuh.
Di negara agraris ini apakah tidak ada yang memikirkan para petani? pastinya ada, lalu kenapa negara ini tetap seperti ini? Apakah kita akan menyalahkan petani yang kurang maju secara pola pikir, atau pemerintah yang kurang tanggap, atau bahkan kita sendiri yang hanya menjadi penonton tanpa melakukan sesuatu. Mungkin melalui KKN yang penulis lalui di desa serang sedikit dapat menjawab pertanyaan itu atau paling tidak dapat menggambarkan apa yang dialami oleh para petani.
“KKN”, sebuah kewajiban bagi setiap mahasiswa S1 di UGM untuk syarat kelulusan setudinya. Target mulianya adalah pemberdayaan masyarakat. Dengan jumlah 20 hingga 30 mahasiswa dari segala jurusan, mereka dijadikan satu tim untuk dikirimkan ke daerah yang sudah ditetapkan khususnya daerah yang dirasa masih tertinggal. Dari beberapa tempat itu, tim kami dengaan jumlah 29 orang diterjunkan di Desa Serang dengan kode unit JTG-42 dan dibagi menjadi 5 sub-unit.
Desa serang, sebuah desa yang secara administratif berada di Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Desa ini adalah rintisan desa agrowisata. sudah beberapa kali orang asing berkunjung ke sana, misalnya dari Jepang. Pada mulanya ada orang jepang yang bekerjasama mengembangkan pertanian strawberry dan hingga kini berkembang menjadi wisata strawberry sebagai wisata unggulan di desa ini. Namun akhir-akhir ini, pengunjung mulai menurun yang salah satunya disebabkan oleh kualitas strwaberry yang tidak sebagus dulu lagi.
Sebenarnya potensi yang ada di desa searang bukan hanya wisata strawberrynya tetapi juga letakknya yang berada di lereng gunung slamet menjadikan tanah dan iklimnya sangat mendukung untuk budidaya berbagai komoditas pertanian khususnya sayur-sayuran. Dari 5 dusun yang ada di desa ini, hampir seluruh penduduknya adalah petani. Akantetapi, hanya dusun 3 sampai 5 saja yang menjadi pusat budidaya sayuran dan strawberry. Sedangkan di dusun 1 dan 2 tidak banyak ladang-ladang yang dapat ditanam sayuran dan strawberry karena secara geografis letaknya lebih rendah daripada dusun yang lain sehingga petani di dusun 1 dan 2 lebih banyak menanam singkong dan jagung.
Namun, potensi yang menggiurkan itu tidaklah menjadi sumber penghasilan yang dapat diandalkan untuk mensejahterakan seluruh petani di sana. Mungkin hanya beberapa petani yang beruntung dalam menjalankan bisnis pertaniannya. Biasanya mereka adalah orang-orang penting yang berpengaruh seperti pejabat pemerintahan dan ketua organisasi atau kelompok yang mempunyai berhektar-hektar lahan. Sedang yang lainnya hanya petani kecil dengan modal terbatas atau hanya sebatas mengelola lahan majikannya.
Kami pun mencoba merencanakan beberapa program berdasarkan informasi yang kami dapatkan ketika survey di lapangan untuk memecahkan masalah di atas. Kami pikir program yang dirancang sejak awal pembentukan tim sudah dapat mengatasi persoalan-persoalan itu. Akantetapi tidak sedikit program kami yang ternyata sama sekali belum dapat mengurangi permasalahan tersebut. Pesimis? Ya, mungkin kami pesimis. Dengan ilmu yang baru sejengkal kami peroleh di UGM sangat jauh dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh petani. Bagaimana tidak, mereka sudah bertahun-tahun bergelut di bidang ini. Kami mungkin menang secara teori tapi secara praktek kami kalah. Selain itu, tak jarang mereka sudah tahu ilmunya tetapi susah untuk mengaplikasikannya. Tapi kami harus menyelesaikan KKN kami.
Salah satu yang ingin kami ubah adalah mengenai cara pertanian yang masih belum lepas dari penggunaan bahan kimia menjadi pertanian yang organik. Awalnya kami berpikir kalau mereka tidak tahu bahaya pestisida kimia. Tetapi ternyata mereka sangat tahu kalau mereka terus menerus memakai bahan kimia pasti akan menurunkan kualitas lahan yang mereka garap. Mereka juga sudah tahu tentang bahaya mengomsumsi produk yang tercemar bahan kimia. Hampir seluruh produk yang sudah tercemar pestisida kimia tidak pernah mereka makan sendiri. Mereka hanya memakan produk yang jarang terkena hama karena pasti tidak menggunakan pestisida dalam budidayanya.
Sedang yang sudah tercemar bahan kimia akan mereka jual tanpa memikirkan bahayanya bagi konsumen. Petani hanya memikirkan bagaimana caranya konsumen membeli produk mereka karena ini adalah bisnis. Hal ini wajar saja karena sebagian besar konsumen di Indonesia pasti memilih produk pertanian yang mulus tanpa cacat. Konsumen akan segan untuk membeli sayuran atau buah yang sudah terlihat ada ulat atau serangga yang menggerogotinya. Padahal itulah yang aman untuk dimakan.
Memang belum ada tempat yang khusus untuk pertanian organik di Indonesia. Berkali-kali dicanangkan pertanian organik oleh pemerintah tetapi itu hanya menyudutkan petani saja. Bagaimana tidak? Selain lebih merepotkan juga pasar belum siap memerima produk pertanian organik. Harga yang sama dengan produk non organik menyebabkan para petani malas untuk bertani secara organik. Dengan tidak ada yang mau menghargai kerja mereka beralih menjadi petani organik, mereka lebih memilih kembali menggunakan bahan kimia yang lebih praktis dan murah.