Selanjutnya, dengan sedikitnya stock beras yang dikuasai BULOG, maka intervensi pasar untuk stabilisasi harga oleh pemerintah menjadi tidak leluasa. Harga yang tidak terkendali akan mengakibatkan aktivitas perekonomian menjadi terganggu. Dampak paling parah terkena imbasnya dan paling merasakan tentu masyarakat miskin berpendapatan rendah dengan daya beli yang lemah. Sehingga akhirnya justru menambah jumlah masyarakat miskin di tanah air.
Kebijakan yang diambil pemerintah untuk menciptakan stabilisasi harga yang selama ini dilakukan oleh program rasta, malahan menjadi semakin aneh. Pemerintah justru menerapkan kebijakan lama yang kurang relevan lagi pada saat ini yaitu dengan mengeluarkan peraturan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras dan sejumlah bahan pokok lain. Bahkan instrument penegakannya menggunakan aparat penegak hukum yaitu Satgas Pangan. Tentu saja polemik dan kontroversi terjadi dari penerapan kebijakan tersebut, mulai dari penggerebekan pabrik beras hingga penolakan pedagang dan demo dari petani di berbagai penjuru tanah air. Â Â
Menteri Perekonomian yang bertugas dalam hal korrdinasi dan sinkronisasi penyiapan dan penyusunan kebijakan harus segera cepat bertindak dan mencarikan solusi terbaik. Laporan ADB hendaknya jangan dianggap sebagai angin lalu atau pepesan kosong namun harus dianggap serius dan harus segera ditindaklanjuti. Jangan sampai justru penduduk yang kelaparan akan semakin meningkat dalam setiap laporan-laporan ADB selanjutnya.
Sebenarnya tidak sulit jika pemerintah yang dalam hal ini Kemenko Perekonomian untuk mengambil kebijakan cepat, apalagi memberlakukan kebijakan lama yang sudah terbukti dan teruji selama puluhan tahun. Kemenko Perekonomian tinggal melakukan sinkronisasi kebijakan kepada Kementerian yang ada dibawah koordinasinya, yaitu terutama terkait realokasi anggaran yang ada di bawah Kementerian Keuangan, pembelian gabah beras yang ada di Kementerian Pertanian dan terkait masalah stabilisasi harga yang berada di Kementerian Perdagangan. Â Ada dua opsi yang bisa diambil oleh Airlangga Sutarto dan bisa segera diterapkan pelaksanaannya dengan cepat;
Pertama, mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan Polri untuk mengambil jatah berasnya ke BULOG.Â
Waktu Menko Perekonomian masih dipegang Darmin Nasution, Dirut BULOG Budi Waseso sudah pernah mengusulkan namun dilakukan penolakan. Menurut Darmin, Bulog harus fokus dulu mengurus tata kelola dan distribusi beras untuk BPNT. Lemahnya waktu itu Menko belum mampu menganalisis efek domino yang terjadi akibat pemberlakuan BPNT secara komprehensif terhadap kebijakan perberasan keseluruhan, mulai dari sisi hilir maupun sisi hulu.Â
Padahal, jika Bulog diperintahkan untuk menyalurkan beras kepada ASN, TNI dan POLRI, maka persoalan penumpukan stock beras di gudang bisa teratasi. Selanjutnya, secara tidak langsung ini juga wujud dari pelaksanaan stabilisasi harga yang mampu mengurangi tekanan permintaan beras ke pasaran umum. Imbas dari tercapainya stabilisasi harga sudah bisa dipastikan akan menjaga laju tingkat inflasi sekaligus menjamin lancarnya roda perekonomian.Â
Tidak ada solusi lain untuk mengatasinya, Airlangga selaku Menko Perekonomian harus cepat menyampaikan hal ini kepada Presiden dan berkoordinasi dengan Kementerian yang lain. Karena, inilah momen yang tepat dimana publik akan melihat dan menilai kinerja Menteri dalam 100 hari pertama.
Kedua, menghentikan program BPNT dan memberlakukan program Rastra.
Perubahan transformasi program subsidi rastra menjadi BPNT pada waktu itu tidak dipandang secara komprehensif. Pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Sosial (Kemensos) hanya melihat sisi peningkatan inklusi keuangan, dimana penerima bantuan pangan non tunai yang mendapat kartu otomatis punya rekening bank. Apalagi Indonesia salah satu Negara terendah di Asia dimana tingkat inklusi keuangannya baru sekitar 60%. Â