BAB I
AWAL MULA
"Karena pada dasarnya dunia ini juga mempunyai tokoh-tokoh utama.
Dan jika kau bukan tokoh utama dalam cerita di dunia,
Maka bersiaplah menerima penderitaan dunia.
Satu cara untuk melawannya adalah dengan menjadi gila."
(Julio Purba Kencana)
Pagi itu, Domi bangun seperti biasa, mencuci muka, sarapan, dan bersiap pergi ke pasar untuk bekerja sebagai kuli panggul di pasar, seperti hari-hari yang biasa ia lalui. Tidak pernah sekalipun dia mengeluh tentang hidupnya. Makan dua kali sehari, tinggal di kos-kosan kecil di sudut kota, dan upah seadanya yang harus dia bagi untuk makan dan dikirim ke kampung halamannya tidak pernah membuat Domi lupa untuk bersyukur kepada Tuhannya. Setiap hari Minggu, Domi selalu menyempatkan diri untuk mengikuti ibadat di gereja.
Semua kegiatan itu Domi lakukan setiap hari, dan tanpa terasa waktu sudah berjalan lima tahun lamanya di tempat perantauan itu. Domi yang berusia 19 tahun kini sudah berusia 24 tahun. Tidak ada yang istimewa darinya, semuanya biasa saja. Lulusan SMP, miskin, dan terpaksa mengadu nasib ke ibu kota demi penghidupan yang lebih memadai. Tidak ada yang bisa ia harapkan selain dirinya sendiri. Ayahnya sudah lama meninggal, ibunya entah di mana rimbanya, dan terpaksalah dia mengambil peran menggantikan almarhum ayahnya untuk membiayai pendidikan kedua adiknya yang kini memasuki usia remaja dan bersekolah di SMP tempat dulu ia bersekolah. Selain membiayai kedua adiknya, ia juga harus membiayai neneknya yang sudah tua. Itulah Domi sang kuli panggul dengan segala beban hidupnya.
Ketika anak-anak seusianya sibuk mengeluh karena putus cinta, beratnya skripsi, tidak ada uang untuk nongkrong di kafe, dan berbaring malas di kasur di pagi hari, Domi sudah berada di pasar untuk bekerja. Terkadang Domi juga merasa iri kepada anak-anak seusianya. Dia juga ingin seperti mereka yang pergi pagi-pagi ke kampus, menaiki motor listrik, dan nongkrong di kafe ketika malam tiba. Namun, apalah daya, Domi hanyalah kuli panggul di pasar. Dia hanya ingin melihat kedua adiknya hidup lebih baik darinya nanti.
Namun, ternyata dunia seakan tercipta untuk menyiksanya. Ketika sedang mengangkut barang-barang dari mobil ke toko swalayan, tiba-tiba sebuah truk dari arah selatan melaju dengan sangat kencang dan, tanpa dapat dihentikan, menabrak Domi yang sedang mengangkut karung beras. Seketika beras berhamburan dan Domi tergeletak bersimbah darah setelah terpental beberapa meter dari truk yang menabraknya. Tidak ada yang langsung menolong Domi. Beberapa orang sibuk menghajar sopir yang menabrak Domi, dan beberapa lagi sibuk mengabadikan tubuh Domi dan pemukulan sopir yang menabraknya dengan kamera...
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Insania", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/juliopurbakencana5183/67717cb834777c6e147fd0a2/insania
Kreator: Julio Purba Kencana
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com
>>>>
Beberapa hari kemudian, Domi akhirnya dikembalikan ke kediamannya di kampung dengan keadaan lumpuh total di seluruh tubuhnya. Domi tidak bisa terus dirawat di rumah sakit karena terkendala biaya. Biaya untuk membawa Domi ke rumah sakit sebelumnya pun berasal dari iuran para pedagang pasar yang iba kepadanya. Akhirnya, karena keterbatasan biaya dan permintaan neneknya, Domi dibawa kembali ke kampung halamannya. Sebagai makhluk yang mungkin tidak sepenuhnya dapat disebut manusia lagi.
Sesampainya ambulans di kampung, Domi disambut oleh tangis nenek dan saudara laki-lakinya yang bernama Dion. Sedangkan Dina, adiknya yang perempuan, hanya menatap kosong ke arah kakaknya yang tidak lagi bisa disebut manusia. Domi, yang hanya dapat menggerakkan matanya, memandang keluarga kecilnya dengan linangan air mata. Harapannya untuk membahagiakan kedua adik dan neneknya sirna begitu saja. Sekarang, bukannya memberi kebahagiaan bagi keluarganya, Domi merasa dia tidak lebih dari seonggok kotoran yang tidak diharapkan. Orang-orang di sekitar rumah Domi memandang iba dengan apa yang menimpa keluarga kecil itu.
Keesokan harinya, Pak RT datang membawa sumbangan warga. Begitu seterusnya hingga satu minggu telah berlalu. Setelah satu minggu, Dion berhenti bersekolah dan memutuskan untuk pergi mengadu nasib menggantikan kakaknya menjadi tulang punggung keluarga. Rumah itu juga tidak selalu ramai, dan yang bisa dilakukan Domi hanyalah menunggu neneknya memberi makan, kemudian dia akan tidur. Domi hanya bisa makan melalui selang yang diberikan dokter.
Namun, yang paling Domi benci adalah momen di pagi hari ketika Dina pergi ke sekolah, sedangkan neneknya mencuci baju di belakang rumah. Domi merasa sendirian dan kesepian. Dalam kesendiriannya, Domi mempertanyakan mengapa penderitaan seperti ini menimpanya. Mengapa Tuhan tidak mau memberikan kebahagiaan sedikit saja kepadanya? Bahkan, dia ragu apakah Tuhan memang ada. Terkadang, dia juga ragu apakah dia sungguh dapat disebut sebagai manusia.
Domi sering kali memaksa matanya untuk tertidur dan berharap semua yang ia derita saat ini hanyalah mimpi buruk. Ketika terbangun, Domi hanya memiliki satu pemikiran, "Mungkin kematian lebih indah dari yang setiap orang bayangkan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H