Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan bahwa Presiden Jokowi menginginkan harga beras stabil menjelang lebaran. Hal ini diketahui ketika Darmin melaporkan ke istana negara perkembangan harga pangan belakangan.
Pertanyaannya sekarang? Mengapa Presiden mengeluarkan statemen seperti itu? Apakah harga beras tidak merangkak turun? Padahal  pemberitaan di sejumlah daerah mengatakan bahwa panen raya sedang berlangsung.Â
Ironi memang? Apakah benar hanya pemberitaan atau panen raya yang di rayakan? Lalu bagaimana dengan data yang mengatakan surplus, apakah hanya sebagai penggembira semata?Â
Dua pertanyaan di atas adalah jawaban sebenarnya, mengapa  harga beras tidak kunjung turun juga. Harga beras pertengahan Februari tetap stabil tinggi. Detik.com melaporkan harga beras premium bulan februari 2018 di penggilingan naik 0.31 persen dari Rp 10.350 menjadi Rp 10.382 per kg.
Sedangkan harga beras medium juga mengalami kenaikan 0.37 persen . Dari Rp 10.117 pada bulan Januari menjadi Rp 10.215 pada bulan Februari.Â
Ada beberapa argumentasi yang dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena, mengapa harga beras tidak kunjung turun.
Pertama, data surplus produksi yang keliru. Data memang sampai sekarang belum menemui titik terang. Subjektivitas yang terlalu tinggi mengakibatkan bias data yang terlalu besar. Bahkan banyak pihak menyatakan biasnya ada pada kisaran 20-30 persen.Â
Semua ini disebabkan karena data produksi menggunakan panca indera atau pandangan mata untuk menentukan luas panen. Sedangkan produktivitas menggunakan teknik ubinan. Jadi semuanya masih manual.
Ironinya lagi, hampir 75 persen data dihasilkan dari Kementan, pihak yang sangat berkepentingan dengan data. Sedangkan 25 persennya lagi dari BPS. Sehingga dua tahun terakhir, BPS puasa mengeluarkan data produksi. BPS juga sudah menyadari kekeliruannya, sehingga mencari cara atau teknik penyelesaian baru.
Kedua, akibat panen yang dirayakan. Hal ini merupakan imbas dari data produksi yang surplus tadi. Untuk mensinkronkan antara data diatasi kertas dengan di lapangan, maka harus dibuktikan dengan panen. Agar sangat meyakinkan maka panen tersebut harus dilakukan besar besaran dan diberitakan.Â
Akibatnya sudah bisa ditebak. Panen begitu dipaksakan dan sangat simbolis saja. Padahal mungkin di daerah tersebut terserang hama atau gagal panen. Begitu pejabat sudah panen, berbagai macam persoalan pasti tertinggal. Tidak ada beras yang mengalir ke penggilingan atau pasar-pasar.Â
Ketiga adalah harga pembelian pemerintah yang juga tinggi. Pemerintah menerapkan skema pembelian yang fleksibel. Artinya mengikuti harga beras dipasaran. Strategi ini digunakan untuk mengantisipasi harga beras di tingkat petani dan penggilingan yang tinggi.Â
Namun, pemerintah seharusnya waspada juga. Harga pembelian pemerintah yang dikeluarkan selalu menjadi patokan bagi pedagang. Mereka tentu akan membeli beras diatasi harga tersebut. Logikanya, jika mereka tidak bisa membeli diatas harga pemerintah mereka tentu tidak akan mendapatkan beras. Karena bagi petani tidak ada beda antara menjual beras ke pemerintah dan pedagang. Pasti persaingan akan terjadi pada titik ini.
Keempat, pemberlakuan Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras di sejumlah wilayah. Perbedaan antara beras medium dan beras premium adalah terletak pada mutu fisik. Broken atau butir patah inilah yang menentukan perbedaan fisik keduanya.Â
Hanya dengan mengurangi persentase butir patah, maka pedagang sudah bisa menghasilkan beras kualitas premium. Dan, semua ini bisa dilakukan dengan melakukan pencampuran saja atau dioplos. Namun harga beras antara keduanya hampir Rp 3.000 per kilogram. Sungguh menggiurkan. Jadi itulah mengapa beras medium selalu mengalami kekosongan pasokan.
Kelima, biaya usaha tani yang begitu tinggi. Menurut penelitian petani mengeluarkan Rp 4.200 untuk menghasilkan satu kilogram gabah jauh diatas harga pembelian pemerintah untuk satu kilogram gabah yang hanya Rp 3.700. Maka sudah barang tentu pasti petani akan menjual kepada pembeli yang sanggup membeli diatas harga tersebut. Artinya disini, harga beras akan sangat sulit untuk kembali normal pada harga semula seperti yang diinginkan pemerintah.
Kesimpulannya adalah dengan melihat kelima faktor penyebab diatas, maka sudah tidak mungkin beras akan kembali normal pada harga sebelumnya. Oleh karena itulah kedepannya fenomena ini dapat dijadikan pembelajaran bersama. Sangat diperlukan kebijakan yang komprehensif dengan melihat dari berbagai sudut pandang. Tentu syaratnya diperlukan orang yang cakap dan sangat mengerti tentang kebijakan pertanian.
#Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H