"Tantangan cinta adalah membalas yang jahat dengan kebaikan"
Sepasang suami istri, sejak awal menikah selalu konflik. Sudah 16 tahun Bu Ani dan Pak Joni (samaran) mengarungi bahtera rumah tangga. Suami Ani punya kebiasaan buruk, mabuk dan memukul istrinya. Kebiasaan minum alkohol itu bahkan sejak mereka pacaran. Itulah yang kadang terbersit penyesalan di hati Ani, mengapa dulu ia memaksakan diri menikah hanya karena hamil. Ortunya menentang pernikahan itu, tapi Ani merasa diri laksana malaekat yang bisa mengubah suaminya kelak. Terjerat dengan “savior syndrome”. Meski sempat menyesal, Ani memutuskan lebih sungguh mencari kehendak Tuhan, sambil beriman suatu hari doanya terkabul. Nasi sudah jadi bubur, kini dia belajar menjadikannya “bubur ayam” yang lezat.
Berkat bimbingan konselornya, Ani tetap memperlakukan Joni dengan baik meski kasar dan suka memukul. Menyediakan Joni makanan tepat waktu, menyiapkan sarapan kesukaannya, hingga setia melayani kebutuhan seks Joni kapan saja Joni butuhkan.
Setiap hari Ani hanya bersyukur, dia tidak lagi meminta apapun. Doanya: “Terima kasih Tuhan untuk suamiku Joni, meski dia kasar, saya bersyukur untuk dia. Saya mohon berkatilah Joni. Apapun yang dia lakukan, saya akan tetap mencintai JonI seperti janjiku kepadaMu, Amin!”
Ani sadar, ini kesalahannya. Dia sudah memilih Joni, tak ada gunanya menyalahkan Joni atau masa lalu. Dia harus “menebus” dengan cara menjadi istri terbaik bagi joni yang kelakuannya buruk, sambil mengandalkan Tuhan dengan doa yang selalu bersyukur”. Sampai suatu hari, saat Joni pulang tengah malam, Joni marah-marah karena kalah judi. Ia malam itu tidak mabuk, hanya minum sedikit. Tapi saat Joni menamparnya, Ani tetap tenang. Saat Joni minta dilayani di tempat tidur, Ani melayaninya.
Joni, sontak sadar ada yang aneh dari istrinya. Joni berbisik, “Ani, mengapa kau tidak lagi membalas kemarahanku? Tapi kau tenang melayaniku…?” Ani menjawab, “Jon, kamu adalah suamiku, bagaimanapun keadaanmu kau tetap suamiku, dan aku mencintaimu.” Malam itu Tuhan menjamah Joni, dia memeluk istrinya dan menangis. “Ani, maafkan aku sudah melukaimu. Merusak perkawinan kita selama ini. Aku suami yang buruk, tapi kau tetap baik kepadaku”
Ani menjawab: “Jon, kita semua bersalah, akupun punya salah kepadamu. Mari kita perbaiki bersama, demi anak-anak dan anak dari anak anak kita. Tidak ada yang terlambat. Anak anak makin besar, mereka perlu kita Jon”
Malam itu mereka berdua tersungkur dan bersyukur karena Tuhan melawat bahtera perkawinan mereka yang oleng dan hampir karam bertahun-tahun
Sengaja penulis memilih tema "Air comberan di balas minyak wangi". Pepatah lain berbunyi, “Air susu di balas dengan air tuba”. Kedua kalimat ini mengingatkan kita bahwa Tantangan cinta adalah membalas yang jahat dengan kebaikan. Cinta sejati harus menang atas kebencian. Membalas kejahatan dengan kebaikan. Ya, itulah panggilan kita untuk orang yang kita kasihi. Kita dipanggil untuk menyelamatkan, bukan membuang anak atau pasangan kita yang (lagi) tersesat jalannya. Kita dipanggil untuk mengampuni pasangan yang melakukan penyelewengan. Mengampuni ortu yang melakukan kekerasan, dan memaafkan anak yang memberontak. Seorang bijak berkata “mengampuni seperti bunga natnitnole yang memberikan keharumannya kepada orang yang menginjaknya”. Suatu analogi yang mantap.
Guru dan Penyair abad pertama menegaskan satu hukum yang tidak biasa, “Kasihilah musuh musuhmu dan berdoalah bagi mereka”. Sifat agung ini tidak ada pada setiap orang, tapi hanya pada mereka yang mengenal arti cinta dan kebenaran.
Masalahnya untuk memaafkan kita perlu stok cinta. Bila kita yang dibesarkan tanpa kasih sayang, akan punya kesulitan besar mengaplikasikannya. Masalah utama klien kami bukanlah pada berapa banyak luka yang dialami, tetapi berapa banyak stok cinta kita pada yang melukai. Dalam hidup tak selalu kebaikan kita akan dibalas dengan kebaikan. Tapi kita harus memilih, tetap berbuat baik atau berhenti. Setiap pilihan ada konsekuensi
Orang dekat kita tidak selalu pasti berbuat baik, sebaliknya ada yang melemparkan air "comberan" kepada kita. Tapi kita harus memilih, apakah membalasnya dengan “air comberan” juga. Atau memberikannya justru ”minyak wangi” yang harum yakni kebaikan. Bila kita membalas kejahatan dengan kebaikan, ada kuasa yang menyertainya.
Kuasa pengampunan tak selalu cepat hasilnya. Tetapi meski lambat, dampaknya akan lama sekali, seumur hidup anak dan pasangan yang kita kasihi. Itulah yang penulis rasakan saat merenungkan kembali kisah anak yang hilang, dalam injil Lukas.
Dr. Julianto Simanjuntak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H