Pengalihan Insentif/TPP guru kepada struktural telah menunjukkan bahwa pemda tidak transparan dalam mengelola keuangan, pemda diberi kewenangan, tapi tidak sewenang-wenang.
Kemendagri melalui Ditjen Bina Keungan Daerah yang ikut membantu menyelesaikan kasus TPP di awal, ternyata mengizinkan  Pemda Sintang menerbitkan TPP 2024 tersebut.
Sementara di Kepmendagri No. 900-4700 Tahun 2020. Jelas disebutkan bahwa TPP diberikan berdasarkan prinsip keadilan. 2 kali surat masuk ke Ditjen Bina keuangan, namun hasil akhirnya nihil, malah insentif yang naik adalah pejabat ASN dan ASN struktural.
Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 2024 tentang Pemberian TPP ASN, menyatakan bahwa guru berserti atau bertunsus, boleh menerima TPP. Namun, aturan tersebut juga tidak diindahkan.
 Hingga akhirnya guru pelosok 3T, yang diwakili Julia R. S. B. dan tim menggugat 2 tahun Peraturan Bupati atas TPP langsung ke Mahkamah Agung dalam hal Hak Uji Materiil.
Guru bertunsus mendapat tunjangan khusus dari APBN, karena pengabdian di 3T, namun pemda menghapus insentif /TPP dari daerah dengan dalil yang tidak berdasar. Kebijakan yang sangat merugikan guru di 3T.
Begitu juga guru berserti, guru Sintang tidak gratisan mendapatkan sertifikasi, penuh perjuangan. Bahkan penggugat kuliah sertifikasi profesi guru selama 1 tahun untuk mendapatkan sertifikasi. Namun kecemburuan sosial mengakibatkan uang insentif yang biasanya didapat, malah dialihkan.
Bila masih ada oknum pejabat yang mengancam dan mengintimidasi guru untuk dimutasi dan dipecat karena menggugat. Guru 3T mempersilahkan SK disiplin diterbit dan akan menggugat di PTUN sekaligus gugatan dari semua kepada sekolah yang dipecat karena TPP.
Serta mengugat semua pejabat yang digunakan untuk mengintimidasi guru yang berjuang di PTUN.
Jika memang tidak ada permasalahan keuangan atas TPP, seharusnya pemda mengizinkan guru berjuang. Karena semua manusia bersamaan kedudukan di depan hukum.