Impor beras tambahan 500 ribu ton kembali mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Tidak hanya masyarakat awam saja yang bingung, namun sekelas politisi Ketua Komisi IV, Edy Prabowo dan akademisi Prof Tjipta Lesmana juga dibuatnya tidak habis pikir.
Bagaimana tidak bingung, ditengah dua pendapat Kementerian yang berbeda pandangan tajam. Tengok saja pendapat Prof Tjipta Lesmana, seorang pakar komunikasi publik. Ia merasa tidak masuk akal impor beras dilakukan ketika panen raya sedang berlangsung.
Ia merujuk kepada pernyataan Kementerian Pertanian, yang mengatakan kita tengah memasuki panen raya dan surplus produksi. Namun di sisi yang lain, ia juga bingung ketika Kementerian Perdagangan mengatakan kita harus impor beras, mengingat harga beras tidak kunjung turun sedangkan stok beras pemerintah di Bulog semakin menipis.
Untuk mencari kebenaran dari polemik impor beras tambahan ini, sangatlah mudah. Bagaimanapun juga kita harus berpegangan dengan data  resmi yang dimiliki oleh Pemerintah, yang dalam hal ini adalah data Badan Pusat Statistik (BPS).
Ternyata dalam dua tahun terakhir ini, BPS puasa data produksi. Mengapa? BPS telah menyadari bahwa metode pengukuran selama ini yang dilakukan, nilai biasnya sangat tinggi.
Lalu, jika data tidak bisa dijadikan pegangan maka indikator apa yang lebih objektif untuk mengatakan bahwa impor beras memang sangat urgensi dilakukan.
Sebenarnya ada beberapa indikator untuk menguatkan bahwa impor beras perlu dilakukan. Pertama adalah harga. Harga merupakan cerminan sebenarnya dari fungsi penawaran dan permintaan. Produksi diwakili dengan penawaran, sedangkan konsumsi diwakili dengan permintaan.
Berdasarkan laporan satgas pangan baik ditingkat pusat sampai dengan tingkat polres dan polsek, ternyata tidak ditemukan penyimpangan. Di gudang-gudang pedagang ternyata tidak ditemukan bentuk penimbunan sembako.Â