Kedua; untuk mendapatkan atau mempraktikkan kekuasaan, seseorang membutuhkan mobilisasi dua struktur dominasi sebagai fasilitas. Pada dimensi penguasaan, fasilitas ini terdiri dari sumberdaya alokatif (ekonomi) dan otoritatif (politik). Sumberdaya alokatif mengacu pada kemampuan-kemampuan atau bentuk-bentuk kapasitas transformatif yang memberikan komando atas barang-barang, objekobjek atau fenomena material. Adapun sumberdaya otoritatif mengacu pada jenis-jenis kapasitas transformatif yang menghasilkan perintah atas orang-orang atau aktor-aktor. Istilah 'kekuasaan' harus dibedakan dengan istilah dominasi. Dominasi mengacu pada asimetri hubungan pada dataran struktur, sedang kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada dataran pelaku (interaksi sosial). Karena itu kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif, sebagaimana tidak ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada struktur dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung diantara pelaku yang kongkret. Kekuasaan terbentuk dalam dan melalui reproduksi dua struktur/ sumberdaya dominasi (alokatif dan otoritatif). Meski demikian, menurut Giddens tidak pernah mungkin terjadi penguasaan total atas orang entah dalam sistem totaliter, otoriter, ataupun penjara karena adanya dialektika kontrol (the dialectic of control). Artinya dalam penguasaan selalu terlibat relasi otonomi dan ketergantungan, baik pada yang menguasai maupun pada yang dikuasai sekalipun dalam kadar yang minimal.
Â
Ketiga; untuk memberlakukan sebuah sanksi, orang membutuhkan sarana legitimasi berupa norma atau peraturan (tata hukum/lembaga hukum). Aspek legal (normatif) dibutuhkan untuk memberikan rasa aman (ontological security) dan keabsahan atas interaksi yang dila kukan oleh agen-agen sosial. Perubahan sosial tidak bisa ditempuh dengan kontradiksi sistem, tetapi perubahan dapat ditempuh melalui koordinasi praktik yang dilembagakan dalam sistem dan struktur sosial yang mengatasi ruang dan waktu. Perubahan sosial dalam dimensi ketiga gugus strukturasi hanya bisa dirubah melalui 'derutinisasi' dalam kapasitas 'monitoring refleksif' atau mengambil jarak terhadap unsurunsur yang melingkupinya baik secara personal maupun institusional.
Korupsi adalah sebuah tindakan yang melanggar hukum. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan tindakan yang mengambil apapun yang bukan halnya demi memperkaya diri sendiri. Jika hal ini berkaitan dengan negara maka pelaku tersebut harus diadili sesuai dengan peraturan yang telah diterapkan oleh Negara masing-masing. Di Indonesia sendiri telah memiliki lembaga yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga ini di hadirkan demi tercapainya segala cita-cita yang diidamkan bangsa Indonesia. Salahsatunya bebas dari maladministrasi, pungli yang merupakan tindak pidana korupsi.
Indonesia memiliki lembaga khusus dalam menangani kasus pidana korupsi. Lembaga ini bernama Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang lebih dikenal dengan singkatan KPK. Lembaga ini bertugas Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Komisi Pemberantasan Korupsi sejak awal memang didesain dengan kewenangan luarbiasa (superbodi) agar mampu mengungkap praktik licik-kotor serta menembus benteng pertahanan koruptor yang paling kuat sekalipun. Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002. Secara harafiah, Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga yang bergerak dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun berdasarkan Pasal 6 UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tugas KPK tidak hanya dalam hal pemeberantasan saja, tetapi juga melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberanatasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.[1]
Â
Lembaga ini dibentuk untuk membantu negara dalam menangkap pelaku tindak pidana korupsi. Namun, tak sedikit pula bagian dari KPK tersebut yang malah tersandung kasus korupsi. Tahun lalu, lembaga KPK sempat ramai lantaran memecat beberapa anggota staff KPK. Padahal para staff tersebut sedang menangani dan menyelidiki kasus korupsi yang cukup berat. Hal ini tentu menimbulkan konflik dan pertanyaan di masyarakat. Ada apa dengan kinerja KPK di Indonesia?
Â
Dari hal ini maka bisa disimpulkan bahwa kredibilitas pejabat negara dalam kasus ini lembaga negara KPK masih dianggap kurang mempuni dalam menyelidiki kasus korupsi tersebut. Maka dari itu, kasus korupsi seakan tidak pernah lepas dari wilayah Indonesia.
Kredibilitas KPK sebagai lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi dianggap kurang mempuni. Hal ini langaran tidak adanya transparansi dalam kinerja KPK selama ini. Kasus korupsi di Indonesia juga dianggap tidak menurun bahkan melonjak naik lantaran tidak adanya langkah tepat yang dilakukan oleh pihak KPK tersebut. Maka dari itu, tidak sedikit yang beranggapan bahwa KPK tidak berguna dan sudah selayaknya di bubarkan. Dalam model pencegahan yang dipaparkan oleh Anthony Giddens disebutkan bahwa korupsi ialah sebuah tindakan yang dipengaruhi oleh perilaku. Maka dari iru, dapat diterik kesimpuan, apabila seseorang ingin menghentikan tindak pidana korupsi maka hal yang harus diubah ialah perbuatan serta karakternya. Maka dari itu penting dikukan sosialisasi yang berkaitan dengan norma-norma kehidupan, agar kelak para negerasi bangsa tidak berminat untuk melakukan suatu tindak korupsi