Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) sudah ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) sebagai Public Health Emergency of International pada tanggal 31 Januari 2020. Dikarenakan perluasan virus yang cukup cepat dan sudah meluas keseluruh bagian negara termasuk di Indonesia sendiri. WHO juga sudah menetapkan bahwa Covid-19 sudah menjadi bagian dari pandemi, karena pandemi merupakan penyakit menular yang terikat dengan cepat di tubuh manusia dan menyebabkan banyak korban di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, virus ini sudah ditegaskan Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Maret 2020, namun tidak menutup kemungkinan ketika jumlah kasus Covid-19 sedang tinggi pada awal tahun 2020 di Cina, Indonesia sudah melakukan pembatasan-pembatasan agar virus tidak menyebar dengan cepat. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan RI pada Maret 2020 hingga Febuari 2021, jumlah kasus yang terkena virus Covid-19 di Indonesia semakin meningkat dengan cepat. Sedangkan fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia dalam menghadapi kenaikan jumlah virus tidak lah begitu siap terutama dalam sistem kesehatan dan pelayanan kesehatan.
Maka dari itu, pemerintah melakukan tindakan dengan berbagai upaya untuk menurunkan jumlah kasus yang tersebar. Salah satunya dengan menyebarkan gerakan Sosial Distancing yang mewajibkan seluruh masyarakat untuk menjaga jarak, menghindari kontak langsung dengan orang lain, dan tidak membuat kerumunan massal. Keputusan dalam membuat pembatasan sosial berskala besar juga sudah dilakukan di Indonesia dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Peraturan tesebut dikeluarkan pemerintah atas dasar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, karena karantina sendiri merupakan salah satu upaya perlindungan kesehatan untuk masyarakat guna mencegah penyebaran yang disebabkan oleh virus.
Adapun dalam beberapa hal yang dibatasi oleh Pembatasan Sosial Berskala Besar di antaranya ialah aktivitas sekolah dan bekerja yang dilakukan secara daring, kegiatan dalam melakukan ibadah, kegiatan sosial dan budaya, serta operasional transportasi umum. Dampak dari kebijakan tersebut membuat sebagian aktivitas dilakukan dari rumah, seperti para pekerja yang ditetapkan dengan adanya Work from Home dan lain sebagainya yang harus dilakukan dari rumah selama pandemi ini berjalan. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat mengeluhkan pada kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintah terutama dalam hal ekonomi karena tidak dapat bekerja seperti biasa.
Dalam hal ini, menurut survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik di Provinsi Banten status operasional pada perusahaan mengalami pemberhentian beroperasi sebanyak 9,6%, menerapkan Work from Home sebagian dan seluruh pegawai sebanyak 8,0%, dan pengurangan kapasitas produksi sebanyak 26,7% pada tahun 2020. Pengurangan jam kerja juga menjadi kebijakan yang paling banyak dilakukan oleh perusahaan, selanjutnya kebijakan dalam hal merumahkan perkerja dengan tidak dibayar dan memberhentikan pekerja dalam waktu singkat juga paling banyak dilakukan oleh perusahaan di wilayah Banten.
Dengan adanya kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintah, tidak menutup kemungkinan bahwa ada yang terkena dampak dalam hal perekonomian sehingga dapat memunculkan adanya peningkatan angka pengangguran karena kehilangan pekerjaan dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Sehubungan dengan adanya pembatasan berskala besar kebijakan ini pun menjadi problematika pada sebagaian pekerja dikarenakan adanya 1,8% Pemutusan Hubungan Kerja dengan mendapatkan pesangon dan sebanyak 13,8% Pemutusan Hubungan Kerja dengan tidak mendapatkan pesangon. Sementara itu, di Kabupaten Tangerang sendiri sudah sebanyak 239.788 jumlah pengangguran yang terkena dampak pada pandemi ini.
Adapun dalam peran terjadinya pemutusan hubungan kerja dalam hal ini berdampak langsung pada hubungan keluarga dengan kurangnya atau tidak adanya pendapatan seperti biasanya. Sehingga dalam keperluan rumah tangga mengalami penurunan dengan tidak adanya nafkah yang diberikan, dan memberikan dampak secara langsung pada hubungan keluarga dengan tidak harmonis lagi dan menimbulkan perdebatan. Dampak yang terjadi pada hubungan suami-isteri pun menjadi goyah sehingga dapat menimbulkan adanya gugatan cerai dari pihak isteri maupun pihak suami. Faktor-faktor yang mempengaruhi perpisahan pada masa pandemi dengan ditandai adanya konflik, perkelahian, pertengkaran, dan perdebatan yang ada didalam suatu hubungan suami-isteri secara terus menerus dan mengakibatkan hilangnya kepercayaan dan rasa kasih sayang.
Ketahanan keluarga juga mempunyai sifat yang berubah-ubah, namun apabila didalam suatu hubungan sering terjadi perdebatan, niat untuk mempertahankan juga akan mengalami goncangan. Pandemi Covid-19 juga menjadi dampak dalam mempertahankan suatu hubungan karena kurangnya persiapan dalam menghadapi situasi yang baru. Maka dari itu, apabila perselisihan tidak dapat dilerai, pilihan untuk berpisah menjadi pilihan alternatif yang lebih baik untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Pada masa pandemi terdapat beberapa dampak yang dirasakan oleh masyarakat, salah satunya yang sangat berpengaruh adalah masalah ekonomi. Maka tidak sedikit pula para pekerja yang menjadi tulang punggung bagi keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga menimbulkan pertengkaran yang terus menerus dan berujung pada perceraian.
Menurut Bapak Drs. Abdul Halim Zaelani selaku Hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa, alasan-alasan yang paling banyak diajukan dalam gugatan perceraian yaitu dari faktor ekonomi dan perselisihan. Faktor ekonomi terjadi karena tidak adanya nafkah yang diberikan secara terus menerus yang diawali dari kepala rumah tangga yang terkena penurunan jam kerja, adanya penurunan gaji, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Sehingga diakhiri dengan adanya perselisihan/percekcokan, dan kekerasan dalam rumah tangga.
Sedangkan, menurut George Levinger terdapat 12 keluhan yang menyebabkan terjadinya perceraian. Salah satunya adalah tidak menjalankan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak, masalah keuangan yang tidak cukup, dan adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sesuai dengan apa yang sudah penulis wawancarai dari salah satu hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa kasus perceraian paling banyak ada karena faktor ekonomi dan perselisihan secara terus menerus yang mengakibatkan hilangnya rasa percaya dan rasa kasih sayang pada hubungan suami isteri. Namun, menurut Bapak Drs. Abdul Halim Zaelani selaku Hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa perceraian yang terjadi dikarenakan adanya perselisihan dan pertengakaran tidak selamanya dapat dikabulkan jika perselisihan baru terjadi selama dua hari dan langsung mendaftar ke Pengadilan untuk meminta cerai. Permohonan dapat dikabulkan jika perselisihan sudah tidak dapat lagi didamaikan sehingga perceraian sulit dicegah. Salah satunya adalah jika perselisihan terjadi terus menerus yang menyebabkan adanya perbedaan pendapat, pertengkaran, dan percekcokan sehingga menimbulkan rasa benci dan berburuk sangka terhadap pasangan.
Selanjutnya, di masa pandemi ini juga banyaknya kasus perceraian yang diakibatkan dengan adanya faktor ekonomi. Faktor ekonomi terjadi sebab kurangnya tanggung jawab atas kewajiban rumah tangga yang dilakukan oleh salah satu pasangan suami isteri atau keduanya. Pemutusan Hubungan Kerja juga menjadi sebab akibat datangnya permasalahan dalam faktor ekonomi dengan tidak adanya penghasilan yang diberikan seperti pada biasanya. Menurut Bapak Drs. Abdul Halim Zaelani, sebenarnya Pemutusan Hubungan Kerja tidak bisa dijadikan alasan sebagaimana yang sudah tertuang pada Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Melainkan perceraian terjadi sebab adanya perselisihan tentang masalah keuangan yang terjadi terlebih dahulu karena adanya Pemutusan Hubungan Kerja.
Sebelum masa pandemi Covid-19, penerimaan perkara cerai baik cerai talak maupun cerai gugat juga tetap diterima oleh Pengadilan Agama Tigaraksa. Seperti yang sudah diketahui bahwa fungsi dari Pengadilan Agama adalah untuk memutus dan menyelesaikan perkara yang salah satunya ada dibidang perkawinan yaitu perceraian. Menurut laporan tahunan Mahkamah Agung 2021, jumlah cerai gugat lebih tinggi dari cerai talak di Pengadilan Agama seluruh Indonesia, begitu juga menurut Bapak Drs. Abdul Halim Zaelani selaku Hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa bahwa pengajuan cerai lebih banyak dilakukan oleh cerai gugat. Penyebab terjadinya adalah dikarenakan isteri merasa nafkah yang diberikan tidak terpenuhi oleh suami. Untuk melengkapi adanya peningkatan jumlah yang cukup signifikan dalam perkara cerai gugat dan cerai talak, penulis akan memberikan perbandingan jumlah cerai gugat dan cerai talak di Pengadilan Agama Tigaraksa dari tahun 2020 sampai tahun 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H