Padahal, pemerintah pada waktu itu sudah memberikan "clue" tentang kelemahan BPNT. Dimana, Pemerintah tidak bisa mengontrol harga pada agen/e warung dan menyerahkan beras kepada agen. "Pokoknya satu bulan penerima dapat Rp 110.000, dia bisa beli beras harga berapapun. Kalau dia mau beli yang lebih mahal juga silahkan.
Karena dengan kartu itu, warga miskin bisa membeli beras yang lebih mahal dan kualitasnya lebih bagus dari beras standar BULOG untuk rastra". Kecenderungannya, malah orang lebih suka beli beras yang kualitasnya lebih bagus, harganya lebih mahal tak masalah. Mau beras Rp. 8.000/kg tak masalah, Rp 10.000/kg tak masalah"
Pengurangan jumlah uang yang beredar di masyarakat merupakan bagian dari tujuan utama penerapan BPNT. Pemerintah berpikir, dengan berkurangnya uang yang beredar di masyarakat laju inflasi bisa lebih dikendalikan sesuai dengan yang diharapkan.
Padahal, sejatinya ketika penyaluran beras BULOG dalam rastra berjalan lancar maka kestabilan harga akan terjadi dengan sendirinya. Hal ini disebabkan karena beras merupakan komponen terbesar dalam mempengaruhi laju inflasi. Namun jika beras tidak tersalurkan di masyarakat maka pemerintah tidak akan bisa mengontrol harga beras di pasaran. Akibatnya malahan justru menggerek kenaikan harga yang lain tidak hanya pangan.
Disisi yang lain, kendala teknis banyak mengahantui dalam setiap penerapan program BPNT di lapangan. Pemerintah waktu itu sudah mengakui secara terang-terangan, bahwa tidak bisa memastikan apakah masyarakat benar-benar membeli beras dan telur. Hal ini bisa dibuktikan jika kita melihat laporan dari masyarakat banyak yang menyatakan bahwa komoditas beras yang didapat ditukar dengan komoditas lain selain beras. Atau bisa saja, mereka hanya meminta uangnya untuk dibelikan rokok dan mie instant yang justru sangat tidak dibolehkan.
Jika itu benar terjadi, hal ini sangat berbahaya dan bisa menjadi boomerang yang merugikan bagi pememrintah. Pemerintah yang semula tujuan utamanya mengurangi tingkat kemiskinan, malah secara tidak langsung mengeluarkan subsidi besar untuk biaya kesehatan. Kemungkinan besar hal ini bisa terjadi walaupun butuh kajian mendalam, jika berkaca dari defisitnya BPJS Kesehatan yang mecapai triliunan rupiah.
Pelaksanaan kembali program rastra akan memupus kendala teknis BPNT di lapangan yang telah disebutkan diatas. Beras yang disalurkan oleh Bulog, diketahui oleh perangkat pemerintah setempat selaku petugas distribusi. Mereka memastikan beras tersebut sudah sampai di rumah masyarakat penerima manfaat. Ini juga diketahui oleh sang isteri, sehingga kejadian penukaran beras dengan barang yang tidak sesuai seperti rokok tidak akan terjadi.Â
Oleh karena itu, wajar jika Asian Development Bank dan Guru Besar Ilmu Pertanian Universitas Lampung memberikan solusi dengan kata kunci "realokasi anggaran dan subsidi".
"untuk menghapus kelaparan di Indonesia salah satu cara dengan merealokasi anggaran dan subsidi yang sudah terbukti kurang efektif" Bustanul Arifin Guru Besar Ilmu Pertanian Universitas Lampung.
Asian Development Bank juga memberikan solusi sama seperti yang ditawarkan oleh Bustanul Arifin yaitu perlu dilakukan realokasi anggaran dan subsidi serta perubahan regulasi.