Khudori yang merupakan Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) sudah lama mengingatkan masa depan BULOG ketika Rastra diubah menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Ia berkaca dari hasil laporan kementerian BUMN yang menyebutkan bahwa BUMN yang mengalami kerugian terbesar pada triwulan I 2017 adalah Perum Bulog dengan kerugian Rp 903 miliar (bisnis.tempo.co).
Hal ini kemudian diamini oleh Perum BULOG, dengan mengatakan bahwa kerugian disebabkan karena beras raskin/rastra tidak tersalurkan selama tiga bulan. "Nah karena selama bulan Januari, Februari, dan Maret Bulog tidak membagikan raskin, maka otomatis pendapatan Bulog anjlok". Hal ini wajar mengingat bisnis Bulog sangat tergantung dari kebijakan pemerintah. Dimana sekitar 70% pendapatan Bulog itu berasal dari penjualan raskin/rastra.
Pada awal tahun 2017 tersebut, selama tiga bulan pertama, pemerintah belum menugaskan Bulog untuk membagikan raskin.  Dimana, rata-rata kebutuhan raskin tiap bulannya mencapai 235.000 ton. Sehingga selama tiga bulan beras BULOG tertahan di gudang hampir sekitar 700 ribu ton lebih  seperti yang dilansir di Kontan.co.id .
Menurut Khudori, ketika raskin/rasta diganti bantuan nontunai, secara teoritis tidak ada lagi penyaluran bantuan pangan yang dalam setahun bisa mencapai 2,8--3,4 juta ton itu. Sehingga ia bertanya terhadap nasib BULOG pasca penerapan BPNT.
Sedangkan di sisi yang lain, sungguh kontras. Dari tahun ke tahun target pengadaan beras (medium) oleh Bulog terus diperbesar; dari rata-rata 1,8 juta ton periode 2003-2007 jadi 3,4 juta ton periode 2008-2009, dan 4,5 juta ton 2015-2016.
Ketika Bulog diwajibkan menyerap gabah/beras produksi domestik dalam jumlah besar, harus pula ada outlet penyalurannya. Ketika raskin/rasta diubah menjadi nontunai, secara teoritis tidak ada lagi penyaluran beras Bulog. Pertanyaannya? lalu akan dikemanakan beras serapan domestik itu? Tanpa outlet penyaluran beras yang pasti, bisa dipastikan Bulog akan pelan-pelan bangkrut.
Hal ini tidak lain dan tidak bukan, fakta bahwa beras yang disimpan membutuhkan perawatan kualitas. Dengan jumlah yang sangat besar tersebut, sudah pasti bisa diperkirakan besaran biaya yang dikeluarkan. Apalagi jika sampai tidak tersalurkan lebih dari 6 bulan, pasti banyak yang sudah rusak.
Perkiraan Khudori terhadap nasib BULOG terbukti pada tahun 2018. Pada tahun ini ketika BPNT sudah mulai diterapkan sebagian, BULOG hanya menyalurkan bansos rastra sebanyak 920 ribu ton saja dari saluran normal sebanyak 2,8-3,4 juta ton. Artinya ada sekitar 2 juta ton beras yang tidak tersalurkan dan mengendap di gudang.
Padahal pada tahun 2017, kerugian BULOG mencapai 903 milliar ketika beras tidak tersalurkan sebanyak 700 ribu ton. Lalu pertanyaannya sekarang, bagaimana jika ada sekitar 1,5 - 2 juta ton beras di gudang BULOG tidak tersalurkan? Â Maka sudah bisa dipastikan kerugian yang akan ditanggung sebesar dua sampai tiga kali lipatnya daripada tahun 2017.
Dari kacamata BUMN, ini tentu masuk kategori perusahaan yang tidak sehat. Sudah barang tentu situasi ini sangat bertentangan dengan filosofi dasar pembentukan BUMN yang dituntut untuk memberikan sumbangsih keuntungan kepada Negara dan menggerakan roda perekonomian. Namun jika terus merugi, sudah pasti akhirnya membebani keuangan Negara apalagi sampai terjadi pemutusan hubungan kerja.
Secara kelembagaan, kesehatan keuangan Perum BULOG pasti sangat terganggu. Ketika beras pengadaan selama ini yang diserap tidak dapat disalurkan secara penuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Direktur Operasional Tri Wahyudi Saleh yang mengindikasikan terdapat 200.000 ton CBP yang rusak karena tidak tersalurkan sejak Februari dari stok sebesar 2,3 juta ton. "Permasalahannya adalah kami diharuskan menyerap tetapi tidak bisa menyalurkannya," katanya.
Sifat intelejen yang terlatih waktu di Kepolisian mempermudah Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mencium fakta kerugian pada tahun 2017. Sehingga patut diacungi empat jempol ketika Buwas mengutarakan isi hatinya pada rapat dengar pendapat umum bersama Komisi IV DPR.
Ia terang-terangan meminta agar bantuan pangan non tunai (BPNT) pada 2019 dapat dikembalikan dalam bentuk beras. Ia pun menyampaikan dalam perancangan RAPBN 2019 perlu memperhatikan stok beras yang dikuasai oleh Perum Bulog sehingga dapat menambah pangsa pasar stok beras perusahaan plat merah tersebut.
Menurutnya dalam RAPBN Kementerian Sosial pada 2019 terdapat alokasi dana sebesar Rp20,8 triliun yang diarahkan untuk program beras sejahtera tetapi melalui mekanisme BPNT. "Mohon dukungan agar alokasi sebesar itu dapat mengakomodasi kegiatan bansos rastra melalui mekanisme natura dan bukan BPNT," katanya.
Selain menghadap DPR RI, ternyata Buwas juga sudah bertemu langsung dengan Presiden RI Joko Widodo, Kemensos dan Kantor Staf Presiden.
"Soal BPNT kami sudah bicarakan termasuk ke kantor staf kepresidenan, ke Kementerian Sosial dan kami juga sampaikan kepada Presiden langsung secara lisan. Prinsipnya, Presiden setuju hanya bagaimana regulasinya akan dibicarakan," (http://www.bulog.co.id).
Menurutnya, penting agar usulan dapat terealisasi pada 2019 karena secara tidak langsung BNPT berpengaruh kepada naik turunnya harga beras nasional. Masyarakat yang memegang dana tunai akan langsung masuk ke pasar bebas untuk mendapatkan beras. Dengan begitu, harga beras tidak stabil, sulit dikendalikan dan cenderung bisa dikuasai tengkulak. Selain itu juga rawan oleh kartelisasi beras.
Namun ketika pola voucher pangan diterapkan di Indonesia, maka ini sangat berdampak kepada kenaikan harga pangan. Sudah rahasia umum kalau struktur pangan di Indonesia bukan struktur pasar persaingan sempurna, namun struktur pasar oligopoly yang lebih menjurus kepada kartelisasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Buwas, "Kami usulkan kembali ke pola natura [membagikan beras langsung] sehingga cadangan beras Bulog tersalur. Di samping itu penyaluran beras dengan pola BPNT melalui mekanisme pasar berdampak pada harga," katanya.
Berdasarkan uraian panjang diatas, kesimpulannya sudah sangat tepat. Pengusulan perubahan atau relokasi anggaran BPNT ke program rastra oleh Buwas sebenarnya tidak hanya memikirkan nasib Perum BULOG, namun juga ada kepentingan bangsa yang lebih besar. Oleh karena itu, usulan tersebut harus kita dukung bersama agar tercipta situasi kondusif dan berjalannya roda perekonomian bangsa. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H