Mohon tunggu...
Julia Riyani Novia Ningsih
Julia Riyani Novia Ningsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Makan, shopping

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Falsafah Sedulur Papat Kalima Pancer

26 Oktober 2022   21:22 Diperbarui: 26 Oktober 2022   21:34 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyadran di Dusun Pajeng, selain dilakukan di makam leluhur juga dilakukan di sumber-sumber mata air, karena dalam kepercayaannya, air merupakan sumber kehidupan (tirta bilayat kamandanu). Eksotisme sosio-kultural yang eksis dalam dunia kehidupan desa Pajeng tersebut, ternyata tetap tidak bisa lepas dari realitas buram kemiskinan. 

Suatu realitas yang terbentuk dari hasil adaptasi dan "cara bertahan" terhadap marginalitasnya. Suatu realitas yang dikonstruksi dalam wujud nilai, sikap, dan tradisi yang tersosialisasi secara masif dalam ruangruang interaksi sosialnya. Betapapun yang terjadi hanyalah upaya untuk mengelabuhi rasa putus asa yang tiada henti. 

Namun implikasinya sungguh tidak terkira. Dari waktu ke waktu, mereka semakin "terjerumus" ke dalam perangkap budaya kemiskinan. Keterjerumusan itu telah menjadi pemicu patahnya semangat dan dorongan untuk meraih kemajuan, melemahkan motivasi, merajalelanya tingkat kepasrahan pada nasib (nrimo ing pandum), meluasnya sikap pasif dalam menghadapi kesulitan ekonomi, lemahnya aspirasi dan inovasi untuk membangun kehidupan yang lebih baik, mudah larut dalam kepuasan sesaat, berorientasi kekinian serta rendahnya minat melakukan investasi yang berdimensi masa depan.   

Kemungkinan lain dari "perangkap budaya kemiskinan" di Desa Pajeng adalah terjeratnya si miskin pada situasi "gali lubang tutup lubang". Hal ini dapat terjadi karena si miskin yang sudah serba kekurangan untuk 3 mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, kini harus menanggung "beban baru", yakni membiayai seluruh rangkaian prosesi kematian sampai hari ke seribu (nyewu). 

Si miskin lebih memilih tindakan ini, karena menghindari adanya penilaian miring (digunem) dari tetangga atau warga di sekitarnya. Kondisi tersebut itu sejalan dengan apa yang pernah dinyatakan oleh Oscar Lewis (1969), seorang peneliti tentang kemiskinan yang menyatakan bahwa, "Lebih mudah menghapuskan kemiskinan daripada budaya kemiskinan." Ritual kematian Pajeng merupakan contoh dari apa yang dinamakan sebagai "budaya kemiskinan". 

Akibatnya, agar tidak digunem oleh warga lain. Orang yang sudah dalam kemiskinan ini pun terus mengupayakan untuk dapat menjalankan ritual kematian. Kondisi tersebut juga terjadi dalam praktik ritual kematian di Desa Pajeng sebelum tahun 1990. Para ahli waris, keluarga atau sanak saudara berupaya untuk memenuhi semua syarat ritual kematian ini. Misal, keharusan memberikan seren (uang sedekah) bagi para pelayat dan tahlilan. Secara finansial dan material, tradisi ritual kematian ini telah mengakibatkan yang miskin akan semakin miskin.

Selain berbicara mengenai keguyuban dan kegotongroyongan dalam ritual kematian, mereka juga memandang bahwa sebenarnya perbedaan tata cara antara Islam dan Jawa tidak lantas membuat tujuannya berbeda. 

Pada hakikatnya ritual kematian ini semuanya bermuara pada tujuan yang sama, yakni untuk menghormati dan mencintai arwah orang yang sudah meninggal dengan cara berdoa dan melaksanakan ritual-ritual agar arwah orang yang meninggal bisa hidup tenteram-damai di alam keabadian menuju Sang Pencipta. Melalui tradisi Jawa ini, masyarakat akan lebih mudah memahami, daripada dengan cara-cara Islam yang menggunakan bahasa arab. 

Berikut pernyataan dari R: "Menurut Islam,yang hadir itukan malaikat ajaran leluhur kita kalau Jawa itu sedulur papat limo pancer tujuannya sama hanya kata-kata yang berbeda. Saya membaca Alfatikah bisa, tapi kan kurang pas karena tidak tahu artinya. Berbeda dengan menggunakan bahasa leluhur yang kita mengerti bisa ada rasa lega, selain itu juga hal itu sama dengan menghormati leluhur kita " (Hasil wawancara tanggal 24 Maret 2017) Apa yang disampaikan oleh R mengenai sedulur papat limo pancer merupakan merupakan ajaran dari Kejawen yang membahas tentang adanya malaikat pendamping hidup manusia.

Dalam buku Sajen & Ritual Orang Jawa, disebutkan bahwa secara turun temurun orang Jawa sangat lekat dengan kepercayaan bahwa setiap orang memiliki empat 144 pendamping gaib yang berada di empat penjuru mata angin atau biasa disebut dengan sedulur papat limo pancer (Wahyana Giri, 2010). Sedulur papat limo pancer ini juga dikenal dengan sedulur keblat papat, yaitu saudara yang selalu menjaga dan berada di empat penjuru arah mata angin. Di sebelah timur bernama Retna Dumilah yang merupakan perlambang.

kebijaksanaan, di sebelah selatan bernama Bambang Bunar Buwana sebagai perlambang kesehatan, di sebelah barat bernama Kencana Remeng sebagai perlambang rejeki, dan sebelah utara bernama Srikolem sebagai perlambang kebahagiaan. Setelah agama Islam masuk, kepercayaan sedulur papat limo pancer ini lalu disesuaikan dengan ajaran Islam dan diisi dengan istilahistilah Arab oleh para Wali penyebar ajaran Islam, seperti: Amarah, manusia yang hanya mengutamakan nafsu amarah saja, tentulah tidak akan tentram; Supiyah, yaitu nafsu keindahan dimana manusia itu umumnya senang dengan hal hal yang bersifat keindahan; Aluamah, yakni nafsu serakah, dimana manusia pada dasarnya mempunyai rasa serakah, Mutmainah, yakni keutamaan, walaupun nafsu ini merupakan kebajikan, namun bila melebihi batas, tentu saja tetap tidak baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun