Mohon tunggu...
Julkhaidar Romadhon
Julkhaidar Romadhon Mohon Tunggu... Administrasi - Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Pengamat Pertanian Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya. Http//:fokuspangan.wordpress.com Melihat sisi lain kebijakan pangan pemerintah secara objektif. Mengkritisi sekaligus menawarkan solusi demi kejayaan negeri.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Melepas Jerat Klasik Perberasan

11 Februari 2020   12:15 Diperbarui: 12 Februari 2020   18:12 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: interaktif.kompas.id)

Sampai dengan saat ini, polemik perberasan tetap saja terjadi. Bahkan harian Kompas mengangkatnya menjadi topik utama pada 10 februari 2020 yang berjudul "Bom Waktu Bantuan Pangan".

Jika mengutip dari artikel tersebut, setidaknya ada dua persoalan klasik perberasan tanah air yang selalu menjerat dan harus segera dipecahkan. 

Pertama adalah, outlet pengeluaran beras Bulog yang tidak ada semenjak diberlakukannya program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan kedua adalah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang tidak kunjung naik dari tahun 2015.

Persoalan klasik perberasan yang menjerat pertama adalah soal hilangnya outlet penyaluran beras Bulog. Sebenarnya masalah ini sudah dimulai beberapa tahun yang lalu. Awal tahun 2015 pemerintah sudah mulai melemparkan wacana ke publik untuk menggantikan program beras miskin (raskin) menjadi system e-voucher.

Bahkan uji coba sudah dilakukan ketika akhir November dan Desember 2014 pada saat raskin juga dihentikan penyalurannya. Namun apa yang terjadi, harga beras mengalami kenaikan pada sekitar bulan Desember 2014 di berbagai daerah akibat terjadi kekurangan pasokan. Melihat fenomena itu pemerintah langsung menggelar operasi pasar yang langsung ke rumah tangga sasaran (market oriented), atau dengan kata lain kembali menyalurkan raskin tambahan sebanyak satu bulan.

Penambahan raskin kepada masyarakat miskin pada waktu itu, cukup efektif meredam kenaikan harga. Namun di sisi yang lain, pemerintah tetap berkeras untuk segera memberlakuan system baru e-voucher.

Hal ini terbukti, ketika pemerintah mencoba untuk menahan penyaluran raskin pada bulan Januari dan Februari 2015. Lagi-lagi, hukum pasar berlaku dan kembali menghukum pemerintah dengan kenaikan harga di berbagai daerah. Indikator yang jelas terlihat adalah kenaikan harga beras di pasar

Induk Cipinang dimana pada pertengahan bulan februari naik melonjak tajam hampir 30 persen dari awal bulan februari 2015. Beras yang paling murah atau kualitas IR2, naik dari Rp 8.500 menjadi Rp 11 ribu per kg. Sementara seperti dilansir dari sini, untuk kualitas IR1 dari Rp 9.500 naik menjadi Rp 12 ribu per kg.

Bahkan, pada saat itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengakui, bahwa kenaikan harga beras disebabkan tidak adanya penyaluran raskin pada bulan November dan Desember 2014.

Padahal, biasanya tiap bulan pemerintah menyalurkan raskin 230 ribu ton tiap bulannya. "Tapi pada November dan Desember tidak di suplai karena tidak ada jatah lagi di 2014. Sehingga kemarin berkurang suplai 464 ribu ton," seperti dilansir dari sini.

Untuk pembuktian efektifitas program raskin yang telah berubah nama menjadi Rastra (beras sejahtera) dapat dilihat pada tahun 2017. Bulog pada tahun 2017 telah menyalurkan sebanyak 2,7 Juta ton sepanjang tahun. Hasilnya pun bisa terlihat ketika harga pangan di klaim paling stabil dalam kurun waktu 10 terakhir.

Bahkan Menteri Pertanian dan Perdagangan mengapresiasi kinerja lembaga yang telah sukses menjaga harga pangan tetap stabil. Hal ini juga dikuatkan dan diakui oleh penyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengatakan bahwa laju inflasi hasil pengumuman BPS sepanjang 2017 sebesar 3,61 persen, jauh di bawah prediksi oleh Bank Indonesia (BI). Dia mengatakan, rendahnya inflasi pada 2017 disebabkan upaya pemerintah dalam menjaga pergerakan harga pangan atau volatile food.

Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Seperti kita ketahui bersama, bahwa beras yang merupakan makanan pokok 95 persen rakyat Indonesia andilnya sangat besar terhadap inflasi. Beras merupakan lokomotif kenaikan harga pangan yang lain, bahkan non pangan lainnya. Sumbangan inflasi dari golongan bahan makanan lebih besar ketimbang golongan bahan non makanan

Di perkotaan, hampir 70 persen inflasi terjadi akibat kenaikan dari golongan bahan makanan bahkan di perdesaan bahkan andilnya mencapai 80 persen.

Dari persentase tersebut beras menjadi penyumbang inflasi terbesar berkisar 20-30 persen. Sehingga sudah seharusnya pemerintah lebih berhat-hati dan fokus terhadap penanganan beras yang sampai saat ini masih menjadi primadona dan belum tergantikan.

Dari persoalaan klasik yang pertama sudah dapat disimpulkan bahwa program raskin/rastra yang lama memang benar-benar efektif dalam menjaga kestabilan harga pangan. Mengganti program rastra dengan bantuan pangan non tunai, justru tambah memberikan persoalan baru, terutama dari sisi kestabilan harga.

Pemerintah terlalu mengambil resiko tinggi, jika pengelolaan beras diserahkan ke mekanisme pasar seperti yang berlaku pada system Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Masalah yang tidak kalah serius lainnya adalah kegaduhan terkait stok beras yang sudah turun mutu "disposal stock".

Ini sudah terjadi dan mengemuka di public. Banyak pihak menyayangkan beras hasil petani yang dibeli memakai uang rakyat menjadi rusak serta dibuang percuma sedangkan diluar sana banyak masyarakat miskin yang kelaparan.       

Pengalihan Rastra menjadi BPNT menimbulkan banyak persoalan baru yang sangat besar dan berbahaya lainnya yang mungkin tidak bisa dijabarkan satu persatu. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi, sistem tata kelola perberasan yang telah berlangsung 40 tahun macet ketika kebijakan beralih dari rastra ke BPNT.

Indonesia sangat beruntung sampai detik ini masih terbebas dari virus Corona. Coba bayangkan jika keadaan seperti di negara tetangga Singapura yang sekarang terkena fenomena "panic buying" dengan melakukan pemborongan segala kebutuhan pokok.

Oleh karena itu, sebenarnya inilah kekhawatiran utama para pemerhati pangan jika system pangan rastra yang kental dengan intervensi pemerintah digantikan dengan program BPNT yang identik dan cenderung ke arah mekanisme pasar atau pasar bebas.

Penyerahan bansos beras sejahtera di Kebumen. Foto: dok Kemensos
Penyerahan bansos beras sejahtera di Kebumen. Foto: dok Kemensos
Persoalan klasik yang kedua adalah masalah tidak kunjung naiknya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras dari tahun 2015. Banyak pihak yang menyayangkan, karena sangat merugikan petani ditengah inflasi yang tiap tahun naik.  Bahkan Dirut Bulog menyatakan realisasi penyerapan gabah beras rendah karena rendahnya harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras.

Bulog masih berpegang pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Namun, HPP tertinggal oleh harga pasar. Akibatnya, Bulog tidak leluasa membeli gabah/beras dari petani, bahkan ketika pemerintah memberi kelenturan pembelian hingga 10 persen di atas HPP.

Kenaikan HPP sudah seharusnya disesuaikan agar penyerapan gabah/beras produksi dalam negeri oleh Bulog lebih optimal. HPP merupakan instrumen penting bagi BULOG untuk menjamin petani agar mendapatkan harga jual di atas ongkos produksi.

Akibat tidak kunjung naiknya harga pembelian pemerintah, maka Bulog untuk mendapatkan gabah beras harus menggunakan skema komersial yang mengikuti harga pasar.

Inilah cara ampuh, untuk bersaing dengan para pembeli dari pihak swasta. Namun yang harus diingat, harga pembelian dari Bulog selalu dijadikan patokan bagi para pedagang untuk membeli beras petani.

Akibatnya, yang terjadi di lapangan adalah perang harga antar Bulog dan pembeli sehingga hal ini harus diwaspadai oleh pemerintah karena bisa menjadi salah satu faktor pemicu mahalnya harga beras di pasaran.

Pemerintah berencana menyesuaikan HPP menjelang panen raya musim rendeng atau pada Maret 2020 seperti yang dinyatakan oleh Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud. Namun yang harus digarisbawahi adalah ketika kenaikan HPP sudah dilakukan dan Bulog sudah optimal dalam melakukan penyerapan gabah beras petani, maka mau diapakan beras hasil pembelian tersebut jika outlet penyalurannya tidak ada karena sudah tergantikan oleh BPNT.

Persoalan baru akan kembali muncul jika masalah klasik pertama belum terselesaikan. Hasil pembelian beras yang berjumlah jutaan ton dari petani tidak mungkin ditumpuk terus digudang, karena bisa menurun mutunya dan biaya perawatan tinggi.

Jika solusi yang ditawarkan pemerintah sekarang adalah menggelar operasi pasar atau yang lebih dikenal dengan Ketersediaan Pasokan Harga Pangan (KPSH) juga tidak mungkin, karena akan terbentur dengan persoaalan daya beli masyarakat yang rendah apalagi penduduk miskin.

Apalagi bisa kita lihat, bahwa serapan pasar terhadap program KPSH dari pemerintah sangat kecil dan tidak mencapai target yang telah ditentukan. Ini terbukti dengan semakin menumpuknya stok beras di gudang Bulog yang telah menimbulkan kerugian besar bagi Bulog karena bunga bank yang membengkak dan terus berjalan setiap harinya.

Selain itu, program KPSH yang dilakukan pemerintah saat ini begitu rancu dan menjadi tanda tanya besar di publik. Mereka merasa aneh karena dilaksanakan sepanjang tahun dan tidak pernah terjadi selama ini ketika program raskin/rastra masih ada.

Operasi pasar biasanya dilakukan ketika akhir tahun dan awal tahun disaat paceklik serta dihentikan pada saat musim panen sudah mulai. Jadi sangat kelihatan sekali ada rantai yang hilang "missing link" dalam system perberasan di tanah air.

Oleh sebab itu, pemerintah mau tidak mau, suka tidak suka harus mencari cara agar Bulog mendapatkan pasar tetap atau "captive market". Kembali ke program awal yang sudah berjalan puluhan tahun merupakan langkah tepat, karena tidak perlu dilakukan kajian, sudah terbukti, serta sudah biasa dilaksanakan.

Pemerintah harus secepatnya sadar dengan mengembalikan Bulog agar kembali ke marwahnya sebagai lembaga stabilisator pangan. Pemerintah juga harus memiliki power untuk mengintervensi pasar. Hal ini demi melepaskan jeratan klasik perberasan yang akan menjadi mimpi buruk dan sudah pasti akan terjadi setiap tahunnya.

*) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun