Â
Saat masih anak-anak, hobiku ada dua, pertama makan nasi goreng buatan Ibu tepat jam tujuh pagi. Kedua, sebagai anak dengan rasa ingin tahu yang besar Aku kerap bertanya-tanya soal proses bersalin kepada Ibu menjelang tidur seusai dongeng "Sepatu Raksasa" atau "Si Kancil" selesai dibacakan.
"Ibu, melahirkan itu pasti sakit ya?" tanyaku ingin tahu.
"Enggak, justru senang dong kak" jawab Ibu sederhana.
"Bohong,pasti sakit..." bantahku seraya kesal.
"Iya, sakit sudah pasti, tapi setelah melihat si malaikat kecil lahir seketika rasa sakitnya hilang diganti bahagia" jawab Ibu sembari menepuk-nepuk pantatku supaya segera terlelap.
Kira-kira begitulah gambaran percakapanku menjelang tidur bersama Ibu. Percakapan yang menjadi saksi bahwa Ibu sosok yang kuat namun penuh kasih sayang. Maka ketika ditanya ingin jadi apa setelah dewasa nanti, jawabanku selalu sama "Aku ingin sekuat Ibu".
Semua Ibu adalah Teladan, Paling Tidak Bagi anak-anaknyaÂ
Setelah tumbuh menjadi perempuan dewasa, Aku banyak bertukar pikiran dengan teman di bangku kuliah dan juga teman kantor. Ternyata mereka setuju bahwa Ibu adalah sosok panutan. Selain itu, nilai-nilai yang diajarkan Ibu merupakan bekal dalam mengarungi kehidupan.
Ada yang tak mudah patah semangat karena nasehat Ibu,
Ada yang handal mengelola keuangan berkat ajaran Ibu,
Ada yang berani melangkah ke depan karena dorongan Ibu,Â
Ada yang jago masak berkat resep rahasia dari Ibu,Â
Ah... terlalu banyak hal baik berawal dari Ibu.
Dari sana Aku mendapati kesimpulan, peran Ibu sangat penting dalam menentukan kepribadian seseorang, atau jika digeneralisasi lebih luas, kualitas generasi penerus sangat bergantung dengan peran yang dijalankan oleh Ibu. Seorang Psikolog, Roslina Verauli S.Psi.,M.Psi menuturkan Ibu menjalankan peran lebih banyak dalam keluarga. Dari hasil penelitian, diketahui Ibu berperan dua atau tiga kali lebih banyak dalam pengasuhan dibandingkan Ayah.
Lantas, Apasajakah Peran yang dijalankan Ibu ?Â
Terdapat tiga peran utama seorang Ibu dalam perkembangan anak yaitu Asah, Asih, dan Asuh. Pertama, asah artinya mampu memberikan stimulasi yang baik kepada anak. Kedua, asih yang artinya memberikan cinta kasih, dan ketiga yaitu asuh dimana Ibu berperan besar dalam mengasuh anaknya. Ketiga hal tersebut memegang peranan dalam membentuk karakter sang buah hati ketika dewasa.
Peran Ibu memang tidak main-main ya Kompasianer ?Â
Ibu, Sekolah Pertamaku
Saat taman kanak-kanak, Aku sudah menguasai pelajaran membaca jauh sebelum belajar di ruang kelas bersama para guru. Di samping itu, Aku juga sudah memahami perhitungan dasar matematika. Berkat itu, Aku selalu berhasil pulang lebih dulu karena mampu menjawab pertanyaan adu cepat dengan tepat.
Kemampuanku tersebut memunculkan tanda tanya bagi teman-teman. Mereka kemudian bertanya mengapa diriku bisa jago berhitung dan membaca padahal sekolah baru saja dimulai. Tentunya dengan jujur kukatakan dengan gaya khas anak TK yang masih bau kencur bahwa Aku sudah sekolah di rumah bersama Ibu jauh-jauh hari. Momen itu entah mengapa masih terkenang hingga kini.
Ya, jika dipikir-pikir, jawaban si anak bau kencur kala itu memang benar, Ibu adalah sekolah pertama, tak hanya bagiku tapi juga seluruh anak Indonesia.
Nilai-nilai Kehidupan Warisan IbuÂ
Tak hanya resep rahasia di dapur Ibu juga mewariskan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai yang kemudian membentuk kepribadianku menjadi perempuan tangguh, berani bermimpi tapi tetap welas asih kepada sesama. Penasaran ? Langsung saja simak kisahku berikut ini.
Tak Ada Pengecualian bagi Perempuan untuk Mengenyam PendidikanÂ
Ibu tak pernah punya ijazah, sebagai gadis desa pendidikannya harus berakhir pada jenjang kelas dua sekolah dasar. Meski begitu cara pandang beliau terhadap pendidikan membuatku takjub. Dibesarkan di lingkungan desa dimana kebanyakan anak perempuan bukanlah prioritas untuk sekolah tak membuat Ibu memperlakukan hal yang sama kepadaku. Di tengah keterbatasan ekonomi, bagi Ibuku pendidikan adalah  keharusan bagi semua anak-anaknya.
Ibu tak menomorduakan diriku untuk memperoleh pendidikan tinggi meski Aku seorang perempuan. Ibu membiarkanku tumbuh ditemani narasi-narasi hebat. Katanya anak perempuan dijinkan bermimpi dan berhak punya capaian tanpa harus didera rasa cemas akan perkataan ujung-ujungnya di dapur yang kerap mengintai telinga perempuan.Â
Tak hanya membekali diri dengan motivasi dan harapan, Ibu juga mengajarkan untuk menyadari realita bahwa mimpi yang besar harus disertai usaha yang besar. Jika mimpinya saja yang besar namun usaha nihil yang ada hanya akan membuat diri terjun bebas dari ketinggian, tentunya sakit. Begitu yang selalu beliau ucapkan sambil melipat baju atau menyapu halaman sore hari.
Bagiku yang kini berkesempatan menempuh studi magister pada salah satu universitas kenamaan adalah sebuah privilese yang mungkin tidak didapatkan anak perempuan lainnya. Tentunya ini semua berkat doa dan dorongan dari Ibu.Â
Menolong Tanpa Rasa Sombong Â
Pernah satu ketika ada seorang nenek menawarkan satu keranjang manggis hasil panennya ke rumah. Tanpa ragu Ibu membeli manggis tersebut dengan harga lebih. Ibu kemudian mempersilahkan nenek tersebut duduk berbincang sambil makan bersama kami. Usut punya usut ternyata nenek tersebut tinggal di desa sebelah dimana perjalanan ditempuh hanya dengan jalan kaki. Yang lebih mengagetkan, selang beberapa hari Nenek itu datang kembali sembari membawakan buah tangan sebagai ucapan terima kasih karena Ibu pernah membantunya di kala susah.
Tak hanya nenek penjual buah manggis, Ibu juga sangat ramah dengan tukang sayur dan tukang sampah. Tanpa segan Ibu seringkali mengajak mereka ngobrol dan minum teh bersama. Bagi mereka perlakuan Ibu mungkin istimewa, karena tak semua orang dapat menerima kehadiran mereka seperti yang Ibu lakukan.
Itulah Ibuku yang berhati emas. Dari Ibu Aku belajar untuk menolong tanpa rasa sombong. Kita sama-sama manusia, jika kemudian kita berlebih wajib berbagi tanpa mengerdilkan hati orang yang Kita tolong.
Padahal sekarang banyak sekali orang yang memberi hanya sekadar untuk pamrih. Memberi dengan pongah, kadang sampai dilempar pula uang pemberiannya pada pengemis atau pengamen. Ada pula yang memberi bantuan sambil memotret orang yang ditolong untuk dibagikan ke sosial media sebagai pembuktian dirinya orang baik.
Memaknai Rasa Syukur
"Ayo nak rajin belajar ya, supaya nanti..."Â
"Supaya nanti tidak jadi pemulung seperti Bapak itu kan bu?"
"Hus... bukan begitu"
Ibu pernah memarahiku karena giat sekolah supaya kelak tidak jadi pemulung. Itulah pikiranku saat anak-anak. Dengan tenang Ibu menjelaskan bahwa perkataanku bisa sangat menyakitkan jika terdengar oleh yang bersangkutan. Padahal Kita tidak tahu, bisa jadi mereka bangga dengan pekerjaannya yang jadi sumber penghidupan keluarga.
Penjelasan Ibu membuka mataku. Aku keliru dalam menilai pekerjaan orang lain. Kemudian Ibu menjelaskan lebih dalam mengenai konsep bersyukur yang beliau yakini. Ibu tidak suka melihat anak-anaknya mengucap syukur setelah menyaksikan kondisi orang lain yang kurang beruntung. Â
Misalnya melihat pengemis hanya makan dengan nasi dan kecap, kemudian bersyukur karena bisa makan nasi lengkap dengan ayam goreng. Atau bersyukur bisa sekolah tinggi karena melihat tetangga tidak dapat lanjut sekolah. Intinya tidak boleh bersyukur karena kondisi kita yang lebih beruntung dari orang lain.
Rasa syukur  dibangun dari hubungan Kita dengan Tuhan, tanpa perlu menengok nestapa atau nikmat orang lain. Jadi,tidak lantas menambah syukur ketika sekitar tertimpa musibah atau justru mengurangi rasa syukur karena iri melihat tetangga beli mobil baru. Syukur itu dari hati, independen, dan tidak dipengaruhi apapun"
Bertanggung Jawab Menjalani Beragam PeranÂ
Ibu berpesan bahwa manusia itu multi peran. Misalnya sebagai orang tua sekaligus pimpinan di kantor, sebagai Mahasiswa sekaligus ketua organisasi dan berbagai contoh lainnya. Setiap peran tersebut memiliki tanggung jawab yang harus ditunaikan.
Dari kecil Aku sudah diajarkan untuk memegang tanggung jawab secara mandiri. Misalnya mengerjakan tugas sekolah sendiri, mencuci baju mandiri sejak usia dua belas tahun. Hingga menanggung konsekuensi sendiri jika berbuat salah. Hal ini semata-mata Ibu lakukan agar anaknya tak lalai dengan tanggung jawab ketika dewasa.
Melalui Nilai-Nilai, Ibu Hidup dalam DirikuÂ
Setelah membicarakan kebaikan Ibu bohong rasanya jika tak ada rasa ingin mengucap rindu atau berlari memeluk beliau erat. Tapi sayang Ibu sudah dua tahun tak di sampingku. Dua tahun tanpa Ibu sangat berat, sesekali ingin menyerah dan terkadang juga patah semangat. Namun setiap kali bercermin Aku menemukan sosok Ibu hidup dalam diriku. Nilai-nilai dan nasehat tumbuh bersamaku. Jadi, meski Ibu tak lagi di sisiku, tapi nilai-nilai yang Ibu ajarkan masih setia menemaniku melangkah hingga hari ini.
Terima kasih sudah menjadi Ibu yang kuat dan teman yang hebat dalam memberi semangat. Terima kasih telah menjadi sosok panutan.
Cerdas Berkarakter Melalui Pendidikan dari Rumah dan Sekolah
Semoga sedikit kisah yang Aku bagikan ini dapat menginspirasi. Kita dapat ambil kesimpulan bahwa Pendidikan dari rumah yang diberikan orang tua, khususnya Ibu dan pendidikan dari sekolah adalah sebuah sinergi. Dimana tak hanya bertujuan melahirkan kecerdasan namun juga karakter yang kuat.
Mengapa harus Cerdas Berkarakter ?Â
Tantangan setiap jaman berbeda, dan Kita tidak tahu apa yang akan dihadapi para generasi penerus. Yang jelas tantangan yang menyambut mereka di masa depan akan lebih kompetitif. Untuk itu menjadi penting menyiapkan generasi muda yang cerdas berkarakter sebagai generasi emas Indonesia Tahun 2045 dengan jiwa Pancasila dan pendidikan karakter yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H