Mohon tunggu...
juliaputri
juliaputri Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gentle Giant, gajah si spesies kunci

22 Desember 2024   14:47 Diperbarui: 22 Desember 2024   15:09 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Angin membawa dedaunan kering ke permukaan, hawa gersang berkeliaran mengelilingiku dengan matahari yang tegak berdiri di atas kepala. Bak sedang mengejar target, ia mengikutiku bersama segerombol serangga kecil nan berisik. Ku sebut hutan ini neraka dunia, gersang, panas, bahkan tak ada ku lihat rambut-rambut pohon yang bisa ku jadikan payung untuk meneduh. Seakan semua telah dicukur habis oleh si penebang. Andai saja aku memiliki kekuatan sihir dari nenek moyang, akan ku sulap hutan gersang ini menjadi taman surga yang sejuk.

Setahun silam bersama teman sebaya, ku hampiri tempat ini untuk menyelesaikan tugas penelitian ku. Keadaan kemarin dan sekarang amatlah berbeda, bak hutan yang sama pohon yang berbeda. Dahulu begitu ramainya sang rumah bagi flora dan fauna ini, jika dibandingkan dengan ratusan gelas yang sengaja dipecahkan, suara hutan ini takkan terkalahkan. Anjing yang menggonggong, burung bernyanyi, monyet berteriak, dan gajah yang berbunyi dengan suara terompetnya. Layaknya sedang mengadakan konser, mereka bersuara di detik yang sama. Kala ini, sungguh berbeda. Perubahan yang begitu drastis didepan mata, tempat ini terasa amat sunyi nan hampa. Bahkan sedari tadi tak kutemukan pucuk hidung sang penjaga hutan ini.

Di tubuh pohon yang tak berambut, ku sandarkan raga padanya, sembari ditemani abu bakar yang berserakan. Kini langit itu terlihat jelas dengan mata yang jelih, tak ada satupun ranting pohon yang berani menutupinya. Langit pun tampak sepi, persis seperti tempat yang sedang ku jelajahi. Matahari seperti menatap ku dengan tajam, membuat mataku menutup secara perlahan. Terlintas di kepala, mengapa awan-awan itu tidak menemani ku berjalan dengan menutupi cahaya sang kerabat? Ah entahlah. 

Roooaaaar...

Di tengah istirahat, terdengar suara bak terompet yang menggema dari arah Utara. Suara itu berulang hingga tiga kali, membuat dahi ku mengerut memikirkan suara apa itu. Hati ku berbicara, "Apakah itu suara sang spesies kunci? Tapi, apa iya masih ada satwa yang hidup di pelataran hutan ini setelah kejadian kemarin?"  Rasa penat ku seakan hilang kala mendengar suara tersebut, bergegas ku tinggalkan tubuh sang pohon tanpa berucap apapun dan mencari keberadaan asal suara tersebut. 

Di penghujung jalan seru langkah ku terhenti, melihat aliran sungai yang sedang disinggahi oleh seorang pria paruh baya bersama hewan bertubuh amat besar nan tinggi yang sedang asyik bermain air. Aku tahu siapa sosok lelaki tersebut, ia merupakan penjaga hutan ini. Lantas ku lanjutkan seru langkah untuk menghampirinya. 

Nama pria itu adalah Suryadi, dirinya merupakan seorang penyendiri yang tinggal ditengah hutan. Sebenarnya hutan ini tidak memiliki penjaga, namun seringnya pengunjung yang menemui Suryadi di tengah hutan dan meminta ditunjukan arah jalan, maka dari itu Suryadi di juluki sebagai penjaga hutan ini. Selama 56 tahun dirinya hidup ditengah hutan yang sunyi ini. Awalnya dia tinggal bersama sang keluarga kecilnya namun kala itu telah terjadi kebakaran hutan yang penyebabnya masih belum diketahui sampai sekarang dan berakibat pada anggota keluarganya yang kehilangan nyawa karena terjebak di situasi tersebut. Dan kejadian itupun baru terulang kembali dibeberapa bulan terakhir namun dirinya tetap memilih untuk bertahan hidup sebatang kara disini.

Arah pandang ku seolah mengajak untuk beralih ke sebelah Suryadi, hewan bertubuh besar, nan tinggi berada didekatnya. Mungkin jika diperkirakan beratnya bisa sampai 3000-5000kg dan tingginya mungkin saja 2 - 3,5meter, hidungnya yang panjang dan telinganya yang lebar itu menarik perhatianku bahkan telapak tangan ku saja kalah lebar dengan daun telinganya. Seperti atlet tembak yang handal, firasat ku tak pernah meleset. Ternyata benar suara itu berasal dari sang spesies kunci. Dia adalah gajah, mamalia besar dari famili Elephantidae dan ordo Proboscidea. Sang pemakan daun, ranting, buah, kulit pohon dan akar.

Suryadi bicara bahwa sekelompok gajah liar yang hidup di hutan kini telah menghilang. Entah di bunuh si pemburu, mati karena terjebak kebakaran hutan atau kabur mencari tempat yang aman. Hingga sekarang hanya tersisa satu ekor gajah disebelahnya lah yang masih singgah di pelantaran hutan ini. Hutan ini memang marak terjadi perburuan liar terhadap gajah. Sang perenang handal yang mampu bertahan hingga 6jam tanpa menyentuh dasar permukaan dan berenang sejauh 48km dengan kecepatan 2,1km/jam ini di anggap sebagai makanan mewah dibeberapa negara, terutama Asia. Harga daging gajah dan permintaan pasar yang tinggi dipasar gelap mendorong peningkatan perburuan terhadap gajah. Bukan hanya dagingnya, tapi gading serta kulit gajah pun menjadi titik perburuan.

Contohnya di Afrika, perdagangan gading gajah menjadi salah satu penyebab penurunan populasi gajah Afrika di abad ke-20. Dibuatnya ornamen dan karya seni dari gading serta penggunaannya yang mampu menyaingi emas hingga memicu larangan impor gading pada Juni 1989 di Amerika serikat. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memberlakukan larangan perdagangan gading pada Januari 1990 hingga menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran di India dan Tiongkok. Pada Januari 2012, ratusan gajah di taman Nasional Bouba Njida, Kamerun, dibunuh oleh penyerang dari Chad. Peristiwa itu disebut-sebut sebagai "salah satu pembunuhan terkonsentrasi terburuk" sejak diberlakukannya larangan perdagangan gading.

Bukan hanya perburuan liar yang menjadi ancaman keberlangsungan hidup hewan besar ini, namun alih fungsi hutan pun menjadi salah satu penyebabnya. Seperti terancamnya habitat dan populasi gajah sumatera. Satwa yang memiliki label nama latin Elephas Maximus Sumatranus ini merupakan sub spesies gajah Asia yang hidup di hutan dataran rendah pulau Sumatera dan tersebar di wilayah Aceh, Sumatera barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung. Namun hingga kini populasinya belum terlindungi dengan baik. Menurut Word Wildlife Fund populasi gajah Asia telah menyusut sebanyak 50% sejak 1900-an. Saat ini 50.000 ekor gajah Asia tersebar di 13 negara dan 2.400 ekor berada di pulau Sumatera. Namun menurut data IUCN 69% habitat gajah di pulau Sumatera telah hilang akibat deforestasi.

Mataku menatap dalam-dalam tubuh sang raja hutan satu ini. Mengamati tiap gerak gerik dan mencerna bahasa tubuhnya. Aku tak habis pikir oleh isi kepala sang pelaku atas segala tindakan jahatnya terhadap satwa liar disini, sampai-sampai hanya 1 ekor gajah saja yang bisa ku tangkap dengan penglihatan ku hari ini.

Suryadi bercerita bahwa gajah amat pantas dianggap sebagai spesies kunci karena perannya yang penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Satwa yang juga dijuluki sebagai pemilik memori besar ini berperan penting dalam penyebaran biji tanaman dan membantu memenuhi kebutuhan air bagi seluruh makhluk hidup disekitarnya dengan menggali tanah dengan gading untuk mencari air. Selama mereka menggali di musim kemarau, mereka juga menemukan air yang dapat digunakan oleh hewan lain serta dapat memperbesar sumber air ketika mereka sedang mandi. Di gunung Elgon yang terletak di perbatasan antara Uganda dan Kenya, Afrika Timur, gajah menggali gua yang dapat digunakan oleh ungulata, hyrax, kelelawar, burung dan serangga. Selain itu raja hutan ini juga berperan penting dalam menyebarkan biji-bijian dengan memakan buah-buahan dan mengeluarkan biji-bijian tersebut melalui kotoran mereka yang bisa dikonsumsi oleh hewan lain seperti kumbang dan monyet.

"Sudah seharusnya satwa ini dijaga, bukan dilukai dan ditukar dengan uang untuk kekayaan sendiri" ucap Suryadi sembari membasuh kulit gajah yang berkeriput itu dengan pelan. Gajah tersebut tampak sabar dan tenang dengan air yang mengalir dibawah kakinya. Banyak sekali julukan untuk satwa ini, salah satunya adalah Gentle Giant. Julukan tersebut muncul karena kesabaran, kecerdasan, dan sifat empati serta kepatuhannya yang dapat dilatih dan bisa bekerja sama dengan manusia.

Namun, pada dasarnya ancaman bagi sang gentle giant ini adalah manusia. Perburuan, habitat yang terfragmentasi, perdagangan gading serta konflik Manusia-gajah adalah faktor utamanya. Bahkan hewan predator seperti singa, harimau akan menjauhkan diri darinya dan kebanyakan predator tersebut hanya menyerang anakan gajah saja. Di Taman Nasional Aberdare, Kenya, seekor badak menyerang seekor anak gajah dan berakhir badak tersebut dibunuh oleh gajah lain. Ukuran tubuh gajah yang besar membuat mereka hampir tidak dapat diserang oleh predator, namun seorang manusia yang hanya berbekalkan senapan dan panah beracun mampu melukai bahkan merenggut nyawanya untuk diperjual belikan bagian tubuhnya. Sulit untuk mengambil gading gajah tanpa melukainya, ya itulah alasan mereka.

Sepertinya sang mentari sudah penat untuk mengejarku. Kini hanya ada langit redup bersama awan yang mengiringi langkahnya. Arah jarum jam telah memerintahkan ku untuk pergi, meninggalkan sang hutan, gajah dan Suryadi. Sebelum pergi, aku di perkenankan untuk melakukan sebuah tanda perpisahan pada sang gajah. Sentuhan, penglihatan dan suara adalah cara untuk berkomunikasi dengan satwa yang mampu bertahan hidup hingga 70 tahun ini. Diriku terhenyut kala mencerna bahasa matanya. Bak sedang memegang uang 1 miliar, tangan ku dibuatnya bergetar. 

Roooaaaar...

Raja hutan ini mengeluarkan suara terompetnya, membuat bulu kuduk ku terbangun. Disitulah dua sudut bibirku terangkat, muncul harapan di masa yang akan datang, dirinya dapat bertemu kelompoknya kembali atau hidup tentram di hutan ini sampai usia yang membuat nya terbujur kaku serta kembalinya suara gemuruh riuh hutan seperti kemarin. 

Dua setengah jam lagi langit akan merubah warnanya, senja akan datang dan semua akan gelap. Aku harus membawa ragaku pulang dari sini sebelum pencahayaan hilang ditelan waktu. Bergegas ku berpamitan dengan Suryadi. Besok aku harus mendatangi acara forum bumi yang di selenggarakan yayasan kehati untuk mendapatkan informasi tentang keanekaragaman hayati yang dapat ku masukan dalam makalah penelitian ku.

Di perjumpaan tengah malam, fikiranku masih mengajak untuk memikirkan sang gajah tadi siang, lantas ku genggam sang pintu dunia dengan jemari tanganku. Mataku terbelalak kala membaca kasus-kasus yang terjadi pada satwa besar itu. Salah satunya kasusnya adalah penurunan populasi dan habitat gajah, ternyata banyak Sekali penyebab semua itu terjadi, dari penebangan liar atau illegal logging, penambangan, perambahan hutan, kebakaran, sengketa lahan dan masih banyak lagi. Ini sudah diluar nalar ku, semua yang diciptakan oleh Tuhan sudah semestinya dijaga, dilindungi dan disayangi. Alam, satwa, puspa, dan Manusia diciptakan untuk saling melengkapi, tanpa salah satu dari itu maka tidak akan ada yang namanya keseimbangan. 

Lantas apa yang akan kita lakukan untuk menciptakan keseimbangan tersebut? 

Dikutip dari National Geographic Indonesia "Menjaga keanekaragaman hayati adalah tanggung jawab bersama, perlibatan multidisiplin ilmu yang kredibel : yaitu akademis, praktisi, swasta, komunitas dan masyarakat serta peningkatan partisipasi publik sebagai upaya kolektif untuk mendorong kesadaran bersama" misalnya dengan meningkatkan edukasi tentang pentingnya keanekaragaman hayati melalui program-program pendidikan, selain itu pemerintah dan lembaga terkait perlu membuat dan menetapkan kebijakan yang mendukung pelestarian keanekaragaman hayati serta partisipasi aktif komunitas dan masyarakat dalam upaya pelestarian para satwa dan puspa. Dengan begitu akan terciptalah sebuah keseimbangan ekosistem dunia.

Rembulan sudah membawa cahayanya pergi, jarum jam pun telah berdiri tegak mendongak keatas, waktu sudah tepat di detik pergantian hari. Sudah waktunya untukku membiarkan tubuh ini mengisi energi yang kelak ku pergunakan di kegiatan esok hari. Ku taruh sang pintu dunia tepat berada diatas sebuah bidang disebelahku, ku matikan sumber penerang dan kini waktunya untuk menutup mata serta berharap, semoga kelak ada perubahan baik yang terjadi pada hutan tandus itu.

Selamat malam semuanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun