Data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan, impor gandum sepanjang 2017 mencapai 11,4 juta ton. Volumenya meningkat 9% dibandingkan dengan realisasi 2016 yang sebesar 10,53 juta ton.
Sementara jika dirunut berdasarkan kode HS, impor gandum bukan untuk manusia (10019999) pada 2017 tercatat sebesar 204 ribu, turun 89% dibandingkan 2016 yang mencapai 1,8 juta ton. Namun, ada peningkatan impor gandum untuk konsumsi manusia (10019919) mencapai 170%, dari 1,4 juta menjadi 3,2 juta.
Apa yang patut diwaspadai dari meningkatnya impor gandum?Â
Seperti kita ketahui bahwa gandum merupakan bahan utama dalam pembuatan mie. Pergeseran pola makan bisa saja terjadi dari nasi menjadi mie instant. Hal ini sudah menjadi lumrah dan wajar wajar saja.
Dalam lingkungan sehari hari, bisa kita saksikan bahwa anak yang susah makan nasi namun jika ketemu mie instant menjadi bersemangat. Bahkan anak anak zaman sekarang, terutama anak kosan sangat gemar mengkonsumsi mie instant. Selain rasanya enak juga mudah untuk dimasak dan dihidangkan.
Namun, jika keadaan in terus kita biarjan, maka dalam jangka panjang akan tercipta kemunduran generasi. Di dalam mie instant sangat sedikit sekali kandungan gizinya. . namun sangat banyak mengandung zat pengawet di dalamnya.
Itulah mengapa saya bilang akan terjadi kemunduran generasi. Dengan minimnya kandungan gizi maka generasi zaman now akan kesulitan dalam berpikir. Apalagi memikirkan hal hal berat yang memerlukan diskusi dan pembahasan panjang.
Oleh sebab itu, pemerintah harus mengawasi ketat alasan dibalik tingginya impor gandum. Jangan sampai diversifikasi pangan menjadi salah kaprah dan justru membahayakan generasi bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H