Dewi merenung sejenak sebelum menjawab. Ada sesuatu tentang Cowell yang membuatnya merasa nyaman, seolah mereka telah saling mengenal lebih lama dari waktu yang sebenarnya. Tapi di sisi lain, dia masih merasa perlu untuk berhati-hati. "Aku juga merasakannya," balasnya jujur, "Tapi kita tetap harus berjalan perlahan, ya?"
Cowell mengerti dan setuju. Hari itu berakhir dengan Dewi merasa lebih ringan, lebih bersemangat menatap hari esok. Dia menutup matanya dengan senyum di wajahnya, berharap bahwa percakapan ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang indah.
Hari-hari berikutnya Dewi dan Cowell semakin akrab. Setiap hari mereka saling bertukar cerita, bercanda, dan berbicara tentang mimpi-mimpi yang mungkin terlalu besar untuk dicapai. Cowell mendorong Dewi untuk mengejar mimpinya, untuk tidak hanya terjebak dalam rutinitas, dan untuk tidak takut mengambil risiko.
"Aku percaya," tulis Cowell suatu hari, "bahwa hidup ini adalah tentang mengambil kesempatan, keluar dari zona nyaman, dan mengejar apa yang kita inginkan. Terkadang kita gagal, tapi dari kegagalan itulah kita belajar. Yang penting adalah kita berani mencoba."
Kata-kata Cowell terus terngiang dalam pikiran Dewi. Di satu sisi, dia merasa terinspirasi, tetapi di sisi lain, dia masih ragu. Apakah dia benar-benar berani untuk keluar dari rutinitasnya? Apakah dia bisa meninggalkan kenyamanan yang selama ini dia bangun untuk sesuatu yang belum pasti?
Namun, satu hal yang pasti, Cowell telah mengubah cara pandangnya tentang hidup. Dia mulai berpikir untuk mengambil cuti panjang dan pergi ke tempat yang belum pernah dia kunjungi. Mungkin Bali, atau Yogyakarta, atau bahkan luar negeri.
Mereka terus berbicara tentang kemungkinan bertemu di dunia nyata. Cowell tinggal di kota lain, tetapi dia tidak keberatan untuk datang ke tempat Dewi. Mereka berencana untuk bertemu di suatu kafe kecil di pusat kota, tempat yang nyaman dan tidak terlalu ramai. Dewi merasakan jantungnya berdegup kencang setiap kali mereka membicarakan pertemuan itu. Di satu sisi, dia sangat menantikannya, tetapi di sisi lain, ada kekhawatiran yang terus mengganggu pikirannya.
Saat hari pertemuan semakin dekat, Dewi merasa campur aduk. Dia sudah lama tidak merasa tertarik pada seseorang seperti ini. Tapi, ada juga ketakutan kalau semua ini hanya akan berakhir dengan kekecewaan. Bagaimana jika Cowell ternyata tidak seperti yang dia bayangkan?
Pada pagi hari pertemuan mereka, Dewi duduk di depan cermin, mengenakan gaun terbaiknya dan merapikan rambutnya. Dia berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk. "Nikmati saja momen ini," katanya pada diri sendiri, "Ini adalah bagian dari petualangan."
Dia tiba di kafe lebih awal. Tempat itu tenang, dengan dekorasi yang sederhana namun nyaman. Dewi memilih duduk di dekat jendela, memesan secangkir kopi untuk menenangkan sarafnya yang tegang. Waktu terasa berjalan lambat, dan setiap detik terasa seperti menit.
Ketika pintu kafe akhirnya terbuka, Dewi mendongak dan melihat Cowell masuk. Dia mengenakan jaket kulit hitam dan jeans, tampak kasual tapi menarik. Mata mereka bertemu, dan Dewi merasa napasnya terhenti sesaat. Cowell tersenyum, senyum yang sama seperti yang dia lihat di foto profilnya.