Mohon tunggu...
JULIUS FRANSISKUS
JULIUS FRANSISKUS Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Akuntansi | NIM 55523110005 | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Pajak Internasional | Dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB 2 || Pajak International || Memahami Peluang dan Tantangan Perpajakan Controlled Foreign Corporation di Indonesia Pendekatan Teori Pierre Bourdieu

25 November 2024   23:02 Diperbarui: 25 November 2024   23:27 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latar Belakang Controlled Foreign Corporation (CFC)

Controlled Foreign Corporation (CFC) merupakan salah satu mekanisme dalam kebijakan perpajakan internasional yang bertujuan mencegah praktik penghindaran pajak lintas negara. Istilah ini mengacu pada perusahaan asing yang dikendalikan oleh wajib pajak dalam negeri, di mana laba yang diperoleh perusahaan tersebut, meskipun belum didistribusikan, tetap dapat dikenakan pajak oleh otoritas negara asal pengendali. Kebijakan ini lahir sebagai respons atas meningkatnya fenomena shifting keuntungan ke yurisdiksi pajak rendah (low-tax jurisdictions) atau negara bebas pajak (tax haven) yang menyebabkan basis pajak negara pengendali terkikis. Di Indonesia, pengaturan terkait CFC pertama kali diatur melalui PMK No. 93/PMK.03/2019, yang merupakan tindak lanjut dari rekomendasi inisiatif global seperti Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action 3 yang dipimpin oleh OECD.

Fenomena globalisasi ekonomi telah mendorong perusahaan multinasional untuk memanfaatkan celah-celah dalam sistem perpajakan internasional, seperti transfer pricing, thin capitalization, dan eksploitasi tax haven. CFC menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan memastikan bahwa laba yang "ditahan" (retained earnings) tidak lolos dari pengenaan pajak. Di Indonesia, kebijakan ini menjadi relevan karena banyak wajib pajak besar, terutama yang memiliki afiliasi internasional, diduga melakukan praktik penghindaran pajak melalui struktur perusahaan asing yang kompleks.

Meskipun kebijakan CFC memiliki tujuan yang mulia, implementasinya di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Kompleksitas dalam regulasi, kurangnya pemahaman wajib pajak, dan terbatasnya sumber daya otoritas pajak menjadi hambatan utama. Sebagai negara berkembang dengan potensi pajak yang besar, Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak melalui kebijakan CFC ini. Namun, tanpa dukungan edukasi, reformasi birokrasi, dan teknologi yang memadai, kebijakan ini berisiko tidak efektif atau bahkan menciptakan beban administratif yang berlebihan.

Dari perspektif sosiologis, teori Pierre Bourdieu menawarkan kerangka berpikir yang relevan untuk memahami kompleksitas penerapan CFC di Indonesia. Melalui konsep Praksis, yang terdiri dari tiga elemen utama yaitu Habitus, Kapital, dan Arena, kita dapat menganalisis bagaimana perilaku wajib pajak, distribusi modal, dan struktur institusional memengaruhi keberhasilan atau kegagalan kebijakan perpajakan ini. Habitus mencerminkan kebiasaan dan pola pikir wajib pajak terhadap peraturan, Kapital mengacu pada sumber daya yang dimiliki, baik ekonomi, sosial, maupun simbolik, sedangkan Arena adalah ruang di mana aktor-aktor seperti otoritas pajak, konsultan, dan perusahaan multinasional berinteraksi dan bersaing.

Dalam konteks kebijakan CFC, Habitus wajib pajak multinasional sering kali didominasi oleh pemikiran untuk meminimalkan kewajiban pajak dengan cara memanfaatkan kelemahan dalam regulasi. Di sisi lain, distribusi Kapital yang tidak merata, seperti akses terhadap penasihat pajak internasional, menempatkan perusahaan besar pada posisi yang jauh lebih unggul dibandingkan otoritas pajak atau entitas kecil. Arena regulasi pajak menjadi medan kompetisi di mana negara harus menghadapi tantangan untuk menegakkan aturan sambil tetap menjaga daya saing ekonomi.

Dengan pendekatan teori Praksis, kita dapat mengeksplorasi lebih dalam mengenai peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia, seperti peningkatan penerimaan pajak dan transparansi fiskal, serta tantangan yang harus dihadapi, termasuk resistensi dari wajib pajak dan kesenjangan modal. Tulisan ini akan menguraikan lebih lanjut bagaimana teori Pierre Bourdieu dapat digunakan sebagai kerangka analisis untuk memahami dinamika implementasi kebijakan CFC di Indonesia.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Teori Pierre Bourdieu

Teori Pierre Bourdieu adalah kerangka konseptual yang menekankan hubungan antara struktur sosial, individu, dan praktik dalam masyarakat. Bourdieu mengembangkan berbagai konsep kunci untuk memahami dinamika sosial, termasuk habitus, kapital, arena (field), dan doxa. Teorinya sering digunakan untuk menganalisis bagaimana kekuasaan dan dominasi direproduksi dalam berbagai konteks sosial.

1. Habitus

Habitus adalah konsep dalam teori Pierre Bourdieu yang menggambarkan kumpulan disposisi, kecenderungan, atau pola pikir yang dibentuk melalui pengalaman sosial seseorang. Habitus terbentuk sejak dini melalui proses sosialisasi, seperti dalam keluarga, pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Disposisi ini mencerminkan cara seseorang berpikir, merasa, dan bertindak di dunia sosial, yang pada dasarnya bersifat tidak disadari atau implicit. Dengan kata lain, habitus adalah "cara berada" seseorang yang secara konsisten mencerminkan pengaruh dari konteks sosial di mana ia dibentuk. Sebagai contoh, seseorang yang tumbuh dalam keluarga akademisi cenderung memiliki kebiasaan, nilai, dan cara berpikir yang menghargai pendidikan formal.

Habitus tidak hanya bersifat individual tetapi juga kolektif, karena individu dalam kelompok sosial yang sama cenderung mengembangkan disposisi yang serupa. Habitus bersifat dinamis---mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan sosial, tetapi juga memiliki elemen yang stabil karena akar pembentukannya yang mendalam. Dalam praktik sosial, habitus memengaruhi cara seseorang menggunakan berbagai bentuk kapital (ekonomi, sosial, budaya) dalam arena tertentu. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki habitus bisnis akan secara alami cenderung mengambil risiko dan berinovasi dalam konteks ekonomi, berbeda dengan habitus akademik yang lebih menekankan pada pengembangan pengetahuan. Habitus ini menjadi kunci dalam memahami bagaimana struktur sosial direproduksi atau bahkan diubah oleh tindakan individu.

Ciri-ciri habitus:

  • Terbentuk melalui sosialisasi sejak dini dalam keluarga, pendidikan, dan masyarakat
  • Bersifat tidak disadari (tacit), sehingga individu sering tidak menyadari pengaruhnya
  • Adaptif terhadap lingkungan tertentu, tetapi cenderung bertahan meskipun lingkungan berubah.

Contoh:

Seseorang yang tumbuh dalam keluarga dengan latar belakang akademik cenderung memiliki habitus yang menghargai pendidikan formal.


2. Kapital

Kapital dalam teori Pierre Bourdieu adalah konsep kunci yang merujuk pada berbagai bentuk sumber daya yang dimiliki individu atau kelompok yang dapat digunakan untuk mendapatkan posisi dominan atau keuntungan dalam arena sosial. Bourdieu membagi kapital menjadi empat jenis utama: kapital ekonomi, kapital budaya, kapital sosial, dan kapital simbolik. Kapital ekonomi mencakup kekayaan material, seperti uang atau aset yang dapat diinvestasikan. Kapital budaya terdiri dari keterampilan, pendidikan, pengetahuan, atau bentuk lain dari nilai-nilai intelektual yang diakui oleh masyarakat. Kapital sosial mengacu pada jaringan hubungan atau koneksi yang dapat digunakan untuk mendukung dan memperkuat posisi seseorang dalam masyarakat. Sementara itu, kapital simbolik adalah pengakuan atau legitimasi yang diperoleh melalui bentuk kapital lainnya, seperti reputasi, status sosial, atau kehormatan.

Setiap jenis kapital memiliki perannya masing-masing dalam mendukung kekuasaan atau pengaruh seseorang di dalam suatu arena. Misalnya, dalam dunia pendidikan, kapital budaya seperti gelar akademik atau keahlian spesifik menjadi alat penting untuk memperoleh posisi sosial yang lebih tinggi. Namun, kapital-kapital ini tidak bekerja secara terpisah; mereka saling berinteraksi dan dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya melalui strategi tertentu. Sebagai contoh, seseorang dapat menggunakan kapital ekonomi untuk mendapatkan pendidikan (kapital budaya) atau membangun jaringan sosial (kapital sosial). Dengan cara ini, kapital menjadi alat utama dalam mempertahankan atau mengubah struktur kekuasaan dalam masyarakat.

Ada empat jenis kapital:

  • Kapital Ekonomi: Kekayaan material, seperti uang, properti, atau aset.
  • Kapital Sosial: Jaringan relasi sosial yang dapat memberikan akses atau dukungan
  • Kapital Budaya: Pengetahuan, pendidikan, atau keterampilan yang dihargai dalam masyarakat tertentu. Kapital budaya mencakup:
    • Inkorporasi (embodied): Pengetahuan atau keterampilan yang melekat pada individu.
    • Objektivasi (objectified): Objek budaya seperti buku atau karya seni.
    • Institusionalisasi: Gelar pendidikan atau sertifikasi formal
  • Kapital Simbolik: Pengakuan atau legitimasi sosial yang diakui oleh masyarakat, seperti status atau prestise.

Contoh:

Gelar pendidikan tinggi dapat dianggap sebagai kapital budaya yang meningkatkan peluang kerja.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

3. Arena (Field)

Arena (atau field) dalam teori Pierre Bourdieu merujuk pada ruang sosial spesifik tempat individu, kelompok, atau institusi berinteraksi dan berkompetisi untuk memperoleh kapital dan posisi dominan. Setiap arena memiliki logika atau aturan main yang unik, yang dikenal sebagai nomos. Aturan ini menentukan cara kapital (ekonomi, budaya, sosial, atau simbolik) dipersebutkan dan diakumulasi oleh aktor di dalamnya. Contoh arena adalah dunia pendidikan, politik, seni, atau ekonomi. Dalam dunia pendidikan, misalnya, gelar akademik dan pengakuan intelektual berfungsi sebagai kapital budaya yang menentukan hierarki posisi seseorang dalam arena tersebut.

Arena bersifat otonom tetapi tetap saling terkait dengan arena lain dalam struktur sosial yang lebih luas. Dinamika kompetisi dalam sebuah arena melibatkan perebutan kekuasaan dan legitimasi di antara aktor dengan habitus yang berbeda. Mereka yang memiliki kapital lebih banyak cenderung mendominasi dan menetapkan norma serta aturan main. Namun, individu atau kelompok yang lebih lemah juga dapat mencoba mengubah aturan melalui inovasi atau resistensi. Misalnya, dalam arena politik, kandidat baru sering kali menantang status quo dengan menawarkan wacana yang berbeda untuk menarik dukungan dari elemen masyarakat tertentu. Dengan demikian, arena tidak hanya mencerminkan hubungan kekuasaan tetapi juga menjadi tempat reproduksi dan transformasi struktur sosial.

Karakteristik arena:

  • Beragam, seperti arena ekonomi, pendidikan, seni, atau politik.
  • Dipengaruhi oleh distribusi kapital di dalamnya
  • Ada konflik antaraktor karena perbedaan kepentingan dan akses terhadap kapital.

Contoh:

Dalam arena pendidikan, guru dan siswa memiliki peran berbeda, dan keberhasilan siswa tergantung pada kapital budaya serta habitus yang dimilikinya.


4. Doxa

Doxa merujuk pada keyakinan atau norma yang diterima begitu saja dalam arena tertentu. Keyakinan ini dianggap sebagai "kebenaran" dan jarang dipertanyakan. Doxa adalah konsep dalam teori Pierre Bourdieu yang merujuk pada keyakinan, nilai, atau norma yang diterima secara alami dalam suatu arena (field) sosial. Doxa mencakup segala sesuatu yang dianggap sebagai "kebenaran universal" oleh individu atau kelompok tanpa perlu dipertanyakan atau diperdebatkan. Keyakinan ini muncul dari struktur sosial yang telah mapan dan cenderung diinternalisasi oleh aktor sosial sebagai bagian dari habitus mereka. Dengan kata lain, doxa adalah aturan main atau asumsi dasar yang membentuk persepsi dan tindakan aktor dalam suatu arena, sehingga keberadaannya sulit disadari. Misalnya, dalam dunia pendidikan, keyakinan bahwa pendidikan formal adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan adalah sebuah doxa yang diterima banyak orang tanpa mempertanyakan alternatif lain.

Doxa berfungsi untuk mempertahankan stabilitas struktur sosial karena aktor cenderung mengikuti norma yang sudah mapan tanpa melakukan kritik atau resistensi. Dalam banyak kasus, doxa membantu mereproduksi kekuasaan yang ada karena ia mendukung dominasi kelompok tertentu yang memiliki kapital lebih besar di dalam arena tersebut. Namun, doxa tidak sepenuhnya kaku. Ketika aktor mulai menyadari kontradiksi atau ketidakadilan dalam norma yang berlaku, doxa dapat ditantang, dan ini memunculkan ruang untuk heterodoxa---gagasan atau praktik alternatif yang bertentangan dengan keyakinan dominan. Proses ini sering kali menjadi sumber transformasi sosial. Contohnya, dalam konteks ekonomi global, munculnya kritik terhadap kapitalisme neoliberal dapat dilihat sebagai tantangan terhadap doxa yang telah lama mendominasi wacana ekonomi dunia.

Fungsi doxa:

  • Membentuk cara pandang aktor terhadap arena
  • Mendukung reproduksi struktur kekuasaan karena aturan yang diterima tanpa kritik.

Contoh:

Keyakinan bahwa pendidikan tinggi adalah jalan utama menuju kesuksesan ekonomi dapat dianggap sebagai doxa dalam banyak masyarakat modern.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Hubungan Habitus, Kapital, dan Arena

Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa praktik sosial seseorang merupakan hasil dari interaksi yang dinamis antara tiga konsep utama: habitus, kapital, dan arena. Habitus mencerminkan pola pikir, disposisi, dan tindakan yang terbentuk melalui pengalaman sosial individu. Ia bertindak sebagai pemandu internal yang menentukan bagaimana seseorang merespons situasi di sekitarnya. Kapital, yang dapat berbentuk ekonomi, budaya, sosial, atau simbolik, adalah sumber daya yang dimiliki individu dan digunakan untuk memengaruhi atau mempertahankan posisi dalam arena sosial. Sementara itu, arena adalah ruang kompetisi sosial di mana individu atau kelompok berjuang untuk mendapatkan kekuasaan atau legitimasi berdasarkan aturan main tertentu yang berlaku di arena tersebut.

Dalam praktik sosial, habitus memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana individu menggunakan kapital yang dimilikinya untuk bersaing atau beradaptasi dalam arena tertentu. Sebagai contoh, dalam arena pendidikan, seorang mahasiswa dari latar belakang keluarga akademik mungkin memiliki habitus yang membuatnya lebih mudah menavigasi sistem pendidikan formal. Ia dapat menggunakan kapital budaya, seperti kemampuan berpikir kritis dan pemahaman intelektual, untuk memperoleh prestasi akademik. Di sisi lain, mahasiswa dengan latar belakang ekonomi yang kuat mungkin menggunakan kapital ekonominya untuk mengakses pendidikan berkualitas tinggi atau bimbingan tambahan. Interaksi antara habitus dan kapital ini kemudian membentuk tindakan individu dalam arena tersebut.

Namun, hubungan antara habitus, kapital, dan arena tidak selalu linier atau statis. Arena adalah ruang yang penuh dinamika dan sering kali bersifat hierarkis, di mana aktor dengan kapital lebih besar memiliki kendali lebih besar terhadap aturan main. Akan tetapi, aktor lain dengan habitus tertentu dapat menantang aturan ini, terutama jika mereka berhasil mengonversi kapital yang dimiliki ke dalam bentuk yang relevan untuk arena tersebut. Misalnya, dalam arena politik, seorang kandidat dengan kapital sosial yang kuat dapat menantang dominasi aktor lain yang memiliki kapital ekonomi lebih besar, terutama jika ia mampu menghubungkan jaringan sosialnya dengan isu-isu yang relevan bagi masyarakat. Dengan demikian, interaksi ini menunjukkan bagaimana praktik sosial adalah hasil kompleks dari habitus individu, kapital yang dimiliki, dan sifat kompetitif arena tempat mereka berada.


Implikasi Teori Bourdieu

  1. Reproduksi Sosial: Struktur kekuasaan cenderung bertahan karena aktor menggunakan kapital untuk mempertahankan dominasinya
  2. Mobilitas Sosial: Perubahan posisi sosial bergantung pada kemampuan individu mengakumulasi kapital yang relevan
  3. Analisis Multidimensional: Teori ini dapat diterapkan dalam berbagai konteks, seperti pendidikan, ekonomi, budaya, atau politik.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Teori Pierre Bourdieu dalam Konteks Perpajakan

Pierre Bourdieu, melalui teori Praksis, menawarkan kerangka kerja yang sangat relevan untuk menganalisis interaksi antara individu atau entitas dengan struktur sosial, termasuk dalam konteks perpajakan Controlled Foreign Corporation (CFC). Praksis terdiri dari tiga komponen utama---Habitus, Kapital, dan Arena---yang saling berinteraksi dalam membentuk tindakan manusia. Dalam konteks perpajakan, teori ini memungkinkan kita memahami perilaku wajib pajak, dinamika regulasi, serta ketimpangan akses modal yang memengaruhi efektivitas kebijakan.

1. PRAKSIS: Integrasi Habitus, Kapital, dan Arena

Habitus

Habitus mencerminkan pola pikir, kebiasaan, dan persepsi wajib pajak terhadap regulasi perpajakan, termasuk kebijakan CFC. Dalam konteks Indonesia:

  • Internalisasi Nilai dan Norma: Banyak perusahaan multinasional memiliki kebiasaan mengoptimalkan beban pajak mereka melalui tax planning agresif. Kebiasaan ini terbentuk dari internalisasi norma ekonomi neoliberal yang mengutamakan efisiensi pajak untuk memaksimalkan laba. Dalam kasus CFC, perusahaan sering kali memandang laba yang ditahan di yurisdiksi pajak rendah sebagai langkah bisnis yang "wajar."
  • Persepsi Risiko Pajak: Rendahnya persepsi risiko terhadap sanksi hukum membuat wajib pajak enggan mematuhi aturan CFC. Ini dipengaruhi oleh lemahnya penegakan hukum di arena perpajakan Indonesia.
  • Transformasi Habitus: Untuk mengubah pola pikir ini, diperlukan edukasi pajak yang tidak hanya menyampaikan ancaman sanksi, tetapi juga menekankan tanggung jawab sosial wajib pajak dalam mendukung pembangunan negara.

Kapital

Kapital mencakup semua bentuk sumber daya yang dimiliki individu atau entitas, yang memengaruhi kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam arena sosial, termasuk arena perpajakan. Dalam konteks CFC:

  1. Kapital Ekonomi: Perusahaan besar sering memiliki kapital ekonomi yang cukup untuk menyewa konsultan pajak internasional atau membuat struktur perusahaan kompleks di yurisdiksi pajak rendah. Hal ini menciptakan ketimpangan dengan entitas kecil atau otoritas pajak yang memiliki sumber daya terbatas.
  2. Kapital Sosial dan Budaya: Akses kepada jaringan profesional, seperti konsultan atau penasihat pajak internasional, memberi keuntungan tambahan bagi perusahaan multinasional. Di sisi lain, otoritas pajak sering kali kurang memiliki kapital budaya dalam memahami strategi pajak yang rumit.
  3. Kapital Simbolik: Reputasi perusahaan multinasional sering kali memberi mereka daya tawar lebih besar di arena perpajakan, membuat mereka lebih sulit disentuh oleh regulasi.

Arena

Arena adalah ruang di mana aktor-aktor berinteraksi dan bersaing untuk memengaruhi hasil tertentu. Dalam konteks perpajakan CFC:

  1. Struktur Arena Pajak: Arena perpajakan di Indonesia sering kali didominasi oleh perusahaan multinasional yang memiliki modal lebih besar dibandingkan otoritas pajak. Ketidakseimbangan ini memengaruhi kemampuan pemerintah untuk menerapkan aturan dengan tegas.
  2. Hubungan Kuasa: Dalam arena pajak, terdapat dinamika kuasa antara otoritas pajak, wajib pajak, dan penasihat pajak. Perusahaan dengan modal besar sering kali memanfaatkan posisi mereka untuk menekan atau bahkan menghindari implementasi kebijakan.
  3. Penguatan Arena: Reformasi birokrasi dan peningkatan kerja sama internasional diperlukan untuk memperkuat posisi otoritas pajak dalam arena global. Misalnya, melalui inisiatif seperti Automatic Exchange of Information (AEoI).

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Relevansi dengan Kebijakan CFC di Indonesia

Transformasi Kebijakan dalam Menghadapi Globalisasi

Kebijakan CFC adalah respons pemerintah terhadap globalisasi yang mempermudah aliran modal lintas negara. Globalisasi memberikan peluang bagi perusahaan untuk mengurangi kewajiban pajak melalui pengalihan laba ke negara dengan tarif pajak rendah. Dengan regulasi seperti PMK No. 93/PMK.03/2019, Indonesia mencoba memastikan bahwa laba yang dihasilkan oleh perusahaan asing tetap dapat dikenakan pajak.

PMK No. 93/PMK.03/2019 adalah Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure, atau MAP). MAP adalah mekanisme yang memungkinkan Wajib Pajak mengatasi sengketa perpajakan internasional yang berkaitan dengan penerapan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Double Taxation Agreement (DTA). Tujuan utamanya adalah mencegah dan menyelesaikan masalah perpajakan berganda yang dapat terjadi akibat perbedaan interpretasi atau penerapan DTA oleh otoritas pajak di dua negara.

Pokok-Pokok Pengaturan dalam PMK No. 93/PMK.03/2019

  1. Definisi MAP
    MAP adalah proses konsultasi antara otoritas pajak dari dua negara yang memiliki P3B untuk menyelesaikan isu perpajakan berganda akibat interpretasi atau penerapan ketentuan dalam DTA.
  2. Subjek yang Dapat Mengajukan MAP
    Wajib Pajak yang mengalami pajak berganda karena:
    • Penyesuaian transfer pricing.
    • Penyesuaian alokasi penghasilan atau biaya antar negara.
    • Ketidaksesuaian interpretasi DTA antara negara.
    • Isu lain yang relevan dengan implementasi P3B.
  3. Prosedur Pengajuan MAP
    • Pengajuan Permohonan: Wajib Pajak mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak (DJP) dalam waktu tertentu sesuai dengan ketentuan P3B yang relevan.
    • Dokumen yang Dibutuhkan:
      • Formulir permohonan.
      • Salinan dokumen terkait transaksi lintas negara.
      • Alasan terjadinya pajak berganda.
    • Batas Waktu: Pengajuan harus dilakukan dalam batas waktu yang ditentukan oleh DTA, biasanya 3 tahun sejak tindakan yang menyebabkan sengketa terjadi.
  4. Tahapan MAP
    • Penerimaan Permohonan: DJP mengevaluasi kelengkapan permohonan.
    • Diskusi Internal: DJP memutuskan apakah isu yang diajukan sesuai dengan ketentuan dalam P3B.
    • Konsultasi Antarnegara: DJP melakukan konsultasi dengan otoritas pajak negara mitra P3B untuk mencapai kesepakatan bersama.
    • Keputusan Akhir: Hasil MAP berupa kesepakatan yang mengikat kedua negara.
  5. Jangka Waktu Penyelesaian
    Penyelesaian MAP tergantung pada kompleksitas kasus dan kesepakatan antara otoritas pajak terkait. PMK tidak memberikan batas waktu tetap, tetapi mendorong penyelesaian secepat mungkin.
  6. Hubungan dengan Mekanisme Lain
    • MAP dapat diajukan bersamaan dengan Banding atau Gugatan Pajak di Pengadilan Pajak. Namun, pelaksanaan MAP tidak akan memengaruhi proses hukum yang sedang berjalan.

 Namun, dalam pelaksanaannya:

  1. Adaptasi Kebijakan Global: Indonesia perlu mengikuti rekomendasi OECD dalam BEPS Action 3 agar regulasi CFC lebih efektif.
  2. Integrasi Regional: Kebijakan ini memerlukan koordinasi dengan negara lain, terutama di ASEAN, untuk menghindari arbitrase pajak.
  3. Modernisasi Regulasi: Transformasi kebijakan juga memerlukan adaptasi teknologi dan penggunaan big data untuk mendeteksi transaksi lintas negara.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Pengaruh Kebiasaan dan Modal Wajib Pajak dalam Memanfaatkan Celah Pajak

Wajib pajak multinasional sering kali menggunakan kapital mereka untuk memanfaatkan celah dalam regulasi perpajakan:

  1. Celak Regulasi: Contohnya, laba yang ditahan di yurisdiksi offshore sering kali disamarkan sebagai investasi kembali sehingga tidak terkena aturan CFC.
  2. Ketidakseimbangan Kapital: Otoritas pajak domestik sering tidak memiliki modal budaya dan ekonomi yang cukup untuk memahami dan mengatasi strategi pajak yang rumit.
  3. Pentingnya Revisi Habitus: Edukasi dan penegakan hukum yang lebih baik dapat membantu mengubah kebiasaan wajib pajak untuk lebih mematuhi aturan.

Dengan memahami konteks Habitus, Kapital, dan Arena, kebijakan perpajakan CFC di Indonesia dapat dirancang dengan lebih efektif, menjawab tantangan globalisasi, sekaligus meningkatkan penerimaan pajak negara.

Peluang Perpajakan CFC di Indonesia

1. Peningkatan Basis Pajak

Kebijakan Controlled Foreign Corporation (CFC) menawarkan peluang besar dalam meningkatkan basis pajak Indonesia. PMK No. 93/PMK.03/2019 mengatur agar laba perusahaan asing yang dikendalikan oleh wajib pajak Indonesia tetap dikenakan pajak, meskipun laba tersebut tidak dibagikan ke pemilik di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menutup celah yang sering dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional untuk mengalihkan laba ke yurisdiksi pajak rendah, sehingga pendapatan negara yang potensial tidak terealisasi.

Sebagai contoh, kebijakan serupa telah diterapkan di Amerika Serikat melalui Subpart F yang menjadi bagian dari Internal Revenue Code (IRC). Kebijakan ini berhasil meningkatkan penerimaan pajak dari laba yang sebelumnya tidak terkena pajak di AS. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip serupa, Indonesia dapat memperluas basis pajaknya, terutama dari perusahaan multinasional yang memiliki afiliasi di negara-negara tax haven. Kebijakan ini juga dapat mendorong wajib pajak untuk lebih mematuhi aturan dengan mendeklarasikan laba yang diperoleh dari entitas afiliasinya di luar negeri.

Selain itu, peningkatan basis pajak dapat digunakan untuk mendukung program pembangunan nasional. Dengan optimalisasi penerimaan pajak dari skema CFC, Indonesia dapat mengalokasikan dana tersebut untuk sektor-sektor strategis seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini akan berdampak positif tidak hanya pada ekonomi nasional, tetapi juga pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

2. Meningkatkan Transparansi Pajak

Kebijakan CFC juga memainkan peran penting dalam meningkatkan transparansi perpajakan, terutama dalam menghadapi praktik penghindaran pajak lintas negara. Dalam konteks ini, penerapan Automatic Exchange of Information (AEoI) menjadi alat yang efektif untuk memastikan bahwa otoritas pajak memiliki akses ke data keuangan global yang relevan. Melalui AEoI, informasi tentang kepemilikan entitas asing dan transaksi lintas negara dapat dengan mudah diakses oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Pengurangan praktik penghindaran pajak lintas negara menjadi salah satu tujuan utama kebijakan CFC. Ketika wajib pajak menyadari bahwa pengawasan terhadap aktivitas keuangan mereka semakin ketat, mereka cenderung akan mengurangi upaya untuk mengalihkan laba ke negara-negara dengan tarif pajak rendah. Hal ini menciptakan lingkungan perpajakan yang lebih adil dan seimbang di tingkat global. Sebagai hasilnya, wajib pajak di Indonesia akan lebih terbuka dalam melaporkan pendapatan mereka secara komprehensif.

Transparansi yang ditingkatkan ini juga mendukung integritas sistem perpajakan Indonesia. Ketika wajib pajak melihat bahwa aturan diterapkan secara konsisten dan informasi keuangan dapat dengan mudah diakses oleh otoritas pajak, kepercayaan terhadap sistem pajak akan meningkat. Dalam jangka panjang, ini akan berkontribusi pada peningkatan tingkat kepatuhan wajib pajak secara sukarela.

3. Daya Saing Global Indonesia

Dengan menerapkan kebijakan CFC, Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya dalam ekonomi global. Salah satu caranya adalah dengan menyesuaikan kebijakan perpajakan sesuai dengan Pilar 2 OECD, yang mengusulkan pengenaan tarif pajak minimum global sebesar 15%. Penyesuaian ini penting untuk memastikan bahwa perusahaan multinasional tidak mengalihkan laba mereka ke negara-negara dengan tarif pajak lebih rendah dari ambang batas global minimum tersebut.

Selain itu, kerangka perpajakan yang adil dan transparan dapat menarik investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI). Investor cenderung mencari negara dengan regulasi yang jelas dan stabil. Dengan kebijakan CFC yang memberikan kepastian hukum dan meminimalkan risiko arbitrase pajak, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi destinasi investasi yang lebih menarik di kawasan Asia Tenggara.

Penyesuaian kebijakan ini juga akan memperkuat posisi Indonesia dalam dialog internasional tentang perpajakan. Sebagai anggota G20 dan OECD Inclusive Framework, Indonesia dapat berperan aktif dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan perpajakan global yang adil. Hal ini tidak hanya memperbaiki citra internasional Indonesia, tetapi juga membantu membangun ekosistem pajak global yang lebih terintegrasi.

4. Kolaborasi Regional dan Global

Dalam menghadapi tantangan perpajakan internasional, kolaborasi regional dan global menjadi elemen kunci keberhasilan kebijakan CFC. Di tingkat regional, sinergi dengan negara-negara anggota ASEAN dapat membantu harmonisasi kebijakan perpajakan lintas negara. ASEAN sebagai blok ekonomi memiliki potensi besar untuk mengatasi tantangan penghindaran pajak melalui penguatan kerja sama, termasuk dalam pertukaran informasi dan pengembangan kebijakan bersama.

Misalnya, Indonesia dapat bekerja sama dengan Singapura, sebagai salah satu pusat keuangan utama di Asia, untuk memastikan transparansi keuangan dan implementasi kebijakan CFC yang lebih efektif. Kolaborasi ini dapat mencakup perjanjian bilateral terkait perpajakan, pertukaran data keuangan, hingga harmonisasi tarif pajak regional. Dengan begitu, perusahaan multinasional tidak dapat dengan mudah memindahkan laba mereka antar negara ASEAN untuk menghindari pajak.

Di tingkat global, Indonesia dapat memanfaatkan inisiatif seperti Inclusive Framework on BEPS dan Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes. Keikutsertaan aktif dalam forum-forum ini memungkinkan Indonesia mendapatkan dukungan teknis, akses data internasional, dan peluang untuk memperkuat regulasi domestik. Dengan kolaborasi yang kuat, Indonesia dapat memastikan bahwa kebijakan CFC tidak hanya efektif secara lokal, tetapi juga relevan dalam konteks internasional.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Tantangan Perpajakan CFC di Indonesia

1. Kompleksitas Peraturan

Salah satu tantangan utama dalam penerapan kebijakan CFC di Indonesia adalah kompleksitas peraturan yang tercantum dalam PMK No. 93/PMK.03/2019. Peraturan ini membutuhkan penyesuaian yang signifikan dalam sistem perpajakan domestik, khususnya dalam mendefinisikan penghasilan pasif, mengidentifikasi entitas asing yang dikendalikan, dan menghitung penghasilan kena pajak. Tanpa pemahaman yang memadai, wajib pajak dan bahkan petugas pajak sering mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan aturan ini secara efektif.

Contoh nyata dari kompleksitas ini adalah bagaimana perusahaan multinasional dengan struktur yang sangat tersegmentasi memanfaatkan celah regulasi. Sebagai contoh, perusahaan sering kali memanfaatkan perjanjian bilateral yang berbeda untuk mengalihkan laba dari negara dengan pajak tinggi ke yurisdiksi dengan pajak rendah, sehingga menghindari aturan CFC. Sistem pengawasan dan penghitungan otomatis yang belum sepenuhnya terintegrasi di Indonesia membuat otoritas pajak kesulitan dalam melacak transaksi-transaksi kompleks ini.

Untuk mengatasi hambatan teknis ini, diperlukan penyederhanaan regulasi dan peningkatan kapasitas teknis otoritas pajak. Penyesuaian regulasi dapat mencakup penetapan pedoman yang lebih jelas mengenai jenis penghasilan yang dianggap pasif serta penggunaan teknologi big data untuk mendeteksi pola penghindaran pajak. Langkah ini dapat meningkatkan kepatuhan dan efektivitas implementasi kebijakan CFC.

2. Habitus Pembayar Pajak

Habitus atau pola pikir pembayar pajak menjadi salah satu kendala besar dalam implementasi kebijakan CFC. Di Indonesia, kesadaran pajak masyarakat umumnya masih rendah, terutama di kalangan wajib pajak yang memiliki entitas di luar negeri. Banyak perusahaan yang memandang kebijakan CFC sebagai penghalang efisiensi bisnis, sehingga mereka cenderung mencari cara untuk menghindari aturan tersebut daripada mematuhinya.

Perbedaan pola pikir antara wajib pajak domestik dan multinasional juga menjadi tantangan. Wajib pajak multinasional biasanya memiliki kebiasaan atau habitus yang dibentuk oleh norma-norma global, di mana penghindaran pajak dianggap sebagai strategi bisnis yang sah. Sementara itu, wajib pajak domestik cenderung mematuhi regulasi nasional tetapi menghadapi kendala teknis dalam memahami aturan yang lebih kompleks seperti CFC.

Untuk mengubah habitus ini, pemerintah perlu berfokus pada edukasi perpajakan yang menekankan pentingnya kepatuhan pajak untuk mendukung pembangunan nasional. Kampanye yang menggambarkan manfaat nyata dari penerimaan pajak bagi masyarakat luas dapat membantu membangun kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial. Selain itu, insentif pajak yang diberikan kepada wajib pajak patuh dapat mendorong perilaku yang lebih positif.

3. Kesenjangan Kapital

Kesenjangan kapital antara otoritas pajak dan entitas besar menciptakan ketimpangan yang signifikan dalam implementasi kebijakan CFC. Perusahaan multinasional memiliki kapital ekonomi yang sangat besar, termasuk sumber daya untuk menyewa konsultan pajak internasional atau membangun struktur perusahaan yang kompleks di berbagai yurisdiksi. Sementara itu, otoritas pajak sering kali kekurangan modal sosial dan budaya untuk memahami serta menangani strategi-strategi agresif tersebut.

Selain itu, ketergantungan wajib pajak besar pada penasihat pajak dengan pendekatan agresif menambah tantangan. Penasihat pajak sering kali membantu perusahaan menemukan celah dalam regulasi yang memungkinkan mereka untuk mengurangi beban pajak. Tanpa sistem pengawasan yang efektif, praktik ini terus berlanjut dan merugikan penerimaan pajak negara.

Untuk mengurangi kesenjangan ini, otoritas pajak perlu berinvestasi dalam teknologi modern untuk meningkatkan kapasitas pengawasan, seperti penggunaan kecerdasan buatan dan analisis data besar. Selain itu, kerja sama dengan lembaga internasional untuk meningkatkan akses terhadap informasi keuangan global dapat membantu otoritas pajak menyeimbangkan posisi mereka dengan perusahaan multinasional.

4. Persaingan Arena Global

Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam menjaga daya saingnya di arena global sambil tetap menerapkan kebijakan perpajakan yang ketat. Salah satu risiko utama adalah arbitrase pajak, di mana perusahaan multinasional memindahkan laba mereka ke negara-negara dengan aturan CFC yang lebih longgar atau tanpa aturan sama sekali. Hal ini dapat mengurangi daya saing Indonesia dalam menarik investasi asing langsung (FDI).

Penyesuaian dengan perkembangan global, seperti inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) OECD dan Pilar 2 yang mengusulkan pajak minimum global, menjadi tantangan lainnya. Indonesia perlu memastikan bahwa kebijakan CFC-nya sejalan dengan standar internasional, tetapi tanpa mengorbankan daya tariknya sebagai lokasi investasi. Keseimbangan ini memerlukan kebijakan yang cerdas dan fleksibel.

Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah perlu memperkuat kolaborasi internasional, misalnya melalui perjanjian multilateral yang mendukung penerapan kebijakan CFC secara konsisten di berbagai negara. Selain itu, memberikan insentif kepada perusahaan yang mematuhi aturan perpajakan dan tetap berinvestasi di Indonesia dapat menjadi solusi untuk menjaga daya saing global sambil mematuhi prinsip-prinsip perpajakan internasional.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Strategi Mengoptimalkan Potensi CFC

1. Transformasi Habitus

Transformasi habitus wajib pajak adalah langkah awal yang sangat penting untuk mengoptimalkan potensi kebijakan CFC. Edukasi perpajakan harus dirancang untuk meningkatkan literasi pajak masyarakat dan perusahaan, khususnya dalam memahami dampak positif dari kepatuhan pajak terhadap perekonomian negara. Kampanye yang menonjolkan pentingnya kontribusi pajak dalam pembangunan dapat membantu mengubah pola pikir wajib pajak.

Selain itu, insentif pajak dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong perubahan perilaku. Misalnya, memberikan keringanan pajak kepada perusahaan yang secara sukarela mendeklarasikan pendapatan dari entitas asing mereka dapat menciptakan iklim kepatuhan yang lebih kondusif. Insentif ini juga dapat mendorong perusahaan multinasional untuk lebih transparan dalam pelaporan keuangan mereka.

Pendekatan lain adalah dengan mengintegrasikan pendidikan perpajakan ke dalam kurikulum pendidikan tinggi, khususnya untuk program studi bisnis dan akuntansi. Hal ini bertujuan untuk membangun habitus pajak yang positif sejak dini, sehingga generasi mendatang lebih sadar akan pentingnya kepatuhan pajak dalam mendukung pembangunan negara.

2. Penguatan Kapital

Investasi dalam infrastruktur teknologi menjadi prioritas untuk memperkuat kapital otoritas pajak dalam mengimplementasikan kebijakan CFC. Penggunaan teknologi big data dan kecerdasan buatan dapat membantu otoritas pajak menganalisis pola transaksi lintas negara secara efisien. Selain itu, sistem pengawasan otomatis dapat mendeteksi potensi penghindaran pajak sejak dini.

Modal sosial juga perlu diperkuat melalui kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta. Pemerintah dapat membangun kemitraan dengan organisasi internasional dan perusahaan teknologi untuk meningkatkan kapasitas teknis dan operasional otoritas pajak. Kolaborasi ini juga dapat mencakup pelatihan bagi petugas pajak untuk memahami strategi penghindaran pajak yang rumit.

Penguatan kapital simbolik, seperti peningkatan kredibilitas otoritas pajak melalui transparansi dan konsistensi dalam penegakan hukum, juga penting. Ketika wajib pajak melihat bahwa otoritas pajak memiliki integritas dan kapasitas yang memadai, mereka cenderung lebih patuh dan kooperatif.

3. Pengelolaan Arena

Arena perpajakan, sebagai ruang interaksi antara aktor-aktor dengan kepentingan yang berbeda, perlu dikelola secara strategis untuk memastikan keadilan dan efisiensi. Penegakan hukum yang tegas, terutama terhadap kasus penghindaran pajak, dapat menciptakan efek jera bagi wajib pajak yang tidak patuh. Namun, penegakan hukum ini harus disertai dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan transparan.

Pengawasan lintas negara menjadi elemen kunci dalam pengelolaan arena perpajakan. Indonesia perlu memperkuat kerja sama internasional melalui inisiatif seperti Automatic Exchange of Information (AEoI) dan forum-forum internasional lainnya. Dengan akses ke data keuangan global, otoritas pajak dapat lebih mudah melacak transaksi yang mencurigakan dan menegakkan kebijakan CFC.

Reformasi birokrasi juga diperlukan untuk meningkatkan efisiensi administrasi pajak. Proses administrasi yang lebih sederhana dan transparan akan memudahkan wajib pajak untuk mematuhi aturan, sekaligus mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang oleh oknum tertentu. Langkah-langkah ini dapat memperkuat posisi Indonesia dalam arena perpajakan global.


Kesimpulan

Peluang dan tantangan dalam penerapan kebijakan Controlled Foreign Corporation (CFC) di Indonesia dapat dijelaskan melalui kerangka teori PRAKSIS Pierre Bourdieu, yang mengintegrasikan konsep Habitus, Kapital, dan Arena. Kebijakan CFC menghadirkan peluang besar untuk meningkatkan penerimaan pajak negara dan mengurangi praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Namun, tantangan yang melibatkan pola pikir wajib pajak, kesenjangan sumber daya, dan dinamika global memerlukan perhatian khusus agar kebijakan ini berjalan efektif.

Habitus wajib pajak memainkan peran penting dalam menentukan tingkat keberhasilan kebijakan ini. Dengan pola pikir yang cenderung mencari celah regulasi untuk efisiensi pajak, banyak perusahaan memilih untuk menghindari kepatuhan. Kesenjangan kapital, baik dalam bentuk teknologi maupun modal sosial, juga menghambat otoritas pajak untuk bersaing secara setara dengan entitas besar yang memiliki sumber daya melimpah. Arena perpajakan global yang terus berkembang menciptakan tantangan tambahan dalam menyeimbangkan kebutuhan domestik dengan dinamika internasional.

Oleh karena itu, sinergi antara regulasi domestik dan internasional sangat penting untuk mengoptimalkan kebijakan CFC. Langkah ini membutuhkan penguatan regulasi, peningkatan kapasitas sumber daya otoritas pajak, dan transformasi pola pikir wajib pajak. Dengan strategi yang tepat, kebijakan ini dapat menjadi alat yang efektif dalam menciptakan keadilan perpajakan sekaligus menjaga daya saing Indonesia di arena global.

Untuk mengatasi tantangan kebijakan CFC, penguatan regulasi domestik menjadi langkah prioritas. Pemerintah perlu menyederhanakan aturan yang kompleks dan memperkuat pengawasan terhadap perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia. Penegakan hukum yang konsisten dan transparan juga dapat meningkatkan kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas perpajakan. Regulasi yang lebih adaptif terhadap perubahan global, seperti penerapan pajak minimum global, juga harus diintegrasikan untuk memastikan daya saing tetap terjaga.

Kolaborasi antarnegara dalam menghadapi tantangan global juga menjadi rekomendasi penting. Indonesia perlu memperkuat kerja sama dengan organisasi internasional, seperti OECD, untuk memanfaatkan mekanisme pertukaran informasi otomatis dan standar perpajakan internasional. Kolaborasi ini tidak hanya akan membantu menutup celah penghindaran pajak tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama di arena perpajakan global.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Referensi :

Bourdieu, P. (1990). The logic of practice (R. Nice, Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1980)

Bourdieu, P., & Wacquant, L. J. D. (1992). An invitation to reflexive sociology. University of Chicago Press.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2019). Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun