"Mas, ini rumah sakit, bukan pasar, apalagi tempat preman! Jangan teriak-teriak di sini. Banyak yang sakit dan butuh ketenangan. Dokter pasti sedang berusaha yang terbaik untuk teman Mas," katanya tegas.
Aku ingin marah, tapi setelah melihat sekitar, aku sadar bahwa yang dia katakan benar.
"Maaf, Mbak, Dokter, dan semuanya. Saya minta maaf. Saya cuma khawatir sama keadaan sahabat saya," ucapku, mencoba tenang.
Dan begitulah awal mula aku bertemu dengannya---Rani.
***
Sejak saat itu, aku dan Rani menjadi dekat. Dia adalah pengharapan di tengah kekosongan hidupku. Meski begitu, aku dan Rani sama-sama menyembunyikan rahasia.
"Thom, aku kan sudah bilang, pakai pakaian yang bagus kalau ke gereja. Masa celana pendek?" ucapnya suatu kali, kesal.
Aku hanya tertawa kecil, malas melawan. Aku memang tidak percaya Tuhan. Bagiku, Tuhan sudah mati bersama ibuku. Tapi Rani selalu bersikeras mengajakku kembali percaya. Setiap hari, dia menceramahiku soal kasih Tuhan. Aku membiarkannya, karena aku mencintainya terlalu dalam.
Segalanya terasa indah, hingga suatu hari aku tahu bahwa Rani mengidap kanker hati.
"Rani, kenapa kamu nggak kasih tahu kalau kamu kena kanker?" tanyaku sambil memeluknya erat.
"Udah, Thom. Aku nggak mau kamu khawatir," jawabnya dengan senyum lemah.