Mohon tunggu...
Julkhaidar Romadhon
Julkhaidar Romadhon Mohon Tunggu... Administrasi - Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Pengamat Pertanian Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya. Http//:fokuspangan.wordpress.com Melihat sisi lain kebijakan pangan pemerintah secara objektif. Mengkritisi sekaligus menawarkan solusi demi kejayaan negeri.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kesenjangan Kekayaan Penduduk di Dunia Melebar, Bagaimana Indonesia?

11 Mei 2018   15:01 Diperbarui: 11 Mei 2018   15:13 1615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyambut ajang World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, organisasi sosial OXFAM dari Inggris hari Senin (22/1/2018) merilis laporan kesenjangan pembagian kekayaan dunia yang diberi judul: "Reward Work, Not Wealth".

Direktur OXFAM Winnie Byanyima (foto artikel) dalam pernyataannya menyebutkan, booming yang dialami para miliuner "bukan pertanda kebangkitan ekonomi, melainkan gejala kegagalan sistem ekonomi". OXFAM menyebut telah terjadi kesenjangan antara kaya dan miskin yang makin melebar.

Bahkan mirisnya lagi, satu persen penduduk terkaya dunia menikmati 82 persen pertumbuhan kekayaan dunia tahun 2017, sementara 50 persen penduduk termiskin tidak mendapat apa-apa.

Infografis: Katadata
Infografis: Katadata
Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Tidak ada beda antara laporan OXFAM untuk penduduk di dunia dengan di Indonesia. Berdasarkan laporan Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD) pada tahun 2017 yang dikutip dari situs katadata.com, ketimpangan antara orang kaya dengan orang miskin di Indonesia masih jauh melebar. Tercatat bahwa harta empat orang terkaya di negeri ini, sama dengan harta yang dimiliki oleh sekitar 100 juta penduduk miskin.

OXFAM menyebut harta empat orang terkaya di Indonesia mencapai US$ 25 miliar atau setara Rp 333,8 triliun. Sedangkan total kekayaan 100 juta penduduk miskin di Indonesia sebesar US$ 24 miliar atau sekitar Rp 320,3 triliun. Selain itu disimpulkan bahwa 1% penduduk terkaya Indonesiamenguasai 49,3% kekayaan nasional dan 10% penduduk terkaya menguasai 75,7 % kekayaan nasional.

Juru Bicara Oxfam Indonesia Dini Widiastuti menambahkan ilustrasi mengenai besarnya ketimpangan di Indonesia. Menurut dia, bunga yang didapat dari kekayaan orang terkaya Indonesia bahkan mencapai 1.000 kali jumlah uang yang dibelanjakan penduduk miskin selama setahun. Ia juga menambahkan "Orang terkaya di Indonesia butuh waktu 22 tahun untuk menghabiskan kekayaannya bila ia berbelanja US$ 1 juta (Rp 13,3 miliar) per hari," ujar dia saat seminar bertajuk "Menuju Indonesia yang Lebih Setara" di Jakarta, Kamis (23/2).

Infografis: liputan6.com
Infografis: liputan6.com
Bagaimana hasil laporan lembaga lain ?

Hasil laporan OXFAM juga diperkuat dengan rilis Forbes yang terbaru menyebutkan, total kekayaan 50 orang terkaya Indonesia mencapai sekitar Rp1.701 triliun. Ini merupakan pencapaian terbaru, tertinggi dibandingkan masa sebelumnya.

Release Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa pada bulan September 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen), berkurang sebesar 1,19 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 yang sebesar 27,77 juta orang (10,64 persen).

Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2017 sebesar 7,72 persen turun menjadi 7,26 persen pada September 2017. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2017 sebesar 13,93 persen turun menjadi 13,47 persen pada September 2017.

Gini Ratio dan Penyebabnya

Ketimpangan pendapatan penduduk bisa dicerminkan dari koefisien gini ratio. Semakin besar koefisien Gini, maka semakin lebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Koefisien Gini (Gini Ratio) sebagai salah satu indikator yang menggambarkan tingkat ketimpangan di Indonesia.

Koefisien Gini diukur berdasarkan konsumsi keluarga akan barang, jasa, dan non-jasa.   Koefisien Gini menunjukkan kecenderungan meningkatnya ketimpangan selama 20 tahun terakhir, dengan ketimpangan di perkotaan secara konsisten lebih tinggi daripada pedesaan.

Grafik
Grafik
Garis hijau: koefisien Gini di pedesaan, garis oranye: koefisien Gini di perkotaan, garis biru: koefisien Gini keseluruhan.

Ketimpangan juga terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia di antara tahun 2008 dan 2013. Meskipun ada tanda perbaikan akhir-akhir ini, dengan penurunan ke 0,39 antara Maret 2015 dan Maret 2016 setelah stagnan pada 0,41 selama lima tahun terakhir, hal ini belum menunjukkan tren jangka panjang, kata laporan itu.

Lalu apa penyebabnya hingga gini ratio di negeri ini semakin meningkat. Budi Kuncoro, country director Oxfam di Indonesia, mengatakan ketimpangan bukan semata-mata soal kekayaan, melainkan juga kesempatan atau akses terhadap pendidikan dan kesehatan. 

Kedua hal itu menurutnya saling berkaitan. Selain itu, ada pula isu kerentanan keadaan geografis wilayah Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia itu tidak miskin, tapi jika terjadi sesuatu, misalnya bencana alam, krisis ekonomi, mereka akan drop; warga yang near-poverty (nyaris miskin) akan jatuh ke jurang kemiskinan."

Lalu apa solusinya? 

Menurut Puspayoga Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), kesalahan itu terletak pada belum diperhatikannya upaya pemberdayaan terhadap para pelaku UMKM di Tanah Air. Selama ini UKM belum tersentuh upaya pemberdayaan dengan optimal. Oleh karena itu, pihaknya mendorong semua pihak untuk turut serta dalam upaya pemberdayaan dan pengembangan para pelaku UMKM di Tanah Air melalui berbagai cara.

Pendapat tersebut sangatlah tepat. Kita harus ingat bahwa UMKM lah sector yang mampu bertahan dan menopang perekonomian bangsa ini disaat krisis. Tahun 1998, ketika krisis moneter terjadi, perusahaan besar termasuk perbankan banyak bertumbangan. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran terjadi dimana-mana. Sector pertanian dan sector UMKM lah yang menjadi ujung tombak menyelematkan dan menggerakan roda perekonomian bangsa.

Untuk itu sehingga wajar jika semua pihak berterimakasih terhadap sector ini. Musuh utama sector UMKM adalah terletak pada akses modal, persaingan usaha dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk akses modal, hendaknya pemerintah lebih mempermudah jaminan dan persayaratan bagi mereka yang ingin memulai usaha.

Selain itu dunia usaha juga rentan terjadi monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Untuk itu pemerintah harus menegakkan aturan yang konsisten dan lebih pro terhadap UMKM yang memang lemah secara bisnis. Jika perilaku Anti-Persaingan, monopoli dan kartel yang umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar terus dibiarkan, maka pelaku UMKM juga ikut menjadi korban karena terjadi hambatan dalam memasuki pasar.

Selain itu, pemerintah harus pro aktif mendorong agar perusahaan swasta maupun pemerintah seperti BUMN, lebih menggarap pasar-pasar luar negeri. Jika dibiarkan bertarung di pasaran domestik, maka dampaknya akan sungguh besar. Hal ini bertujuan agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkorelasi secara langsung terhadap pemerataan pendapatan. Dengan kata lain bahwa kesejahteraan jangan hanya dirasakan oleh segelintir kalangan saja, namun dirasakan merata kepada seluruh penduduk Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun