Secara kelembagaan, kesehatan keuangan Perum BULOG pasti sangat terganggu. Ketika beras pengadaan selama ini yang diserap tidak dapat disalurkan secara penuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Direktur Operasional Tri Wahyudi Saleh yang mengindikasikan terdapat 200.000 ton CBP yang rusak karena tidak tersalurkan sejak Februari dari stok sebesar 2,3 juta ton. "Permasalahannya adalah kami diharuskan menyerap tetapi tidak bisa menyalurkannya," katanya.
Sifat intelejen yang terlatih waktu di Kepolisian mempermudah Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mencium fakta kerugian pada tahun 2017. Sehingga patut diacungi empat jempol ketika Buwas mengutarakan isi hatinya pada rapat dengar pendapat umum bersama Komisi IV DPR.
Ia terang-terangan meminta agar bantuan pangan non tunai (BPNT) pada 2019 dapat dikembalikan dalam bentuk beras. Ia pun menyampaikan dalam perancangan RAPBN 2019 perlu memperhatikan stok beras yang dikuasai oleh Perum Bulog sehingga dapat menambah pangsa pasar stok beras perusahaan plat merah tersebut.
Menurutnya dalam RAPBN Kementerian Sosial pada 2019 terdapat alokasi dana sebesar Rp20,8 triliun yang diarahkan untuk program beras sejahtera tetapi melalui mekanisme BPNT. "Mohon dukungan agar alokasi sebesar itu dapat mengakomodasi kegiatan bansos rastra melalui mekanisme natura dan bukan BPNT," katanya.
Selain menghadap DPR RI, ternyata Buwas juga sudah bertemu langsung dengan Presiden RI Joko Widodo, Kemensos dan Kantor Staf Presiden.
"Soal BPNT kami sudah bicarakan termasuk ke kantor staf kepresidenan, ke Kementerian Sosial dan kami juga sampaikan kepada Presiden langsung secara lisan. Prinsipnya, Presiden setuju hanya bagaimana regulasinya akan dibicarakan," (http://www.bulog.co.id).
Menurutnya, penting agar usulan dapat terealisasi pada 2019 karena secara tidak langsung BNPT berpengaruh kepada naik turunnya harga beras nasional. Masyarakat yang memegang dana tunai akan langsung masuk ke pasar bebas untuk mendapatkan beras. Dengan begitu, harga beras tidak stabil, sulit dikendalikan dan cenderung bisa dikuasai tengkulak. Selain itu juga rawan oleh kartelisasi beras.