Pemerintah terus menggalakan program diversifikasi pangan bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan, sampai saat ini penduduk Indonesia tidak mau berpaling dari beras.Â
Bahkan yang lebih parahnya lagi, justru masyarakat di Indonesia bagian timur sudah terbiasa makan nasi. Mereka menjadikan nasi sebagai bahan makanan kebutuhan pokok.
Tingginya tingkat konsumsi pangan atas beras, mendorong pemerintah untuk meningkatkan produksi padi. Ketika cuaca bersahabat maka produksi dipastikan meningkat. Namun, ketika cuaca menjadi faktor penghalang maka produksi dipastikan turun.
Lalu pertanyaannya, apa yang dilakukan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan beras dalam negeri?
Solusi yang ditawarkan selama ini adalah diversifikasi pangan atau mendorong masyarakat mencari alternatif makanan pokok pengganti selain beras. Pemerintah terus mengkampanyekan agar masyarakat mengkonsumsi jagung, umbi-umbian, gandum serta panganan lokal lainnya
Semua ini bertujuan agar jalan terakhir impor beras, tidak ditempuh untuk mencukupi kekurangan produksi dalam negeri.
Lalu pertanyaannya sekarang, apakah program diversifikasi pangan sudah berjalan pada track yang benar?
Salah KaprahÂ
Memang masyarakat Indonesia, sudah mengurangi konsumsi nasi. Ini terlihat dari turunnya tingkat konsumsi beras nasional. Jika dahulu digunakan angka 139 kg per kapita per tahun, maka sekarang masing masing pemerintah daerah menggunakan angak kurang dari 100 kg per kapita per tahun.
Disatu sisi memang program diversifikasi sudah berhasil namun sangat disayangkan, ternyata impor kebutuhan pangan pokok lain meningkat.
Fenomena ini ibarat, keluar dari mulut buaya masuk mulut harimau. Ingin keluar dari impor beras malah justru impor gandum.
Data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan, impor gandum sepanjang 2017 mencapai 11,4 juta ton. Volumenya meningkat 9% dibandingkan dengan realisasi 2016 yang sebesar 10,53 juta ton.
Sementara jika dirunut berdasarkan kode HS, impor gandum bukan untuk manusia (10019999) pada 2017 tercatat sebesar 204 ribu, turun 89% dibandingkan 2016 yang mencapai 1,8 juta ton. Namun, ada peningkatan impor gandum untuk konsumsi manusia (10019919) mencapai 170%, dari 1,4 juta menjadi 3,2 juta.
Apa yang patut diwaspadai dari meningkatnya impor gandum?Â
Seperti kita ketahui bahwa gandum merupakan bahan utama dalam pembuatan mie. Pergeseran pola makan bisa saja terjadi dari nasi menjadi mie instant. Hal ini sudah menjadi lumrah dan wajar wajar saja.
Dalam lingkungan sehari hari, bisa kita saksikan bahwa anak yang susah makan nasi namun jika ketemu mie instant menjadi bersemangat. Bahkan anak anak zaman sekarang, terutama anak kosan sangat gemar mengkonsumsi mie instant. Selain rasanya enak juga mudah untuk dimasak dan dihidangkan.
Namun, jika keadaan in terus kita biarjan, maka dalam jangka panjang akan tercipta kemunduran generasi. Di dalam mie instant sangat sedikit sekali kandungan gizinya. . namun sangat banyak mengandung zat pengawet di dalamnya.
Itulah mengapa saya bilang akan terjadi kemunduran generasi. Dengan minimnya kandungan gizi maka generasi zaman now akan kesulitan dalam berpikir. Apalagi memikirkan hal hal berat yang memerlukan diskusi dan pembahasan panjang.
Oleh sebab itu, pemerintah harus mengawasi ketat alasan dibalik tingginya impor gandum. Jangan sampai diversifikasi pangan menjadi salah kaprah dan justru membahayakan generasi bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H