Mohon tunggu...
JULIUS FRANSISKUS
JULIUS FRANSISKUS Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Akuntansi | NIM 55523110005 | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Pajak Internasional | Dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB 2 || Pajak International || Memahami Peluang dan Tantangan Perpajakan Controlled Foreign Corporation di Indonesia Pendekatan Teori Pierre Bourdieu

25 November 2024   23:02 Diperbarui: 25 November 2024   23:27 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Pengaruh Kebiasaan dan Modal Wajib Pajak dalam Memanfaatkan Celah Pajak

Wajib pajak multinasional sering kali menggunakan kapital mereka untuk memanfaatkan celah dalam regulasi perpajakan:

  1. Celak Regulasi: Contohnya, laba yang ditahan di yurisdiksi offshore sering kali disamarkan sebagai investasi kembali sehingga tidak terkena aturan CFC.
  2. Ketidakseimbangan Kapital: Otoritas pajak domestik sering tidak memiliki modal budaya dan ekonomi yang cukup untuk memahami dan mengatasi strategi pajak yang rumit.
  3. Pentingnya Revisi Habitus: Edukasi dan penegakan hukum yang lebih baik dapat membantu mengubah kebiasaan wajib pajak untuk lebih mematuhi aturan.

Dengan memahami konteks Habitus, Kapital, dan Arena, kebijakan perpajakan CFC di Indonesia dapat dirancang dengan lebih efektif, menjawab tantangan globalisasi, sekaligus meningkatkan penerimaan pajak negara.

Peluang Perpajakan CFC di Indonesia

1. Peningkatan Basis Pajak

Kebijakan Controlled Foreign Corporation (CFC) menawarkan peluang besar dalam meningkatkan basis pajak Indonesia. PMK No. 93/PMK.03/2019 mengatur agar laba perusahaan asing yang dikendalikan oleh wajib pajak Indonesia tetap dikenakan pajak, meskipun laba tersebut tidak dibagikan ke pemilik di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menutup celah yang sering dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional untuk mengalihkan laba ke yurisdiksi pajak rendah, sehingga pendapatan negara yang potensial tidak terealisasi.

Sebagai contoh, kebijakan serupa telah diterapkan di Amerika Serikat melalui Subpart F yang menjadi bagian dari Internal Revenue Code (IRC). Kebijakan ini berhasil meningkatkan penerimaan pajak dari laba yang sebelumnya tidak terkena pajak di AS. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip serupa, Indonesia dapat memperluas basis pajaknya, terutama dari perusahaan multinasional yang memiliki afiliasi di negara-negara tax haven. Kebijakan ini juga dapat mendorong wajib pajak untuk lebih mematuhi aturan dengan mendeklarasikan laba yang diperoleh dari entitas afiliasinya di luar negeri.

Selain itu, peningkatan basis pajak dapat digunakan untuk mendukung program pembangunan nasional. Dengan optimalisasi penerimaan pajak dari skema CFC, Indonesia dapat mengalokasikan dana tersebut untuk sektor-sektor strategis seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini akan berdampak positif tidak hanya pada ekonomi nasional, tetapi juga pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

2. Meningkatkan Transparansi Pajak

Kebijakan CFC juga memainkan peran penting dalam meningkatkan transparansi perpajakan, terutama dalam menghadapi praktik penghindaran pajak lintas negara. Dalam konteks ini, penerapan Automatic Exchange of Information (AEoI) menjadi alat yang efektif untuk memastikan bahwa otoritas pajak memiliki akses ke data keuangan global yang relevan. Melalui AEoI, informasi tentang kepemilikan entitas asing dan transaksi lintas negara dapat dengan mudah diakses oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Pengurangan praktik penghindaran pajak lintas negara menjadi salah satu tujuan utama kebijakan CFC. Ketika wajib pajak menyadari bahwa pengawasan terhadap aktivitas keuangan mereka semakin ketat, mereka cenderung akan mengurangi upaya untuk mengalihkan laba ke negara-negara dengan tarif pajak rendah. Hal ini menciptakan lingkungan perpajakan yang lebih adil dan seimbang di tingkat global. Sebagai hasilnya, wajib pajak di Indonesia akan lebih terbuka dalam melaporkan pendapatan mereka secara komprehensif.

Transparansi yang ditingkatkan ini juga mendukung integritas sistem perpajakan Indonesia. Ketika wajib pajak melihat bahwa aturan diterapkan secara konsisten dan informasi keuangan dapat dengan mudah diakses oleh otoritas pajak, kepercayaan terhadap sistem pajak akan meningkat. Dalam jangka panjang, ini akan berkontribusi pada peningkatan tingkat kepatuhan wajib pajak secara sukarela.

3. Daya Saing Global Indonesia

Dengan menerapkan kebijakan CFC, Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya dalam ekonomi global. Salah satu caranya adalah dengan menyesuaikan kebijakan perpajakan sesuai dengan Pilar 2 OECD, yang mengusulkan pengenaan tarif pajak minimum global sebesar 15%. Penyesuaian ini penting untuk memastikan bahwa perusahaan multinasional tidak mengalihkan laba mereka ke negara-negara dengan tarif pajak lebih rendah dari ambang batas global minimum tersebut.

Selain itu, kerangka perpajakan yang adil dan transparan dapat menarik investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI). Investor cenderung mencari negara dengan regulasi yang jelas dan stabil. Dengan kebijakan CFC yang memberikan kepastian hukum dan meminimalkan risiko arbitrase pajak, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi destinasi investasi yang lebih menarik di kawasan Asia Tenggara.

Penyesuaian kebijakan ini juga akan memperkuat posisi Indonesia dalam dialog internasional tentang perpajakan. Sebagai anggota G20 dan OECD Inclusive Framework, Indonesia dapat berperan aktif dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan perpajakan global yang adil. Hal ini tidak hanya memperbaiki citra internasional Indonesia, tetapi juga membantu membangun ekosistem pajak global yang lebih terintegrasi.

4. Kolaborasi Regional dan Global

Dalam menghadapi tantangan perpajakan internasional, kolaborasi regional dan global menjadi elemen kunci keberhasilan kebijakan CFC. Di tingkat regional, sinergi dengan negara-negara anggota ASEAN dapat membantu harmonisasi kebijakan perpajakan lintas negara. ASEAN sebagai blok ekonomi memiliki potensi besar untuk mengatasi tantangan penghindaran pajak melalui penguatan kerja sama, termasuk dalam pertukaran informasi dan pengembangan kebijakan bersama.

Misalnya, Indonesia dapat bekerja sama dengan Singapura, sebagai salah satu pusat keuangan utama di Asia, untuk memastikan transparansi keuangan dan implementasi kebijakan CFC yang lebih efektif. Kolaborasi ini dapat mencakup perjanjian bilateral terkait perpajakan, pertukaran data keuangan, hingga harmonisasi tarif pajak regional. Dengan begitu, perusahaan multinasional tidak dapat dengan mudah memindahkan laba mereka antar negara ASEAN untuk menghindari pajak.

Di tingkat global, Indonesia dapat memanfaatkan inisiatif seperti Inclusive Framework on BEPS dan Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes. Keikutsertaan aktif dalam forum-forum ini memungkinkan Indonesia mendapatkan dukungan teknis, akses data internasional, dan peluang untuk memperkuat regulasi domestik. Dengan kolaborasi yang kuat, Indonesia dapat memastikan bahwa kebijakan CFC tidak hanya efektif secara lokal, tetapi juga relevan dalam konteks internasional.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Tantangan Perpajakan CFC di Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun