Tanggal 17 Agustus kita merayakan HUT Republik Indonesia ke 74 tahun sedangkan tanggal 7 September nanti kota Ambon memasuki usianya yang ke 444 tahun. Alangkah baiknya dua momen penting ini dibarengi dengan refleksi terhadap perkembangan kebudayaan di bumi raja-raja beberapa dekade lalu pasca kemerdekaan. Ini penting dilakukan untuk mengevaluasi masa lalu sehingga kita akan semakin lebih baik membangun kota Ambon dan Maluku dalam menggapai cita-cita kemerdekaan.
Bila menengok perkembangan kebudayaan di kota Ambon dan sekitarnya beberapa dekade lalu pasca kemerdekaan kita akan menemukan fenomena budaya pada waktu itu. Masuknya pengaruh modernisasi pasca kemerdekaan selain mengubah cara hidup masyarakat tradisional ke masyarakat industri juga memunculkan sikap diskriminatif dan penolakan terhadap kebudayaan ras Melanesia di Maluku.
Bagi sebagian besar dari kita yang tinggal di kota Ambon dan sekitarnya pada waktu itu mungkin pernah mendengar atau melontarkan kalimat : ale su kayak suku Alifuru saja atau A tabrak dalam muka kamorang seng tahu, dasar manusia tinggal di belakang tanah. Penggunaan kata suku Alifuru dan belakang tanah merupakan sindiran halus untuk mereka yang tinggal jauh dari perkotaan - menetap di pelosok daerah terpencil atau pedalaman. Karena tinggal di wilayah seperti itu maka mereka dianggap tidak berpendidikan atau memiliki pola pikir yang belum maju.
Salah satu penyebab dilontarkannya pandangan setreotip seperti itu karena kebudayaan Alifuru maupun mereka yang dikatakan tinggal belakang tanah belum mengenal tulis baca dengan aksara sebagaimana yang diajarkan dalam pendidikan modern.
Pengertian aksara  di sini mengacu dan hanya terbatas pada  tiga jenis aksara yaitu : huruf (A - Z), angka (1, 2, 3 dst) dan aksara khusus (/ ' # ^ @ = +,  dll). Mengacu dan hanya dibatasi pada kebudayaan tulis baca dengan aksara ini karena pada waktu itu dianggap lebih maju dalam pendidikan modern.
Di sisi lain, penemuan teknologi dan kemajuan sains modern seperti kilauan berlian yang sangat menakjubkan pada waktu itu. Keterpesonaan pada perkembangan teknologi dan sains modern di kota Ambon dan sekitarnya beberapa dekade lalu pasca kemerdekaan lambat laun mengakibatkan terjadinya penolakan terhadap unsur-unsur kebudayaan ras Melanesia yang terdapat dalam mitos, tradisi lisan, ritual adat, takhayul dan lain sebagainya. Salah satu penyebab terjadinya penolakan itu karena dianggap tidak rasional atau tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dalam pendidikan modern.
Karena faktor-faktor itulah maka kebanyakan dari kita yang sedang dan telah mengenyam pendidikan modern berpikir penting untuk melakukan gerakan pemberantasan buta aksara. Tujuannya, agar ras Melanesia di Maluku keluar dari kehidupan primitif, terbelakang, kolot, terasing dan liar.
Dilontarkannya pandangan stereotip oleh sebagian dari kita dan pihak asing, terjadinya penolakan serta dilakukan gerakan pemberantasan buta aksara merupakan fenomena budaya yang terjadi pada waktu itu. Â
Apakah fenomena budaya yang memunculkan sikap seperti itu memang benar demikian, sehingga bisa dibenarkan gerakan pemberantasan buta aksara yang bertujuan untuk membawa ras Melanesia di Maluku keluar dari kehidupan primitif, terbelakang, kolot, terasing dan liar -- karena memiliki pola pikir yang belum maju, ataukah hal itu justru tidak benar ?
Marilah kita sejenak merefleksikan kembali fenomena budaya yang memunculkan sikap itu dengan berpijak pada perkembangan kebudayaan-kebudayaan besar lainnya di dunia.
Kebudayaan Tanpa Aksara
Beberapa catatan tentang kebudayaan di negeri timur menjelaskan hal yang berbeda dengan pemahaman sebagian besar dari kita. Dijelaskan bahwa sebuah kebudayaan bisa mengembangkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dengan cara lain. Artinya, tidak selalu melalui tulis baca dengan aksara dalam pendidikan modern.
William P. Malm (1967) menjelaskan masyarakat Aborijin Australia yang belum  mengenal tulisan menyampaikan pengetahuan, nilai-nilai moral, aturan hidup dan lain sebagainya melalui tradisi lisan. Seorang Aborijin Australia yang masih bayi akan mendapatkan semangat untuk menari dan menyanyi, pada saat-saat tertentu setiap harinya. Pada masa pubertas (remaja), ia pertama kali belajar nyanyian-nyanyian yang bersifat keturunan dan sejarah kelompoknya. Setelah menikah dan masuk dalam tanggungjawab kelompoknya, ia dibimbing melalui nyanyian-nyanyian khusus yang menjadi pusat dari pendidikannya. Pada saat sudah tua  ia harus menguasai nyanyian-nyanyian rahasia dan sakral dari kelompoknya.
Matius Ali (2013) menjelaskan ajaran Weda yang dikenal sebagai sruti artinya ajaran yang diperoleh melalui pendengaran  atau 'wahyu' (what is revealed). Selama ribuan tahun ajaran Weda diturunkan secara lisan. Ajaran Weda dulunya hanya diberikan kepada para rishi, arif dan bijaksana dalam bentuk suara.
Roder (1967) membantu kita memahami dengan baik kebudayaan tanpa aksara ras Melanesia di Maluku. Secara tersirat Roder menjelaskan bahwa seperangkat pengetahuan dari hasil perenungan yang panjang tentang hubungan manusia dengan sesama, manusia dengan alam (natural) dan luar alam (supernatural) dilukiskan di goa-goa Maluku melalui lukisan burung, tangan, manusia, perahu, matahari, ikan dan lain-lain.
Penjelasan Roder sejalan dengan syair-syair yang disenandungkan dalam bahasa tanah suku Alifuru. Suku Alifuru menggunakan bahasa tanah atau yang dianggap sama dengan kapata (tradisi lisan) sebagai media pendidikan. Penyebaran pengetahuan tentang sejarah kehidupan dan perkembangan masyarakat, asal usul, persekutuan, perdamaian, kebersamaan, persaudaraan, dan lingkungan hidup dan lain sebagainya disampaikan melalui tradisi lisan itu. Hal ini bisa kita jumpai juga dalam tradisi lisan suku Kei -- suku ini sering disebut sebagai orang belakang tanah pada waktu itu.
Nyanyian adat yang disenandungkan dalam kapata totobuang Alifuru berbunyi : mae pisi eko yane ou ouro, hekai jane ia rahi rahiro, epira jo pisi eko hi iro hala lo, emisi jo pisi eko nihi elo (artinya : Â hidup harus seperti ikan sembilan, selalu bersatu dan tak pernah berpisah. Bersama-sama bergandengan tangan dalam suka dan duka).
Di Kei disenandung dalam nyanyian adat snehat berbunyi : edo welka leam roro, nung ded u wele e eleanlah roro wo, ibokah nung ded ka yilat mas we (artinya : jalan ini masih panjang berbuat kebaikanlah. Itu jalan leluhur yang berlapis emas yang harus dilakukan).
Bukti-bukti empirik itu memberikan penjelasan bahwa membangun sebuah kebudayaan dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran bisa dilakukan dengan cara lain. Melalui suara, gambar, warna, gerakan tubuh, lukisan dan lain sebagainya itu bisa dilakukan.
KesimpulanÂ
Dalam kenyataannya, supremasi rasio yang digaungkan zaman modern yang awalnya begitu menakjubkan dan dianggap sebagai tanda kemajuan umat manusia lalu digencarkan melalui teknologi dan sains modern kini justru memunculkan berbagai persoalan misalnya : pemanasan global, naiknya permukaan air laut, kerusakan lingkungan, krisis pangan dan kemanusiaan, petarung kapital, penjilat kekuasaan dan lain sebagainya. Sampai hari ini pun sejumlah kritik masih terus dilontarkan para pemikir dunia terhadap kegagalan zaman modern akibat mengedepankan supremasi rasio.
Kegagalan zaman modern akibat tindakan semena-mena terhadap manusia dan alam serta mengabaikan hal-hal yang gaib karena supremasi rasio justru tidak mendominasi kebudayaan tanpa aksara ras Melanesia di Maluku. Secara garis besar justru mengajarkan agar menjaga keharmonisan hubungan dengan Sang Pencipta, sesama, dan alam.
Untuk mengatasi berbagai persoalan zaman modern pasca kemerdekaan maka kebudayaan ras Melanesia di Maluku harus dihidupkan kembali. Dihidupkan kembali bukan berarti ingin mengajak kita semua untuk membangun kebudayaan tanpa menggunakan aksara. Bukan itu, tetapi menggunakan aksara itu untuk menulis dengan jujur kebudayaan ras Melanesia di Maluku, yach menulisnya dengan kejujuran.
Kejujuran yang mendorong tumbuhnya kesadaran bersama bahwa kebudayaan tanpa aksara yang dibangun nenek moyang ras Melanesia di Maluku berabad-abad lalu memiliki juga kebaikan dan kebenaran. Bukan justru melumpuhkan kesadaran bersama yang mengakibatkan munculnya sikap diskriminatif lalu ditolak karena dianggap primitif, terbelakang, kolot, terasing dan liar.
Penting dilakukan agar masa lalu yang terbungkus kebaikan dan kebenaran terus menerangi perjalanan anak cucu ras Melanesia membangun kota Ambon dan Maluku dalam menggapai cita-cita kemerdekaan. Secara lebih luas lagi, membantu masyarakat dunia mengatasi berbagai persoalan yang muncul akibat modernisasi yang telah mencabik-cabik nilai-nilai kemanusiaan dan alam serta lain sebagainya.
Pertanyaan reflektif yang harus kita renungan bersama: apakah kita harus terus mempermasalahkan maju dan tak majunya sebuah kebudayaan ? ataukah kita harus mulai memikirkan bagaimana mendesain kebudayaan yang baik dan benar dengan mempertimbangkan kekurangan dan kelebihan setiap zaman  untuk meningkatkan kualitas kita sebagai makhluk budaya ? Karena apa yang menurut sebagian besar dari kita sebagai kemajuan ternyata membawa kemunduran, begitu juga sebaliknya.
Akhir kata, semoga dengan bertambah usia negara kita dan kota Ambon, tidak bertambah juga ketakjuban pada zaman modern yang akhirnya membuat kita terlena serta kepikunan terhadap kebaikan dan kebenaran yang terdapat dalam kebudayaan tanpa aksara ras Melanesia di Maluku dan wilayah lainnya di nusantara. Dirgahayu HUT Republik Indonesia ke 74 dan kota Ambon ke 444 .
* Tulisan ini diterbitkan di media online Satu Maluku tanggal 16 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H