Mohon tunggu...
Julie Chou
Julie Chou Mohon Tunggu... Jurnalis - short strory author

aku adalah apa yang kamu baca, yang kamu kira, yang kamu suka, juga yang tidak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[My Diary] Mandul

13 April 2016   22:20 Diperbarui: 13 April 2016   22:43 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="fotofc"][/caption]

Oleh : Julie Chou/24

13 Maret 2016

Dear Diary, kita bertemu lagi setelah hampir sebulan aku tak menyentuhmu. Maaf, aku sedang sibuk sekali. Hari ini aku menemuimu lagi, duduklah di samping kisah-kisahku.

Pagi ini ketika aku melakukan rutinitas bongkar laci dan lemari, tiba-tiba seekor kucing berdiri di depan pintu, dia menggigit anaknya di antara geliginya. Entah bagaimana dia bisa sampai sini, aku hampir lupa, bahwa aku tidak membuat pintu. Sebab itu kucing itu bisa leluasa masuk, dan Sandra bisa seenaknya pergi, tanpa pernah mau kembali. 

Kucing itu tidak mengeong, tetapi dari tatapan matanya aku tahu dia mencari perlindungan. Aku teringat tentangmya, apa saat dia meninggalkan negeri puisi juga karena menginginkan perlindungan? Tetapi perlindungan dari apa dan siapa? Aku bahkan sama sekali tidak pernah membuatnya meneteskan air mata.

Aku memberi makan kucing itu, dengan hati-hati dia menurunkan anaknya tidak jauh darinya. Dia melahap makanannya, tetapi matanya tetap berjaga. Naluri seorang ibu, bahkan hewan juga memilikinya. Kucing itu dan anaknya, membuatku teringat pada sepotong percakapan dengannya pada suatu pagi.

“Aku ingin memiliki bayi.”

“Bayi hanya akan merepotkanmu.”

“Seorang bayi membuatku merasa hidup dan terlahir kembali. Suara mereka, tangis mereka, sangat menggemaskan, Mar.”
“Kita bisa adopsi.”

Percakapan saat itu berakhir pada kata “adopsi” dan dia yang tetap berdiri memandang jendela. Aku tidak melihat benar bagaimana perubahan yang terjadi padanya, karena dia berdiri memunggungiku, bisa saja saat itu dia sedang meneteskan air mata. Sekarang semuanya hampir jelas, kata kuncinya adalah “bayi”, jawaban yang selama ini aku cari-cari, alasan dia meninggalkanku adalah “bayi”.

Rahimnya serupa ladang subur yang menunggu dibuahi, yang bisa melahirkan bayi-bayi. Aku bisa saja memberinya sembilan puluh sembilan bayi laki-laki, juga satu bayi perempuan manis, sebagaimana Gandari. Aku bisa memberinya bayi, tetapi aku tidak mampu membuahi. Mungkin itu alasan dia pergi, mencari laki-laki yang bisa membuahi, yang bisa memberinya bayi, yang bisa menyempurnakan hidupnya, yang bisa membuatnya terlahir kembali.

Aku marah ketika menyadari hal itu, secara tidak sengaja aku menumpahkan secangkir mimpi yang kuletakkan di atas meja. Membuat kucing yang tengah menikmati makanannya ketakutan, dia pergi membawa anaknya dengan gerakan secepat kilat.

Aku melihat negeri puisi dari tempatku berdiri, ternyata negeri yang aku bangun dengannya hanyalah negeri mati yang mati-matian kita hidupkan kembali. Matahari dengan bentuk abstrak menyala dan redup serupa lampu murahan yang kehilangan energi, rumput hijau rapi hanya onggokan rumput sintetis yang tak mungkin bertambah banyak, juga bertambah tinggi. Salju yang selembut es krim, meleleh dengan aroma sebusuk susu basi. Lautan mungil yang kami banggakan kini terlihat seperti parit dangkal oleh material yang melorot dari gunung di depannya.

Yang hidup di dalam negeri itu, hanya aku, dia, juga ikan jutaan warna. Ikan yang ternyata tak berjenis jantan juga betina. Ikan-ikan yang tak pernah berkembang biak dan pada akhirnya menggelepar kesepian hingga detik terakhirnya. Dia yang lari menginginkan bayi, aku yang diam tak mampu membuahi. Negeri puisi hanyalah negeri mandul yang sekarat, tanpa pernah melahirkan apa-apa.

Sebab itu aku ingin menghancurkannya. Ternyata negeri puisi kami benar-benar rapuh, serupa kartu remi yang coba kita berdirikan dengan barisan rapi, lalu roboh dengan satu jentikan jari. Dindingnya seperti jutaan origami, yang dirangkai dengan susah payah agar rapi, lalu menjadi abu oleh satu batang korek api.

Mudah sekali menghancurkan semuanya, aku tidak lagi peduli dengan isi lemari juga laci yang terserak di sana-sini. Aku melangah maju, melewati pecahan cangkir yang tadinya berisi mimpi. Ada perih yang menusuk telapak kakiku, menjalar ke hatiku, tetapi hari ini aku benar-benar merasa hidup.

***
(ketika matahari normal menjadi senja)

Aku harus bersusah payah melepaskan dekapan Bisma sebelum aku menulis ini. Kau tentu belum mengenal Bisma ya!? Dia adalah serpihan yang aku temukan di antara runtuhan negeri puisi. Lelaki kesepian karena isterinya sedang hamil, jangan memandangku seperti itu, aku hanya berusaha ada di posisi Sandra.

Sandra yang memulai permainan ini, mencoba lari dariku, untuk laki-laki ini. Harusnya Sandra tahu, laki-laki adalah makhluk yang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Lelaki boleh menikah dengan lebih dari satu, lebih dari dua, lebih dari tiga perempuan. Sementara perempuan akan direndahkan ketika bersuami lebih dari satu. Bahkan dicap tidak setia ketika dia hanya menyimpan dua nama laki-laki di hatinya. Hanya menyimpan, tanpa berbuat banyak.

Aku hanya ingin menunjukkan kepada Sandra, laki-laki yang ia biarkan menyemai benih di rahimnya adalah lelaki banci. Lelakinya mengirim pesan romantis berakhir dengan kecupan kepadanya saat dia mengecupku. Memujinya saat dia mengagumi lekuk tubuhku.

Sandra telah membuat kesalahan besar, dia lari dariku hanya karena menginginkan bayi. Padahal saat ia berlutut di depanku, dia meminta hatiku, karena ia benci kepada laki-laki. Sebab aku juga perempuan seperti dirinya, maka aku menerimanya, bukankah hanya perempuan yang mampu meraba perasaan perempuan lain? Hanya perempuan yang bisa mengerti hati perempuan lain yang tak pernah terbaca oleh laki-laki. Ternyata banyaknya kesamaan tidak selalu menjamin aku dan Sandra bisa hidup bersama-sama.

Padahal aku jauh lebih baik dari Bismanya, aku tidak pernah membagi waktu, perhatian, isi hati, juga apa pun dengan yang lain. Aku bangunkan dia negeri puisi, dimana ia bisa tinggal, ia bisa hidup meskipun aku tahu ada bagian darinya yang mati. Aku hanya ingin Sandraku hidup, tertawa bahagia, maka aku lakukan segalanya, kecuali satu hal, bayi.

Dia seperti bola kristal yang selalu aku pastikan aman, aku letakkan ia di tempat tinggi yang tak pernah terjangkau laki-laki. Sebelum Bisma mengendap-endap memasuki negeri puisi kami. Mata Bisma tertuju pada bola kristal itu, berusaha menggapai, harusnya tidak mungkin tercapai, kalau bukan Sandra yang menjatuhkan diri, menjatuhkan hati.

Padahal ia juga tahu, betapa mengerikannya makhluk bernama laki-laki. Ia hanya merasa takut disalahkan dari setiap air yang jatuh dari mata perempuan. Ia takut dipanggil ayah dari bayi yang tak sengaja terlahir dari rahim tempat mereka menyemai. Ia melukai, membunuh, lari, menuduh, apa pun itu hanya untuk menjaga reputasi

Sebab itu aku mencari keberadaan Bisma, aku ingin menyelamatkan Sandra. Meskipun aku hanya serupa tumpukan berita yang ia singkirkan dari meja. Ia takut lelakinya akan mengetahui kisahnya denganku, lalu mengusirnya, lalu ia bingung ketika bayinya mulai tumbuh dan menanyakan bapaknya. Maka dia pergi, membuangku serupa ular yang mengganti kulitnya. Ia tinggalkan begitu saja, ia lupa kulitnya pernah melindunginya dari perih, dari terik, dari luka, pernah menempel dan ia bawa lekat, dekat.

Aku tak percaya Sandra bisa melakukan itu, mungkin Sandra juga tak akan percaya Amaranya bisa menjadi perempuan yang lebih cantik darinya. Perempuan yang memikat dewanya, mengacak hidup yang ia atur sedemikian rupa, seperti dia mengacak janjinya sendiri. Ia tak akan percaya ketika Amaranya tahan tidur dengan laki-laki, seperti aku yang tidak pernah bisa percaya Sandra tahan hidup dengan lelaki ini.

Sekarang aku kembali, bukan sebagai Gandari yang menjanjikan seratus bayi. Tetapi sebagai Srikandi yang menjadi penyebab kematian Bismanya. Menjadi berita utama yang ingin juga tidak ingin ia cari, menjadi bagian yang ingin ia lupakan juga ingin ia temukan. Nanti, ketika suatu hari ia menemukan lelakinya terlelap di sampingku, ia juga pasti akan menemukan tiga judul catatan dalam folder yang aku beri nama hati.

***

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun