Mohon tunggu...
Julkhaidar Romadhon
Julkhaidar Romadhon Mohon Tunggu... Administrasi - Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Pengamat Pertanian Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya. Http//:fokuspangan.wordpress.com Melihat sisi lain kebijakan pangan pemerintah secara objektif. Mengkritisi sekaligus menawarkan solusi demi kejayaan negeri.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengapa Harga Beras Sulit Turun?

4 Maret 2018   11:57 Diperbarui: 4 Maret 2018   12:11 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan bahwa Presiden Jokowi menginginkan harga beras stabil menjelang lebaran. Hal ini diketahui ketika Darmin melaporkan ke istana negara perkembangan harga pangan belakangan.

Pertanyaannya sekarang? Mengapa Presiden mengeluarkan statemen seperti itu? Apakah harga beras tidak merangkak turun? Padahal  pemberitaan di sejumlah daerah mengatakan bahwa panen raya sedang berlangsung. 

Ironi memang? Apakah benar hanya pemberitaan atau panen raya yang di rayakan? Lalu bagaimana dengan data yang mengatakan surplus, apakah hanya sebagai penggembira semata? 

Dua pertanyaan di atas adalah jawaban sebenarnya, mengapa  harga beras tidak kunjung turun juga. Harga beras pertengahan Februari tetap stabil tinggi. Detik.com melaporkan harga beras premium bulan februari 2018 di penggilingan naik 0.31 persen dari Rp 10.350 menjadi Rp 10.382 per kg.

Sedangkan harga beras medium juga mengalami kenaikan 0.37 persen . Dari Rp 10.117 pada bulan Januari menjadi Rp 10.215 pada bulan Februari. 

Ada beberapa argumentasi yang dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena, mengapa harga beras tidak kunjung turun.

Pertama, data surplus produksi yang keliru. Data memang sampai sekarang belum menemui titik terang. Subjektivitas yang terlalu tinggi mengakibatkan bias data yang terlalu besar. Bahkan banyak pihak menyatakan biasnya ada pada kisaran 20-30 persen. 

Semua ini disebabkan karena data produksi menggunakan panca indera atau pandangan mata untuk menentukan luas panen. Sedangkan produktivitas menggunakan teknik ubinan. Jadi semuanya masih manual.

Ironinya lagi, hampir 75 persen data dihasilkan dari Kementan, pihak yang sangat berkepentingan dengan data. Sedangkan 25 persennya lagi dari BPS. Sehingga dua tahun terakhir, BPS puasa mengeluarkan data produksi. BPS juga sudah menyadari kekeliruannya, sehingga mencari cara atau teknik penyelesaian baru.

Kedua, akibat panen yang dirayakan. Hal ini merupakan imbas dari data produksi yang surplus tadi. Untuk mensinkronkan antara data diatasi kertas dengan di lapangan, maka harus dibuktikan dengan panen. Agar sangat meyakinkan maka panen tersebut harus dilakukan besar besaran dan diberitakan. 

Akibatnya sudah bisa ditebak. Panen begitu dipaksakan dan sangat simbolis saja. Padahal mungkin di daerah tersebut terserang hama atau gagal panen. Begitu pejabat sudah panen, berbagai macam persoalan pasti tertinggal. Tidak ada beras yang mengalir ke penggilingan atau pasar-pasar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun