Sosok Budi Waseso (Buwas) yang kontroversial karena sering menimbulkan kegaduhan, kini kembali ditunjukkan kala menjabat Direktur Utama Perum BULOG. Buwas mungkin selama ini membayangkan BULOG zaman now seperti cerita Rizal Ramli (RR) yang mantan Kepala BULOG era 2000 an. Saking power full nya BULOG, terlihat dari kebijakan perberasan yang diambil.
Dikala zaman RR ketika harga beras melambung tinggi, ia dengan bisa langsung memerintahkan anak buahnya untuk menggelontorkan stock beras ke pasar-pasar tanpa harus menunggu perintah dari Menteri terkait.Â
Hal ini wajar, karena pada era RR BULOG berbentuk Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang merupakan sebuah Badan yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Dengan kata lain KABULOG waktu itu jabatan yang setara dengan Menteri.
Namun faktanya sekarang, semuanya sudah berbalik seratus delapan puluh derajat. BULOG zaman now hanyalah berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tunduk pada Menteri BUMN.Â
Semua kegiatan yang dilakukan BULOG sekarang haruslah mendapat izin dahulu dari Kementerian terkait dan tunduk terhadap peraturan yang dibuat. Ketika menjadi Dirut BULOG, Buwas seolah tidak berdaya alias "mati kutu". Dia mungkin tidak menyangka bahwa kewenangan BULOG yang sekarang tidak seperti BULOG pada zaman orde baru yang memiliki kewenangan penuh mengontrol harga dan ketersediaan pangan.
Contoh konkret adalah ketika harga beras melambung tinggi. Buwas tidak bisa dengan serta merta melakukan operasi pasar namun harus mendapat persetujuan dulu dari pihak terkait. Walaupun dia menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan kebijakan pangan tanah air yang terjadi selama ini.Â
Namun karena kewenangan terbatas, semua yang dilakukan terpaksa harus berbenturan dengan pihak lain.
Sungguh semuanya ini membuat sosok seorang Buwas hampir frustasi. Tetapi kita harus patut mengacungi jempol ketika ia berani mengambil jalan yang berseberangan dengan pihak lain, ketika  menurutnya kebijakan tersebut bertentangan.Â
Tindakan tersebut adalah ketika dia berani menolak impor beras masuk ke gudang BULOG disaat gudang-gudang sudah penuh terisi beras. Walaupun dia sadar betul posisi dia hanyalah seorang Direktur Utama (Dirut) yang bukanlah seorang Menteri.
Pemerintah harus mengambil hikmah besar dibalik perseteruan antara Buwas dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Semua pihak mulai dari pejabat hingga masyarakat sebenarnya sudah melihat, bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam kebijakan pangan tanah air. Bagaimana mungkin dua pejabat saling berseberangan dan saling tuding. Padahal semuanya sudah disepakati dalam rapat koordinasi terbatas antar Menteri dan dihadiri langsung yang bersangkutan.
Perseteruan perlunya impor dan tidak impor adalah salah satu rangkaian polemik pangan yang terjadi selama ini. Semua seakan tidak pernah berakhir dan masyarakat sudah mulai bosan mendengar berita semacam ini lagi.Â
Kekisruhan ini jelas-jelas sangat menunjukkan lemahnya koordinasi antar lembaga. Hal ini juga menggambarkan potret bahwa negeri ini memang butuh lembaga pangan baru yang mampu mengkoordinasikannya pada tataran Kementerian.
Kita maklumi bersama, mengapa kisruh polemik pangan antar lembaga di tanah air selalu terjadi. Kemenko Perekonomian yang sebenarnya juga membawahi bidang pangan seakan tidak mampu meredam permasalahan pangan yang terjadi.Â
Lemahnya fungsi koordinasi yang dilakukan oleh Kemenko Perekeonomian, sebenarnya dapat kita maklumi bersama. Terlalu banyak urusan ekonomi Negara yang harus diselesaikan Kemenko Perekonomian dan tidak hanya urusan beras.
Kemenko Perekonomian terlalu banyak yang dikerjakan sehingga tidak fokus terhadap dunia pangan tanah air. Â Apalagi situasi perekonomian global sekarang tidak menentu seperti perang dagang antara China dan AS, merosotnya nilai tukar rupiah, pengangguran, inflasi, bencana alam dan lainnya.Â
Kesemuanya butuh konsentrasi penuh untuk mengatasinya secara cepat dan tepat. Sehingga wajar jika Kemenkoperekonomian sering terlambat terhadap permasalahan pangan yang terjadi belakangan ini dan lebih mempercayakan dengan Kementerian teknis dibawahnya seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan BULOG.
Inti dari kisruh ini adalah tidak adanya kelembagaan yang kuat yang mampu menyingkronisasikan kepentingan antar lembaga. Namun, pemerintah luput membaca pangkal masalah yang terjadi selama ini. Hampir semua pihak lupa dengan amanat yang sudah ada di UU Pangan N0 18 tahun 2012 yang menyiratkan dibentuknya lembaga pangan nasional.
Badan Pangan Nasional, seharusnya sudah terbentuk semenjak tahun 2015, jika mengingat amanat UU Pangan yang menyatakan bahwa badan tersebut harus terbentuk sejak tiga tahun diundangkan pada tahun 2012. Namun pemerintah seakan tidak mau mempercepat pemebentukkannya, karena mungkin Kementerian lain merasa tersaingi dengan pamor lembaga baru ini. Â Padahal pembentukan Badan Pangan nasional merupakan kunci utnuk mengatasi polemik pangan yang terjadi. Â Â Â Â Â Â
Andaikan Badan Pangan Nasional sudah terbentuk, maka polemik pangan bisa diminimalisir. Hampir beberapa tahun terakhir carut marut pangan semakin nampak saja. Mulai dari kelangkaan bahan pangan, naiknya harga, mafia pangan, penyelundupan, penimbunan hingga perubahan kebijakan seperti Permen dan Perpres.Â
Andaikan lembaga ini sudah ada, maka kasus pangan dan overlapping kebijakan satu dengan kebijakan yang lain tidak akan terdengar. Hal ini dikarenakan pembuat kebijakan tunggal terkait masalah pangan nasional merupakan kewenangan lembaga pangan.
Desakan pembentukan badan pangan nasional sebenarnya sudah sering disuarakan. Mulai dari aktivis, akademisi hingga politisi di DPR sebagai perwakilan rakyat. Bahkan karena desakan yang semakin kuat maka pemerintah yang dalam hal ini Menteri Pertanian Dr. Amran Sulaiman berjanji dihadapan Komisi IV DPR RI tanggal 7 Juni 2017, untuk mengumumkan pembentukan Badan Pangan Nasional setelah Hari Raya Idul Fitri. Â Namun faktanya, sampai sekarang lembaga itu tidak kunjung nampak batang hidungnya (baca: tempo.co).
Logika sederhananya, andaikan produksi beras dalam negeri cukup maka Negara tidak akan mengimpor beras jauh-jauh sampai ke Negara India dan Pakistan. Dikarenakan produksi beras yang tidak kunjung ada dan surplus diatas kertas, maka diadakanlah Rakortas Kementerian untuk memutuskan mengambil kebijakan impor beras.
Semua pihak sudah sadar pangkal timbulnya kisruh impor beras belakangan ini adalah bagian hulu di produksi. Mentan juga sudah mendapat balasan yang setimpal akibat janji yang sudah dilontarkan tidak ditepati.Â
Publik sebenarnya menunggu janji Pemerintah bahwa dalam tiga tahun kita mencapai swasembada pangan. Publik juga meminta pertanggungjawaban atas uang rakyat yang dipungut dari pajak yang digelontorkan secara besar-besaran untuk meningkatkan produksi pertanian.
Kemampuan koordinasinya sangat terlihat jelas, ketika menjabat posisi kunci di Bareskrim POLRI dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Maka dengan jabatan baru ini, Buwas akan mudah dalam menentukan arah daripada kebijakan pangan nasional.
*) Koodinator Jaringan Masyarakat Pangan Indonesia (JAMPI)
Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H