Dan tempat tinggal kami yang dulu, Surabaya. Sekarang sudah melepaskan diri dari pulau Jawa, serupa titik kecil di peta. Sebabnya adalah lumpur di Sidoarjo tidak kunjung surut juga. Tanggung-tanggul semakin tinggi, semakin lebar, mengusir warga pelan tapi pasti. Lumpur sudah bercampur dengan air sungai, air laut, merubah warna air menjadi serupa susu coklat. Kami kebingungan mencari air bersih dan aman, maka banyak ilmuwan didatangkan, meneliti dan berusaha menciptakan alat yang mampu membuat air bersih mengalir di setiap rumah. Ilmuwan-ilmuwan itu juga saudara sebangsa kami, yang memilih melanjutkan pendidikan di luar negeri, menetap di sana, memperoleh identitas baru sebagai warga negara asing.
Di tengah-tengah sana, orang masih meributkan soal kepala negara, seolah-olah semua yang terjadi sekarang adalah salah presiden. Dari dulu aku rasa, soal siapa yang memimpin selalu menimbulkan pro-kontra, sejak jaman kerajaan pertama berdiri, mungkin juga sejak manusia pertama kali turun ke bumi. Sebab sifat alamiah manusia adalah ingin menjadi pemimpin, tanpa ingin dipimpin, tanpa ingin diperintah.
Warna biru-hijau di tanah air kami semakin menipis, beberapa dari kami membentuk persekutuan, bergerak ke arah timur. Berhadapan dengan penduduk asli, mereka saling mengangkat senjata, saling menumpahkan darah, untuk memperebutkan lahan hijau, serta langit biru cerah. Banyak yang ingin memisahkan diri dari tanah air tercinta. Bukan karena hasutan dari negara-negara maju, sebab negara-negara maju sedang sibuk memikirkan cara membekukas es di kutub bumi, agar air laut tidak naik semakin tinggi dan melenyapkan kepulauan kecil yang semakin berkurang jumlahnya.
Kepala negara kami sudah kehabisan cara untuk mendatangkan produk ikan, sayur, buah dan makanan impor lain. Saling berebut dengan negara lain, sebab kekacauan, wabah dan kerusakan bukan hanya terjadi di sini. Lahan kami sudah tidak produktif lagi, orang-orang kaya berlindung di antara dinding bangunan apartemen yang kokoh dan menjulang semakin tinggi. Mereka membayar berapapun untuk satu kilogram beras, satu ikat bayam, satu kaleng ikan. Sementara orang-orang yang tidak cukup kaya, menjerit-jerit di depan istana presiden, semakin hari semakin banyak jumlahnya. Subsidi untuk apa pun sudah dihapuskan, hutang negara bukan lagi mejerat leher bangsa ini, tetapi sudah di depan lubang hidung, bangsa kami sudah megap-megap, susah bernapas.
Aku dan lebih dari dua ratus orang lainnya saat ini sedang berada di atas kapal. Aku menulis ini di bawah bendera merah putih yang kami kibarkan saat upacara kemarin siang. Bertahan hidup dengan roti kering, ikan asin, juga air asin. Entah bagaimana yang terjadi dengan manusia seratus tahun lagi, mungkin mereka akan memangsa sesamanya, sebab bumi sudah tidak mampu lagi meghasilkan apa-apa kecuali kekacauan, ketakutan. Hingga manusia terakhir akan mati sendirian, mati sebab sudah tidak ada yang bisa dimangsa. Manusia adalah predator paling mengerikan dan mematikan. Manusia adalah makhluk pintar dan bodoh sekaligus, yang menjajah diri mereka dengan penemuannya sendiri.
Ibuku bermata hijau-biru, bermata laut, juga hutan. Dia masih memiliki warna putih pada tulangnya, merah pada darahnya. Ibuku, Hara, yang berarti unsur pembangun. Hara, Ibu Pertiwiku, tanah airku. Dia ibu kita, yang selalu mencintai anak-anaknya, sudah cukup cintakah kita kepadanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H