Pengalaman tentang kehidupan terkadang juga dipelajari bukan hanya dari cerita roman tetapi juga dari kisah-kisah yang absurd sekalipun.
(Julio Purba Kencana)
"Roni, ayo masuk," ucap Suster Ima membujuk Roni, seorang penyandang keterbelakangan mental. Sudah hampir empat jam Roni duduk di depan Panti Alma, tempat ia dititipkan sekaligus bersekolah. Ia duduk diam selama empat jam bukan tanpa alasan. Ia menanti dan ternyata selalu menunggu ayahnya menjemput seperti biasa.
"Kenapa lagi dia, Ima?" tanya Suster Alin, salah satu staf senior di panti tersebut.
"Ini, Suster, Roni hampir setiap hari duduk berjam-jam di depan panti tanpa mau masuk kalau tidak dipaksa dan dirayu," ucap Suster Ima dengan nada sendu menjawab pertanyaan Suster Alin.
"Sudah, biarkan saja. Kita juga sudah sering memberi pengertian kalau ayahnya sudah lama meninggal, tapi dia saja yang tidak mau percaya serta menerima kenyataan," kata Suster Alin sembari meninggalkan Suster Ima yang masih memandangi Roni.
Roni sebenarnya bukannya tidak tahu kalau ayahnya telah meninggal. Ia tahu dan sangat kehilangan sosok ayah yang begitu mencintainya. Yang Roni tidak dapat pahami adalah mengapa para saudaranya dan keluarganya yang lain sama sekali tidak peduli dengan dirinya. Seolah-olah ia dilupakan dan dianggap mati juga, sama seperti ayahnya. Jangankan untuk menjemputnya dari panti, menengok atau sekadar menanyakan kabarnya pun keluarganya yang lain tidak pernah. Padahal keinginan Roni begitu sederhana, ia hanya ingin menaburkan bunga dan berdoa di makam ayahnya.
Keadaan ini membuat Roni sadar akan kekurangan yang ia miliki, kekurangan yang membuatnya terlambat atau bahkan terbatas dalam memahami sesuatu. Namun kenapa harus dia yang menerima semuanya? Karena kekurangannya, ia dijauhi dan diasingkan bahkan oleh keluarganya sendiri. Bahkan sesekali saat Roni marah, ia memukul-mukul dirinya sendiri dan terkadang juga menangis di tengah malam hanya karena ia sedih akan keadaan dirinya yang berkekurangan.
Ia melakukan semua itu sebagai bentuk protes kenapa dia dilahirkan sebagai orang yang memiliki kekurangan. Tidak ada yang memahami Roni, tidak ada yang mengerti dia. Itulah yang Roni rasakan. Selain ayahnya, tidak ada yang benar-benar menyayangi dan menganggap dia sebagai manusia utuh seperti yang lainnya. Bahkan Suster Ima yang terlihat sangat peduli padanya pun, itu hanya sebatas rasa kasihan.
Roni memang memiliki kekurangan, tapi bukan berarti ia tidak bisa merasakan keterasingan dan kesepian. Meskipun berjiwa anak-anak, ia sudah berusia lebih dari 30 tahun. Itulah yang membuat anak-anak panti lain sulit menerima kehadiran Roni di antara mereka. Jadilah Roni yang semakin tenggelam dalam keterasingannya.
Roni juga sering bertanya-tanya di dalam hatinya pada Tuhan. Mengapa ia diciptakan hanya untuk berada dalam penderitaan? Namun pertanyaan itu lambat laun menghilang dari benaknya karena Roni sudah lelah bicara sendirian. Bahkan dalam hatinya, Roni sudah mempunyai anggapan bahwa benar Tuhan itu tidak ada.
Ketika sedang memikirkan semuanya itu, tiba-tiba Roni dikagetkan oleh sentuhan hangat dari tangan Suster Ima.
"Ayo, masuk. Ini sudah mau hujan. Besok saja kalau kamu mau duduk di sini lagi," ucap Suster Ima dengan nada sendu, bahkan hampir menangis.
Roni pun dengan berat hati meninggalkan keheningan itu dan masuk kembali ke dalam keramaian asrama yang penuh dengan keterasingan. Dalam keterasingan itu, Roni semakin mempertanyakan dirinya apakah dia sungguh dapat disebut manusia.
Hal itu bukan hanya sekali Roni lakukan, tapi berulang kali, setiap hari bahkan bertahun-tahun rutinitas mematikan itu dia jalani. Awalnya, Suster Ima yang selalu setia menemani rutinitas Roni tersebut, namun lama-kelamaan Suster Ima akhirnya juga mulai muak dengan rutinitas itu.
Hingga pada suatu hari, Pak Upi, satpam panti, lupa mengunci pintu gerbang panti asuhan. Tanpa sepengetahuan suster, Roni keluar dari panti itu. Roni merasa bebas sekali setelah keluar dari pintu gerbang itu sampai ia tidak menyadari ada mobil yang melaju dari arah sebaliknya. Ketika berbalik melihat ke arah lain, Roni terlambat menyadari dan tak bisa menghindar lagi. Roni pun tertabrak mobil itu.
Beberapa saat kemudian, Suster Ima baru menyadari bahwa Roni tidak ada di tempat biasa dia duduk. Suster Ima juga menyadari bahwa pintu gerbang sama sekali tidak terkunci. Tanpa pikir panjang, Suster Ima segera berlari dengan panik. Namun apa daya, Roni yang dicari sudah tidak ada di dunia ini lagi.
Orang-orang berkumpul mengitari tubuh Roni yang bergelimang darah dan sudah tidak bernyawa. Suster Ima mendekati tubuh itu dan memeluknya sambil menangis sejadi-jadinya. Namun yang aneh adalah jasad Roni seakan tersenyum dan seolah-olah menyambut kematian yang dibenci semua orang, seperti menyambut sahabat lama yang sudah lama ia rindukan.
Pada akhirnya, Roni pun terbebas dari absurdnya dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H