"Ayo, masuk. Ini sudah mau hujan. Besok saja kalau kamu mau duduk di sini lagi," ucap Suster Ima dengan nada sendu, bahkan hampir menangis.
Roni pun dengan berat hati meninggalkan keheningan itu dan masuk kembali ke dalam keramaian asrama yang penuh dengan keterasingan. Dalam keterasingan itu, Roni semakin mempertanyakan dirinya apakah dia sungguh dapat disebut manusia.
Hal itu bukan hanya sekali Roni lakukan, tapi berulang kali, setiap hari bahkan bertahun-tahun rutinitas mematikan itu dia jalani. Awalnya, Suster Ima yang selalu setia menemani rutinitas Roni tersebut, namun lama-kelamaan Suster Ima akhirnya juga mulai muak dengan rutinitas itu.
Hingga pada suatu hari, Pak Upi, satpam panti, lupa mengunci pintu gerbang panti asuhan. Tanpa sepengetahuan suster, Roni keluar dari panti itu. Roni merasa bebas sekali setelah keluar dari pintu gerbang itu sampai ia tidak menyadari ada mobil yang melaju dari arah sebaliknya. Ketika berbalik melihat ke arah lain, Roni terlambat menyadari dan tak bisa menghindar lagi. Roni pun tertabrak mobil itu.
Beberapa saat kemudian, Suster Ima baru menyadari bahwa Roni tidak ada di tempat biasa dia duduk. Suster Ima juga menyadari bahwa pintu gerbang sama sekali tidak terkunci. Tanpa pikir panjang, Suster Ima segera berlari dengan panik. Namun apa daya, Roni yang dicari sudah tidak ada di dunia ini lagi.
Orang-orang berkumpul mengitari tubuh Roni yang bergelimang darah dan sudah tidak bernyawa. Suster Ima mendekati tubuh itu dan memeluknya sambil menangis sejadi-jadinya. Namun yang aneh adalah jasad Roni seakan tersenyum dan seolah-olah menyambut kematian yang dibenci semua orang, seperti menyambut sahabat lama yang sudah lama ia rindukan.
Pada akhirnya, Roni pun terbebas dari absurdnya dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H