>>>>
Beberapa hari kemudian, Domi akhirnya dikembalikan ke kediamannya di kampung dengan keadaan lumpuh total di seluruh tubuhnya. Domi tidak bisa terus dirawat di rumah sakit karena terkendala biaya. Biaya untuk membawa Domi ke rumah sakit sebelumnya pun berasal dari iuran para pedagang pasar yang iba kepadanya. Akhirnya, karena keterbatasan biaya dan permintaan neneknya, Domi dibawa kembali ke kampung halamannya. Sebagai makhluk yang mungkin tidak sepenuhnya dapat disebut manusia lagi.
Sesampainya ambulans di kampung, Domi disambut oleh tangis nenek dan saudara laki-lakinya yang bernama Dion. Sedangkan Dina, adiknya yang perempuan, hanya menatap kosong ke arah kakaknya yang tidak lagi bisa disebut manusia. Domi, yang hanya dapat menggerakkan matanya, memandang keluarga kecilnya dengan linangan air mata. Harapannya untuk membahagiakan kedua adik dan neneknya sirna begitu saja. Sekarang, bukannya memberi kebahagiaan bagi keluarganya, Domi merasa dia tidak lebih dari seonggok kotoran yang tidak diharapkan. Orang-orang di sekitar rumah Domi memandang iba dengan apa yang menimpa keluarga kecil itu.
Keesokan harinya, Pak RT datang membawa sumbangan warga. Begitu seterusnya hingga satu minggu telah berlalu. Setelah satu minggu, Dion berhenti bersekolah dan memutuskan untuk pergi mengadu nasib menggantikan kakaknya menjadi tulang punggung keluarga. Rumah itu juga tidak selalu ramai, dan yang bisa dilakukan Domi hanyalah menunggu neneknya memberi makan, kemudian dia akan tidur. Domi hanya bisa makan melalui selang yang diberikan dokter.
Namun, yang paling Domi benci adalah momen di pagi hari ketika Dina pergi ke sekolah, sedangkan neneknya mencuci baju di belakang rumah. Domi merasa sendirian dan kesepian. Dalam kesendiriannya, Domi mempertanyakan mengapa penderitaan seperti ini menimpanya. Mengapa Tuhan tidak mau memberikan kebahagiaan sedikit saja kepadanya? Bahkan, dia ragu apakah Tuhan memang ada. Terkadang, dia juga ragu apakah dia sungguh dapat disebut sebagai manusia.
Domi sering kali memaksa matanya untuk tertidur dan berharap semua yang ia derita saat ini hanyalah mimpi buruk. Ketika terbangun, Domi hanya memiliki satu pemikiran, "Mungkin kematian lebih indah dari yang setiap orang bayangkan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H