Mohon tunggu...
Julia Sukma
Julia Sukma Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Suka membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Agenda Setting Kebijakan Pengelolaan Sampah TPST Bantargebang oleh Pemerintah DKI Jakarta

31 Mei 2024   18:16 Diperbarui: 31 Mei 2024   18:40 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halo Lokal. Sumber ilustrasi: PEXELS/Ahmad Syahrir

Setiap tahun, Indonesia menghadapi masalah sampah yang signifikan. Sampah adalah masalah kultural karena dapat memengaruhi banyak aspek kehidupan. Sampah yang tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan masalah sosial, ekonomi, serta masalah lingkungan yang serius. Jumlah orang yang tinggal di suatu wilayah berhubungan langsung dengan jumlah sampah yang ada di sana. 

Ada beberapa faktor yang menunjukkan masalah pengelolaan sampah di Indonesia, diantaranya ialah volume sampah yang dihasilkan, jumlah tempat pembuangan akhir yang terbatas, jumlah institusi pengelola sampah yang belum terpenuhi, dan tingkat pelayanan yang rendah. Sehubungan dengan tingkat sampah yang tinggi di Indonesia, kota-kota di dalamnya jelas memainkan peran penting.  Selain memiliki populasi yang besar, wilayah di Indonesia juga memiliki tingkat produksi sampah yang tinggi, DKI Jakarta adalah salah satunya. 

Agenda setting mengacu pada masalah yang menjadi pusat perhatian pemerintah dan terjadi di masyarakat. Dalam agenda setting ada beberapa proses yang terbagi menjadi tiga arus, yaitu: arus masalah (problem stream), arus kebijakan (policy stream), dan arus politik (political stream). 

Arus masalah (problem stream) mengacu ke dalam pandangan bahwa suatu isu dianggap sebagai permasalahan publik yang diperlukannya tindakan oleh pemerintah. Pemerintah berupaya menangani masalah yang telah diidentifikasi sebagai isu publik ini. Sampah yang diangkut di DKI Jakarta mampu menghasilkan 7,5 ribu ton per harinya. DKI Jakarta dinilai masih belum cukup baik dalam mengelola sampah. 

Upaya yang dilakukan DKI untuk mengurangi volume sampah yang tinggi tidak sebanding dengan jumlah sampah yang dihasilkannya. Proses pengumpulan sampah secara terbuka masih digunakan dalam pengelolaan sampah di wilayah DKI Jakarta, yang mengakibatkan kondisi TPST Bantargebang memprihatinkan. 

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diberikan otoritas untuk menggunakan dan mengelola TPST Bantargebang sebagai lokasi pembuangan sampah bagi penduduk DKI Jakarta dengan penerapan sistem sanitary landfill. Kerja sama ini dilakukan melalui kontrak dengan pihak ketiga atau perusahaan swasta, serta melibatkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi. 

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengusulkan agar Peraturan Daerah No 3 tahun 2013 tentang Pengelolaan sampah diubah mengingat kondisi TPST Bantargebang yang telah berperan sebagai lokasi penampungan sampah bagi warga DKI Jakarta selama beberapa puluh tahun. Dengan kapasitas tampung hingga 49 juta ton dan luas 110,3 hektar, TPST Bantargebang menerima sampah sebanyak 10.000 ton per hari. 

Tujuan dari perubahan Peraturan Daerah No. 3 tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah adalah memberikan perlindungan hukum kepada proyek Intermediate Treatment Facility (ITF) yang saat ini sedang dibangun di daerah Sunter. ITF akan menyelesaikan masalah pengelolaan sampah di TPST Bantargebang yang diprediksi akan mencapai kapasitas maksimal pada tahun 2021. Pembangunan ITF ini juga mampu mengurangi sampah dengan kapasitas 2.200 ton per hari. 

Arus kebijakan (policy stream) mengacu ke solusi yang ditemukan, komunitas kebijakan, dan pakar dalam rangka menyelesaikan masalah. Pada titik ini, masalah publik telah berkembang menjadi permasalahan institusional, dan agenda kebijakan akan segera muncul.  ITF yang sedang dibangun di Sunter dilengkapi dengan bunker yang memiliki kapasitas yang bisa menampung hingga 6.600 ton sampah. 

ITF akan menerapkan konsep waste to energy dalam pengelolaan sampah. Konsep ini menunjukkan bahwa teknologi incinerator dapat menghasilkan energi listrik melalui pembakaran sampah. 

Pembakaran  menggunakan incinerator berasal dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah Nasional mengeluarkan Peraturan Presiden No.18 tahun 2016 yang mengatur tentang Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta dan beberapa kota lainnya. 

LSM yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), serta sejumlah individu menolak Peraturan Presiden No.18 tahun 2016 tentang Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah. Mereka mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung (MA) dan menganggap ini tidak realistis karena biaya yang tinggi dan adanya kemungkinan kegagalan. Selain itu, dampak kesehatan dari pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah ini juga menjadi perhatian utama.

Arus politik (political stream) melibatkan faktor-faktor politik seperti perubahan dalam kondisi nasional, pergantian administrasi pemerintahan, dan tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan. Semua elemen tersebut dapat mempengaruhi fokus terhadap suatu masalah dan upaya untuk melakukan perubahan.

Masyarakat DKI Jakarta memperhatikan revisi kebijakan pengelolaan sampah karena jumlah sampah yang dihasilkan setiap hari menjadi masalah setiap tahun dari satu gubernur ke gubernur yang lainnya. Selain itu, masalah pengelolaan sampah ini membuat banyak media fokus pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan menjadi masalah signifikan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 

Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta diminta oleh Gubernur DKI Jakarta untuk menjelaskan kepada DPRD DKI Jakarta tentang kondisi TPST Bantargebang yang akan melebihi kapasitas dan segera membutuhkan Intermediate Treatment Facility (ITF) sebagai teknologi pengelolaan sampah yang efisien dan cepat untuk mengurangi sampah masyarakat DKI Jakarta setiap hari. 

Revisi Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2013 mengenai pengelolaan sampah disetujui oleh DPRD DKI Jakarta, yang memasukkan sistem pengelolaan Intermediate Treatment Facility (ITF) dan biaya pengelolaan sampah (tipping fee). Kesepakatan ini dibuat dengan bertujuan meningkatkan elektebilitas DPRD DKI Jakarta pada pemilu 2019 dengan memasukkan narasi dalam strategi politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun