Percaya tak percaya, saya pernah melakukannya.
Bulan Desember, bulan basah. Hampir tiap hari langit menangis, menumpahkan airmata. Terkadang ditingkahi petir atau geluduk yang menggelegar.
Orang tua bilang bulan yang ujungnya ber ber, artinya bulan hujan.
Saya menikah di bulan Desember, persisnya Jum'at 3 Desember 1993. Alhamdulillah, hari itu cuaca cerah, matahari bersinar, ijab kabul lancar.
Resepsi akan dilaksanakan hari Minggu. Hari Sabtu dan hari-hari pra akad, hujan turun tiada henti. Hingga sabtu malam hujan tak jua usai. Ada kecemasan di hati emak.
Sedang lelap tidur, tengah malam emak bangunkan. Dalam kondisi setengah sadar, saya manut dibawa ke teras rumah.
Saya pikir, ini ritual  pengantin  adat melayu.
Emak berbisik di telingaku "buka celana dalammu nak, lemparkan ke atas genting, kalau bisa melewati rumah"
Saya ikuti perintah emak. Di tengah derasnya hujan, sambil mengucap Bismillah... saya lempar CD ke atas sejauh jauhnya. (Mungkin saja jatuh ke halaman tetangga).
Usai melempar, berganti pakaian, saya tidur kembali.
Menjelang subuh saya bangun, hujan mulai reda. Pagi hari hujan berhenti.
Setelah semua persiapan selesai, kami sekeluarga berangkat ke gedung. Alhamdulillah, hingga acara selesai, cuaca cerah. Kami kembali ke rumah.
Sekira 30 menit tiba di rumah. Tiba tiba terdengar suara petir dan geluduk. Laksana pintu jebol, air tumpah dari langit. Hujan turun deras sekali.
Emak bilang, "begitulah cara orang-orang tua dulu menolak (menunda) hujan, dengan melempar CD ke atas genting".
Saya manggut manggut. Meski tak paham korelasinya, faktanya hujan tak turun selama acara resepsi.
Emak saya bukan dukun, bukan pula orang yang mempunyai kemampuan supranatural untuk mengendalikan alam.
Beliau mendapat pengetahuan ini secara turun temurun, yang diwariskan dari generasi sebelumnya secara lisan.
Tidak ada pemanggilan roh. Entah mantra apa yang emak baca dalam hati. Semua terlihat alami dengan keyakinan penuh ke Maha Pencipta.
Terkait dengan cerita saya, adalah Mak Rara, seorang pawang hujan yang kemarin, turun ke lintasan motoGP Mandalika dengan mangkok logamnya.
Ia melakukan ritual memindahkan/menangkal hujan dari area racing motoGP. Aksinya berhasil. "It worked" ujar motoGP di twitter.
Dari kemarin, perdebatan prosesi menangkal hujan ala Mak Rara berlangsung sengit. Rakyat dunia maya baku hantam.
Kelompok tertentu menilai perbuatannya syirik, haram, klenik, dukun. Sementara yang lain menganggapnya bagian dari budaya, kearifan lokal.
Dari perspektif Hak Kekayaan Intelektual (HKI) apa yang dilakukan oleh emak saya dan mak Rara merupakan suatu Pengetahuan Tradisional (PT)
PT merupakan bentuk konkret kearifan lokal masyarakat yang dipegang teguh oleh suatu komunitas budaya tertentu.
Ia bersifat "religio-magis agraris rural traditional". Berkembang dari pewarisan dan pengulangan dan bukan kebaruan, diampu secara komunal.
Terkadang orang menilai rendah pengetahuan tradisional padahal itu bagian dari ekspresi budaya tradisional yang merupakan bagian dari pembentuk identitas bangsa.
Sayangnya saat ini, rasa memiliki secara kolektif terhadap budaya dan pengetahuan tradisonal mulai terkikis dengan budaya gurun yang panas, penuh amarah dan tidak mencerminkan identitas bangsa.
Yuk, sudahi hujatannya. Kembali ke nusantara dengan segala ragam budayanya nan indah. Yang menjadikan masyarakat Indonesia manusia ramah, beradab, luhur budi dan penuh toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H