Mohon tunggu...
Julius Russel
Julius Russel Mohon Tunggu... Human Resources - Humanis

Makhluk Pemuja Simbol Bernama Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Kebudayaan Tanpa Aksara Ras Melanesia di Maluku Menyambut HUT RI Ke 74 dan HUT Kota Ambon 444

17 Agustus 2019   20:52 Diperbarui: 17 Agustus 2019   21:52 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kenyataannya, supremasi rasio yang digaungkan zaman modern yang awalnya begitu menakjubkan dan dianggap sebagai tanda kemajuan umat manusia lalu digencarkan melalui teknologi dan sains modern kini justru memunculkan berbagai persoalan misalnya : pemanasan global, naiknya permukaan air laut, kerusakan lingkungan, krisis pangan dan kemanusiaan, petarung kapital, penjilat kekuasaan dan lain sebagainya. Sampai hari ini pun sejumlah kritik masih terus dilontarkan para pemikir dunia terhadap kegagalan zaman modern akibat mengedepankan supremasi rasio.

Kegagalan zaman modern akibat tindakan semena-mena terhadap manusia dan alam serta mengabaikan hal-hal yang gaib karena supremasi rasio justru tidak mendominasi kebudayaan tanpa aksara ras Melanesia di Maluku. Secara garis besar justru mengajarkan agar menjaga keharmonisan hubungan dengan Sang Pencipta, sesama, dan alam.

Untuk mengatasi berbagai persoalan zaman modern pasca kemerdekaan maka kebudayaan ras Melanesia di Maluku harus dihidupkan kembali. Dihidupkan kembali bukan berarti ingin mengajak kita semua untuk membangun kebudayaan tanpa menggunakan aksara. Bukan itu, tetapi menggunakan aksara itu untuk menulis dengan jujur kebudayaan ras Melanesia di Maluku, yach menulisnya dengan kejujuran.

Kejujuran yang mendorong tumbuhnya kesadaran bersama bahwa kebudayaan tanpa aksara yang dibangun nenek moyang ras Melanesia di Maluku berabad-abad lalu memiliki juga kebaikan dan kebenaran. Bukan justru melumpuhkan kesadaran bersama yang mengakibatkan munculnya sikap diskriminatif lalu ditolak karena dianggap primitif, terbelakang, kolot, terasing dan liar.

Penting dilakukan agar masa lalu yang terbungkus kebaikan dan kebenaran terus menerangi perjalanan anak cucu ras Melanesia membangun kota Ambon dan Maluku dalam menggapai cita-cita kemerdekaan. Secara lebih luas lagi, membantu masyarakat dunia mengatasi berbagai persoalan yang muncul akibat modernisasi yang telah mencabik-cabik nilai-nilai kemanusiaan dan alam serta lain sebagainya.

Pertanyaan reflektif yang harus kita renungan bersama: apakah kita harus terus mempermasalahkan maju dan tak majunya sebuah kebudayaan ? ataukah kita harus mulai memikirkan bagaimana mendesain kebudayaan yang baik dan benar dengan mempertimbangkan kekurangan dan kelebihan setiap zaman  untuk meningkatkan kualitas kita sebagai makhluk budaya ? Karena apa yang menurut sebagian besar dari kita sebagai kemajuan ternyata membawa kemunduran, begitu juga sebaliknya.

Akhir kata, semoga dengan bertambah usia negara kita dan kota Ambon, tidak bertambah juga ketakjuban pada zaman modern yang akhirnya membuat kita terlena serta kepikunan terhadap kebaikan dan kebenaran yang terdapat dalam kebudayaan tanpa aksara ras Melanesia di Maluku dan wilayah lainnya di nusantara. Dirgahayu HUT Republik Indonesia ke 74 dan kota Ambon ke 444 .

* Tulisan ini diterbitkan di media online Satu Maluku tanggal 16 Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun