Rahimnya serupa ladang subur yang menunggu dibuahi, yang bisa melahirkan bayi-bayi. Aku bisa saja memberinya sembilan puluh sembilan bayi laki-laki, juga satu bayi perempuan manis, sebagaimana Gandari. Aku bisa memberinya bayi, tetapi aku tidak mampu membuahi. Mungkin itu alasan dia pergi, mencari laki-laki yang bisa membuahi, yang bisa memberinya bayi, yang bisa menyempurnakan hidupnya, yang bisa membuatnya terlahir kembali.
Aku marah ketika menyadari hal itu, secara tidak sengaja aku menumpahkan secangkir mimpi yang kuletakkan di atas meja. Membuat kucing yang tengah menikmati makanannya ketakutan, dia pergi membawa anaknya dengan gerakan secepat kilat.
Aku melihat negeri puisi dari tempatku berdiri, ternyata negeri yang aku bangun dengannya hanyalah negeri mati yang mati-matian kita hidupkan kembali. Matahari dengan bentuk abstrak menyala dan redup serupa lampu murahan yang kehilangan energi, rumput hijau rapi hanya onggokan rumput sintetis yang tak mungkin bertambah banyak, juga bertambah tinggi. Salju yang selembut es krim, meleleh dengan aroma sebusuk susu basi. Lautan mungil yang kami banggakan kini terlihat seperti parit dangkal oleh material yang melorot dari gunung di depannya.
Yang hidup di dalam negeri itu, hanya aku, dia, juga ikan jutaan warna. Ikan yang ternyata tak berjenis jantan juga betina. Ikan-ikan yang tak pernah berkembang biak dan pada akhirnya menggelepar kesepian hingga detik terakhirnya. Dia yang lari menginginkan bayi, aku yang diam tak mampu membuahi. Negeri puisi hanyalah negeri mandul yang sekarat, tanpa pernah melahirkan apa-apa.
Sebab itu aku ingin menghancurkannya. Ternyata negeri puisi kami benar-benar rapuh, serupa kartu remi yang coba kita berdirikan dengan barisan rapi, lalu roboh dengan satu jentikan jari. Dindingnya seperti jutaan origami, yang dirangkai dengan susah payah agar rapi, lalu menjadi abu oleh satu batang korek api.
Mudah sekali menghancurkan semuanya, aku tidak lagi peduli dengan isi lemari juga laci yang terserak di sana-sini. Aku melangah maju, melewati pecahan cangkir yang tadinya berisi mimpi. Ada perih yang menusuk telapak kakiku, menjalar ke hatiku, tetapi hari ini aku benar-benar merasa hidup.
***
(ketika matahari normal menjadi senja)
Aku harus bersusah payah melepaskan dekapan Bisma sebelum aku menulis ini. Kau tentu belum mengenal Bisma ya!? Dia adalah serpihan yang aku temukan di antara runtuhan negeri puisi. Lelaki kesepian karena isterinya sedang hamil, jangan memandangku seperti itu, aku hanya berusaha ada di posisi Sandra.
Sandra yang memulai permainan ini, mencoba lari dariku, untuk laki-laki ini. Harusnya Sandra tahu, laki-laki adalah makhluk yang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Lelaki boleh menikah dengan lebih dari satu, lebih dari dua, lebih dari tiga perempuan. Sementara perempuan akan direndahkan ketika bersuami lebih dari satu. Bahkan dicap tidak setia ketika dia hanya menyimpan dua nama laki-laki di hatinya. Hanya menyimpan, tanpa berbuat banyak.
Aku hanya ingin menunjukkan kepada Sandra, laki-laki yang ia biarkan menyemai benih di rahimnya adalah lelaki banci. Lelakinya mengirim pesan romantis berakhir dengan kecupan kepadanya saat dia mengecupku. Memujinya saat dia mengagumi lekuk tubuhku.
Sandra telah membuat kesalahan besar, dia lari dariku hanya karena menginginkan bayi. Padahal saat ia berlutut di depanku, dia meminta hatiku, karena ia benci kepada laki-laki. Sebab aku juga perempuan seperti dirinya, maka aku menerimanya, bukankah hanya perempuan yang mampu meraba perasaan perempuan lain? Hanya perempuan yang bisa mengerti hati perempuan lain yang tak pernah terbaca oleh laki-laki. Ternyata banyaknya kesamaan tidak selalu menjamin aku dan Sandra bisa hidup bersama-sama.