Beberapa catatan tentang kebudayaan di negeri timur menjelaskan hal yang berbeda dengan pemahaman sebagian besar dari kita. Dijelaskan bahwa sebuah kebudayaan bisa mengembangkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dengan cara lain. Artinya, tidak selalu melalui tulis baca dengan aksara dalam pendidikan modern.
William P. Malm (1967) menjelaskan masyarakat Aborijin Australia yang belum  mengenal tulisan menyampaikan pengetahuan, nilai-nilai moral, aturan hidup dan lain sebagainya melalui tradisi lisan. Seorang Aborijin Australia yang masih bayi akan mendapatkan semangat untuk menari dan menyanyi, pada saat-saat tertentu setiap harinya. Pada masa pubertas (remaja), ia pertama kali belajar nyanyian-nyanyian yang bersifat keturunan dan sejarah kelompoknya. Setelah menikah dan masuk dalam tanggungjawab kelompoknya, ia dibimbing melalui nyanyian-nyanyian khusus yang menjadi pusat dari pendidikannya. Pada saat sudah tua  ia harus menguasai nyanyian-nyanyian rahasia dan sakral dari kelompoknya.
Matius Ali (2013) menjelaskan ajaran Weda yang dikenal sebagai sruti artinya ajaran yang diperoleh melalui pendengaran  atau 'wahyu' (what is revealed). Selama ribuan tahun ajaran Weda diturunkan secara lisan. Ajaran Weda dulunya hanya diberikan kepada para rishi, arif dan bijaksana dalam bentuk suara.
Roder (1967) membantu kita memahami dengan baik kebudayaan tanpa aksara ras Melanesia di Maluku. Secara tersirat Roder menjelaskan bahwa seperangkat pengetahuan dari hasil perenungan yang panjang tentang hubungan manusia dengan sesama, manusia dengan alam (natural) dan luar alam (supernatural) dilukiskan di goa-goa Maluku melalui lukisan burung, tangan, manusia, perahu, matahari, ikan dan lain-lain.
Penjelasan Roder sejalan dengan syair-syair yang disenandungkan dalam bahasa tanah suku Alifuru. Suku Alifuru menggunakan bahasa tanah atau yang dianggap sama dengan kapata (tradisi lisan) sebagai media pendidikan. Penyebaran pengetahuan tentang sejarah kehidupan dan perkembangan masyarakat, asal usul, persekutuan, perdamaian, kebersamaan, persaudaraan, dan lingkungan hidup dan lain sebagainya disampaikan melalui tradisi lisan itu. Hal ini bisa kita jumpai juga dalam tradisi lisan suku Kei -- suku ini sering disebut sebagai orang belakang tanah pada waktu itu.
Nyanyian adat yang disenandungkan dalam kapata totobuang Alifuru berbunyi : mae pisi eko yane ou ouro, hekai jane ia rahi rahiro, epira jo pisi eko hi iro hala lo, emisi jo pisi eko nihi elo (artinya : Â hidup harus seperti ikan sembilan, selalu bersatu dan tak pernah berpisah. Bersama-sama bergandengan tangan dalam suka dan duka).
Di Kei disenandung dalam nyanyian adat snehat berbunyi : edo welka leam roro, nung ded u wele e eleanlah roro wo, ibokah nung ded ka yilat mas we (artinya : jalan ini masih panjang berbuat kebaikanlah. Itu jalan leluhur yang berlapis emas yang harus dilakukan).
Bukti-bukti empirik itu memberikan penjelasan bahwa membangun sebuah kebudayaan dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran bisa dilakukan dengan cara lain. Melalui suara, gambar, warna, gerakan tubuh, lukisan dan lain sebagainya itu bisa dilakukan.
KesimpulanÂ