Manusia selalu mempertanyakan dirinya, dari mana dan bagaimana ia hadir di dunia, semua pertanyaan tersebut bermuara pada pertanyaan besar mengenai eksistensi manusia.Â
Dahulu pertanyaan tentang makna keberadaan manusia hanya dapat dijawab lewat sosialisasi langsung diantara masyarakat. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman interaksi diantara sesama subjek mulai berkurang. Ditambah lagi peralihan besar-besaran kegiatan manusia dari dunia nyata ke dunia maya membuat eksistensi dan makna keberadaan manusia semakin sulit ditemukan.
Ada berbagai macam dampak yang terjadi akibat perubahan aktivitas dunia nyata ke dunia maya. Mulai dari dampak positif sampai dampak negatif, semua dampak yang ada baik positif maupun negatif itu hanya dapat berdampak sejauh subyek memaknainya sebagai dampak. Jika subjek menggunakan peralihan dunia tersebut sebagai media untuk belajar, maka dampak yang subyek tersebut terima akan berdampak positif.Â
Namun sebaliknya apabila peralihan dunia tersebut hanya dipandang sebagai tempat pelarian dari dunia nyata, maka dampak yang subyek tersebut terima akan berdampak negatif. Salah satu contoh dampak negatif yang subjek terima dari peralihan dunia ini adalah budaya viral atau viralisme.
Kata viral sendiri belum lama muncul di negara kita. Viral sendiri dapat diartikan sebagai penyebaran berita secara cepat lewat dunia digital. Akan tetapi kata vira ini perlahan-lahan mulai bertransformasi dari kata-kata menjadi budaya kemudian menjadi ideologi yang bisa kita sebut sebagai viralisme. Budaya viral atau viralisme sendiri muncul karena peralihan dunia nyata ke dunia maya atau metaverse.Â
Viralisme juga menjadi acuan utama bagi subyek yang ingin dianggap ada dan trendi. Atau lebih tepatnya viralisme menjadi sebuah tolak ukur baru bagi eksistensi manusia. Ia (manusia) akan merasa ada apabila ia dapat menjadi viral, jika ia tidak viral maka ia merasa tidak ada atau tidak eksis di dunia.
Hal ini mengingatkan saya pada salah satu ungkapan seorang filsuf yang bernama Descartes yang berbunyi "aku berpikir maka aku ada" atau "Cogito Ergo Sum". Sebuah ungkapan yang menginterpretasikan bahwa eksistensi manusia pertama-tama berawal dari kesadaran bahwa ia ada. Ia (manusia) sadar bahwa ia eksis karena itu ia dapat berada di dunia.Â
Jika ia tidak sadar, maka menurut Descartes manusia tersebut sama saja tidak eksis atau ada. Akan tetapi ungkapan mengenai kesadaran manusia ini mulai tergantikan oleh ideologi baru yang disebut viralisme tersebut.Â
Manusia tidak lagi berpikir atau sadar dalam melakukan suatu pekerjaan maupun kegiatan. Yang ia cari hanya popularitas semu yang didapatkan dari viralitas semata. Keadaan ini perlahan namun pasti juga merubah ungkapan di atas dari aku berpikir maka aku ada, menjadi aku viral maka aku ada.
Aku viral maka aku ada, sebenarnya tidak berbahaya apabila yang manusia tersebut viralkan adalah budaya berpikir kritis, edukasi, dan lain sebagainya. Namun aku viral maka aku ada, ini menjadi berbahaya jika yang manusia tersebut viralkan adalah berita bohong (hoax), ujaran kebencian, serta caci maki yang berbau sara. Atau bahkan manusia rela menghina diri sendiri demi popularitas semu belaka, lebih tepatnya yang penting eksis. Salah satu contohnya adalah Muhamad Lutfi Agizal.Â
Dilansir dari detik.com 1/11/2020, Muhamad Lutfi Agizal menjadi sorotan setelah memprotes penggunaan kata 'anjay' di channel YouTube miliknya. Dia mempersoalkan kata tersebut untuk alasan edukasi. Ia pun viral dan menjadi sasaran hujatan warganet. Orang-orang yang viral lewat jalur hujatan ini semakin hari semakin banyak jumlahnya.Â
Seperti yang baru-baru ini viral, seorang selebgram bernama Denise Chariesta yang dihujat netizen karena kontennya yang dianggap menghina orang tidak mampu. Psikolog Meity Arianty STP., M. Psi, mengungkapkan alasan seseorang rela dihujat agar bisa viral di media sosial bisa jadi karena ingin mencari perhatian atau tenar.
Berdasarkan pemaparan serta contoh-contoh kasus diatas dapat kita pahami bahwa viralisme sudah menjadi tolak ukur eksistensi manusia. Manusia sekali lagi hanya akan merasa dianggap ada apabila sudah viral.Â
Oleh karena itu, kita sebagai generasi muda penerus bangsa, sudah saatnya menyudahi pola pikir dangkal seperti ini. Kita sebagai kaum muda seharusnya menunjukan eksistensi kita lewat prestasi dan karya bukan malah menjadikan hal-hal bodoh untuk menunjukan eksistensi kita. Dan pada akhirnya mari kita bangun kesadaran bersama sebagai upaya perlawanan kita terhadap ideologi viralisme. Kembalikan mindset kita dari aku viral maka aku ada, menjadi aku berpikir maka aku ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H