Mohon tunggu...
Julie Chou
Julie Chou Mohon Tunggu... Jurnalis - short strory author

aku adalah apa yang kamu baca, yang kamu kira, yang kamu suka, juga yang tidak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Bulan Kemerdekaan RTC ] Tanah, Air dan Bendera

18 Agustus 2016   03:58 Diperbarui: 18 Agustus 2016   04:01 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
rd doc kedung tumpang

17 Agustus 2016

“Hati-hati Ra, jalannya licin.” Rama menoleh ke arah gadis yang dengan susah payah menyusulnya, melewati batu-batu karang yang licin oleh sapuan air laut. Akhirnya dia kembali menghampiri gadis itu, mengulurkan tangan ke arahnya.

“Ngapain sih ikut-ikutan naik?”

“Aku udah ambil foto sebelah sana.” Hara menunjuk ke sebuah kolam alami yang berbatasan langsung dengan laut, melambaikan tangan ke arah keempat temannya.

“Yaudah, tapi jangan harap aku bakal megangin tanganmu terus.” Rama melepaskan genggamannya dari tangan Hara, tersenyum menggoda. Lalu, dia kembali duduk menghadap laut.

Hara tidak pernah ambil pusing dengan sikap Rama, temannya yang satu itu dari dulu memang sedikit aneh. Tetapi, Rama sebenarnya sangat baik, meski dia lebih senang berkata-kata sinis daripada manis. Mungkin sebab itu juga dia sulit bertahan lama dengan pacar-pacarnya. Hara tiba-tiba tersenyum sendiri, memikirkan seandainya saat Rama sedang menemani pacarnya memilih baju, saat itu pacarnya berharap Rama akan memujinya bahwa baju itu bagus atau pacarnya terlihat cantik sekali. Tetapi, Rama justru berkata sebaliknya, lalu pacarnya marah dan minta putus. Hara geleng-geleng kepala, lalu melangkah menyusul Rama, melewatinya yang sedang duduk menghadap pantai, berdiri tepat di depannya.

“Ram, pantai ini manis banget ya. Nggak kayak kamu.” Hara menoleh dan nyengir ke arah Rama.

“Duduk! Kalau kamu berdiri di situ jadi nggak manis banget tempat ini.” Rama menarik pergelangan tangan gadis itu, lembut dan kuat.

Hara menurut, duduk di sebelah Rama, menghadap ke arah laut dengan airnya yang biru kehijauan. Bau asin air laut memenuhi dadanya. Tidak rugi dia membujuk Rama untuk mengajaknya ke tempat ini. Tidak rugi dia menempuh perjalanan yang cukup melelahkan dari Surabaya ke Tulungagung demi melihat pantai indah ini, Kedung Tumpang. Sebuah pantai dengan air laut biru kehijauan yang memilki kolam alami yang berbatasan langsung dengan laut.

Dan yang lebih membuat Hara senang, surga tersembunyi ini ada di Indonesia, tanah airnya tercinta. Tepat saat Indonesia merayakan hari kemerdekaannya, dia duduk menghadap salah satu laut Indonesia, dengan rasa bangga dan cinta. Gadis dua puluh empat tahun itu tidak akan pernah merasa iri ketika teman-temannya membayar mahal untuk perjalanan ke luar negeri. Tetapi ketika dia melihat acara televisi yang menyuguhkan keindahan Indonesia, dia selalu merasa harus mengunjungi tempat itu, suatu hari nanti. Sebab Indonesia seperti tidak akan pernah kehabisan tempat indah yang patut dikunjungi.

***

“Gimana menurutmu tempat ini?”

“Bagus,” Hara memamerkan dua jempol tangannya ke depan. “Apa kamu tahu Ram, yang selalu aku takutkan setiap aku melihat tempat seindah ini?”

Rama menggeleng, karena dia yakin tidak akan pernah tahu, tidak akan bisa menebak apa yang ada di pikiran gadis itu. Dia kadang seperti hutan, kadang seperti ombak, susah ditebak, pikirnya.

“Aku takut, generasi selanjutnya tidak pernah melihat tempat ini, seperti saat kita melihat tempat ini sekarang.”

“Maksudmu, masalah pengelolaan tempat-tempat wisata ini?”

“Bisa jadi demikian, semakin tempat itu terkenal, semakin banyak yang datang, semakin sulit menjaganya. Bukankah manusia selalu dijajah penemuannya sendiri? Manusia-manusia semakin pintar, membuat alat-alat yang mempermudah mereka. Tetapi, alat itu juga yang membuat mereka pasif. Manusia membuat game, padahal game tersebut yang pada akhirnya mengendalikan manusia. Manusia membuat penelitian di sebuah pulau, penelitian berbahaya, yang pada akhirnya membuat pulau itu mati. Manusia meneliti setiap virus, setiap penyakit, membuat vaksin, lalu virus dan bakteri semakin kuat, membuat vaksin lagi, menyebar wabah baru, sampai tubuh tidak mampu membentuk antibodi sendiri. Penemuan-penemuan itu selain membawa dampak positif, tetapi juga membuat manusia pasif, perlahan mengikis interaksi dan empati, termasuk pada alam. Padahal, alam butuh waktu yang sangat lama untuk menyembuhkan diri, manusia tidak akan mampu meniru apa yang terjadi secara alami. Manusia adalah predator yang lebih mengerikan daripada hewan.” Hara menatap ke depan, jauh melewati batas laut itu sendiri, seolah ia tidak sedang berbicara dengan lelaki di sebelahnya.

Rama menangkap kilatan biru kehijauan dari selaput pelangi Hara, dia seperti laut, dengan atau tanpa ombak, tetap susah ditebak dan mematikan. Dia seperti pohon yang berjajar rapat membentuk hutan, hijau, teduh, meski beraneka macam. Dia seperti unsur pembangun, ibu dari alam, yang selalu khawatir atas keselamatan anak-anaknya. Dia mencintai anak-anaknya, dan aku mencintainya...

18 Agustus 2045

Pagi ini, aku duduk bersama ibuku. Dia sedang asik dengan tanaman-tanamannya di “kebun mungil” kami. Alam telah menyisakan sedikit sekali warna hijau-biru untuk kami. Ibuku, Hara, dulu sering bepergian ke tempat-tempat indah di tanah air. Mengabadikan gambarnya, menuliskannya, kadang tulisannya mirip cerpen remaja yang penuh cinta, kadang juga lebih mirip sebuah penglihatan ke masa depan.

Hari ini tepat sehari setelah satu abad kemerdekaan kami. Mau dengar bagaimana kabarnya? Banjir di Jakarta tetap menjadi masalah utama, usaha apa pun tidak banyak mengurangi. Salah pemimpinnya kah? Tidak, saudara-saudara kami masih belum juga mau meraba ke dalam diri masing-masing. Masih belum juga terbangun dari tidur panjangnya, untuk lebih peduli dengan sekitar. Dan akhirnya pusat pemerintahan kembali dipidahkan ke Jogja, lalu kemacetan yang sama sudah menular dari Jakarta ke Jogja, lebih parah malah.

Lalu, kebakaran hutan juga belum merebut banyak perhatian pemerintah. Banyak daerah yang diselimuti kabut abadi, kabut asap. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bayi dan lansia bisa bertahan di sana, memilukan rasanya, membayangkan setipis apa oksigen di sana. Dan mereka saling berebut oksigen tipis itu untuk tetap hidup.

Dan tempat tinggal kami yang dulu, Surabaya. Sekarang sudah melepaskan diri dari pulau Jawa, serupa titik kecil di peta. Sebabnya adalah lumpur di Sidoarjo tidak kunjung surut juga. Tanggung-tanggul semakin tinggi, semakin lebar, mengusir warga pelan tapi pasti. Lumpur sudah bercampur dengan air sungai, air laut, merubah warna air menjadi serupa susu coklat. Kami kebingungan mencari air bersih dan aman, maka banyak ilmuwan didatangkan, meneliti dan berusaha menciptakan alat yang mampu membuat air bersih mengalir di setiap rumah. Ilmuwan-ilmuwan itu juga saudara sebangsa kami, yang memilih melanjutkan pendidikan di luar negeri, menetap di sana, memperoleh identitas baru sebagai warga negara asing.

Di tengah-tengah sana, orang masih meributkan soal kepala negara, seolah-olah semua yang terjadi sekarang adalah salah presiden. Dari dulu aku rasa, soal siapa yang memimpin selalu menimbulkan pro-kontra, sejak jaman kerajaan pertama berdiri, mungkin juga sejak manusia pertama kali turun ke bumi. Sebab sifat alamiah manusia adalah ingin menjadi pemimpin, tanpa ingin dipimpin, tanpa ingin diperintah.

Warna biru-hijau di tanah air kami semakin menipis, beberapa dari kami membentuk persekutuan, bergerak ke arah timur. Berhadapan dengan penduduk asli, mereka saling mengangkat senjata, saling menumpahkan darah, untuk memperebutkan lahan hijau, serta langit biru cerah. Banyak yang ingin memisahkan diri dari tanah air tercinta. Bukan karena hasutan dari negara-negara maju, sebab negara-negara maju sedang sibuk memikirkan cara membekukas es di kutub bumi, agar air laut tidak naik semakin tinggi dan melenyapkan kepulauan kecil yang semakin berkurang jumlahnya.

Kepala negara kami sudah kehabisan cara untuk mendatangkan produk ikan, sayur, buah dan makanan impor lain. Saling berebut dengan negara lain, sebab kekacauan, wabah dan kerusakan bukan hanya terjadi di sini. Lahan kami sudah tidak produktif lagi, orang-orang kaya berlindung di antara dinding bangunan apartemen yang kokoh dan menjulang semakin tinggi. Mereka membayar berapapun untuk satu kilogram beras, satu ikat bayam, satu kaleng ikan. Sementara orang-orang yang tidak cukup kaya, menjerit-jerit di depan istana presiden, semakin hari semakin banyak jumlahnya. Subsidi untuk apa pun sudah dihapuskan, hutang negara bukan lagi mejerat leher bangsa ini, tetapi sudah di depan lubang hidung, bangsa kami sudah megap-megap, susah bernapas.

Aku dan lebih dari dua ratus orang lainnya saat ini sedang berada di atas kapal. Aku menulis ini di bawah bendera merah putih yang kami kibarkan saat upacara kemarin siang. Bertahan hidup dengan roti kering, ikan asin, juga air asin. Entah bagaimana yang terjadi dengan manusia seratus tahun lagi, mungkin mereka akan memangsa sesamanya, sebab bumi sudah tidak mampu lagi meghasilkan apa-apa kecuali kekacauan, ketakutan. Hingga manusia terakhir akan mati sendirian, mati sebab sudah tidak ada yang bisa dimangsa. Manusia adalah predator paling mengerikan dan mematikan. Manusia adalah makhluk pintar dan bodoh sekaligus, yang menjajah diri mereka dengan penemuannya sendiri.

Ibuku bermata hijau-biru, bermata laut, juga hutan. Dia masih memiliki warna putih pada tulangnya, merah pada darahnya. Ibuku, Hara, yang berarti unsur pembangun. Hara, Ibu Pertiwiku, tanah airku. Dia ibu kita, yang selalu mencintai anak-anaknya, sudah cukup cintakah kita kepadanya?

logo rtc
logo rtc
( karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemerdekaan RTC )

Selengkapnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun